• Kampus
  • Riset dan Inovasi di Indonesia masih Tertinggal, Diperlukan Percepatan Hilirisasi Hasil Riset

Riset dan Inovasi di Indonesia masih Tertinggal, Diperlukan Percepatan Hilirisasi Hasil Riset

Hilirisasi hasil riset harus terus dilakukan. Untuk itu, pemerintah mesti ikut andil dalam hilirisasi hasil riset ini.

Teleskop di Observatorium Bosscha, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Senin (21/1/2022). Observatorium Bosscha merupakan pusat riset di bidang astronomi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana4 Februari 2022


BandungBergerak.idRiset, inovasi, dan hilirisasi sebagai tiga hal yang tak dapat dipisahkan dalam meningkatkan daya saing bangsa. Namun tiga hal ini justru memiliki masalah tersendiri di Indonesia, di mana daya saing negeri ini di tingkat global mengalami penurunan.

Ahli perekayasa utama, Wahyu Widodo Pandoe, memaparkan penurunan daya saing itu berdasarkan peringkat Indeks Daya Saing Global Indonesia, dalam 10 tahun terakhir. Tetapi ia mencatat pada 2010 lebih baik daripada tahun 2019.

Catatan lainnya, Indonesia medapat skor terburuk sebesar 37.7 dari 100 pada kapabilitas inovasi. Ditambah lagi skor indeks inovasi global Asia Pasifik hanya mencapai 26,49 persen sehingga menempatkan Indonesia berada jauh di bawah Singapura dan Korea Selatan.

Dari data ini sangat jelas bahwa Indonesia perlu meningkatkan kualitas riset dan inovasi, kata pria yang pernah menjabat Deputi Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa, BPPT, periode 2017-2021, itu dalam Kuliah Umum Studium Generale Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu (2/2/2022). Pada kesempatan ini, Wahyu membahas topik “Hilirisasi Riset Industri Bidang Maritim, Transportasi, dan Industri Pertahanan dan Keamanan”.

“Dalam menghasilkan suatu inovasi, setidaknya empat proses harus dilalui. Proses tersebut dimulai dari ideasi, purwarupa, industrialisasi, hingga komersialisasi. Pada tahap komersialisasi terdapat banyak kendala seperti riset yang tidak sejalan dengan kebutuhan industri, hasil riset yang hanya mencapai prototipe, dan lain-lain. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan GAP antara investor dan perindustrian,” jelas Wahyu, mengutip laman resmi ITB yang diakses Jumat (4/2/2022).

Menurutnya, riset dan inovasi harus dibarengi dengan hilirisasi atau mendekatkan hasil riset dan inovasi kepada penggunanya. Istilah pengguna di sini bisa masyarakat atau lembaga yang berkepentingan.

Wahyu menjelaskan bahwa hilirisasi memang harus dilakukan terhadap hasil riset dan inovasi yang ada di Indonesia. Untuk itu, pemerintah harus ikut andil dalam hilirisasi ini. Beberapa isu strategis terkait hilirisasi yakni pemanfaatan IPTEK sebagai penghela pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, peningkatan kapabilitas adopsi dan teknologi inovasi, penciptaan ekosistem inovasi, dan peningkatan efektivitas pemanfaatan dana Iptek-Inovasi. Daya saing dan inovasi tentu menandakan proses hilirisasi.

Transportasi, Pertahanan, Keamanan, dan Kemaritiman

Wahyu Widodo Pandoe juga mengulas bahwa berdasarkan RPJMN Indonesia tahun 2020-2024, Indonesia memiliki 9 prioritas riset nasional, antara lain soal transportasi, pertahanan keamanan, dan kemaritiman.

Saat ini ia dan rekannya sedang melakukan kajian terkait proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya. “Kami sedang membahas ini dan menduga pembangunan treknya akan membutuhkan biaya yang besar,” ujar alumnus ITB jurusan Teknik Geodesi tahun 1985 ini.

Dari segi transportasi terutama dalam hal kereta cepat, Indonesia tertinggal dalam hal High Speed Train (HST) Growth Trend and Market Potential. Diharapkan dengan adanya proyek kereta cepat yang dikerjakan bisa mengejar negara lain.

Kemudian pada bidang pertahanan dan keamanan, terdapat 11 prioritas riset dan inovasi. Misalkan pada pengembangan kapal selam, rudal, pesawat tempur, dan alutsista lainnya. Melalui pengembangan ini Indonesia berhasil menciptakan berbagai alat-alat canggih salah satunya Medium Altitude Long Endurance (MALE) yang bernama PUNA MALE. Alat ini bahkan memiliki kompetitor dari negara lain seperti Iran dengan SHAHED 129.

Tidak jauh beda dengan bidang pertahanan dan keamanan, bidang kemaritiman juga terus melakukan pengembangan sehingga melebihi standar yang ada. Meskipun begitu, standardisasi teknologi ini terus dilakukan ke depannya.

Mengakhiri paparannya, Wahyu berharap agar mahasiswa ITB kelak bisa membuat inovasi yang hebat dan bisa mengimplementasikan hasil riset yang ada. Dengan begitu Indonesia akan mandiri dalam hal inovasi dan riset.

Baca Juga: Problem Hiliriasi Hasil Riset Perguruan Tinggi, UPI Bangun TVUPI
Riset Kendaraan Otonom di Indonesia, Penelitian Garapan ITB dan Mobil Pintar ITS
Tel-U dan Universitas Muhammadiyah Kolaborasi di Bidang Riset

Hilirisasi Riset Perguruan Tinggi

Produk “Propobees”, minuman ringan mengandung propolis powder karya Dosen Departemen Teknologi Industri Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran Nandi Sukri, M.Si. (Foto: Dadan Triawan)*

Perguruan tinggi merupakan basisnya riset dan inovasi. Sehingga hilirisasi tentunya menjadi tantangan yang harus diwujudkan para peneliti di kampus-kampus. Namun, jalan hilirisasi riset di tingkat industri tidak selamanya mulus. Perbedaan kualitas produksi antara skala laboratorium dan skala industri menjadi salah satu penyebabnya.

Kondisi ini disiasati oleh Dosen Departemen Teknologi Industri Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Nandi Sukri. Selama pandemi, Nandi dan tim Teknologi Pangan Unpad mengembangkan riset dasar mengenai bumbu masak instan lalu berhasil memproduksinya dalam skala cukup besar.

Kunci kesuksesan hilirisasi yang dilakukan Nandi ada pada model “Industri Hybrid”. Model industri hybrid ini dinilai mampu mempercepat hilirisasi riset, khususnya bidang pangan, di tingkat industri.

Strategi tersebut lahir dari pengalaman Nandi yang dihadapkan besarnya tantangan hilirisasi dari riset skala laboratorium. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana meningkatkan produksi skala laboratorium menjadi skala industri besar dengan rasa produk yang konsisten.

“Riset ekstrak rempah jika diaplikasikan di industri tantangannya lebih besar. Produksi skala laboratorium jika di-scale up lebih pasti ada parameter yang berubah, dan rasanya pun berbeda,” ujar Nandi, mengutip laman resmi Unpad yang diakses Jumat (4/2/2022).

Tantangan lainnya adalah belum semua riset mampu menjawab apa yang dibutuhkan pelaku industri. Nandi mengatakan, industri akan mempertimbangkan seberapa besar profit yang diperoleh jika produk riset ini diproduksi dalam skala besar. Hal ini yang acapkali sulit dijawab oleh para peneliti di perguruan tinggi.

Di sisi lain, dengan alat yang dimiliki industri belum tentu mau memproduksi produk hilirisasi dengan skala menenengah. Untuk itu, dibutuhkan jembatan yang dapat mengakomodasi kualitas produksi dari produk riset sebelum siap dilempar ke pasar yang lebih besar.

Nandi menjelaskan, industri hybrid dapat membantu hilirisasi riset dasar. Dikatakan hybrid karena pengelola/praktisinya merupakan akademisi atau penelitinya langsung.

“Jadi peneliti bisa sebagai perekayasa produk di level menengah dan juga bisa menjadi pengambil keputusan secara langsung. Jika di industri besar, pengambil keputusan ada pada level direktur,” ujar Nandi.

Singkatnya, pada industri hybrid, peneliti juga berperan sebagai pembaca pasar, menyusun model bisnisnya, hingga melakukan rekayasa produk agar produk bisa konsisten, tidak berubah parameternya, dan kompetitif di pasar.

Nandi mengatakan, jika produksi di skala menengah melalui industri hybrid sudah berjalan baik, dapat dilanjutkan ke skala industri besar. Diharapkan, peningkatan kapasitas di skala besar tidak banyak mengubah parameter riset yang dihasilkan.

“Kalau dari skala lab di-scale up langsung ke industri besar, kadang-kadang kita tidak optimistis dan parameternya banyak berubah,” kata Nandi.

Diharapkan model industri hybrid ini dapat juga diaplikasikan di bidang keilmuan lainnya. Gap besar antara riset laboratorium dan industri diharapkan dapat berkurang. “Terkadang kita melewatkan tahapan ini,” pungkasnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//