• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (31): Bertumbuk Bertumbuk Bertumbuh: Memperingati 11 Tahun Sahabat Museum KAA

MEMORABILIA BUKU (31): Bertumbuk Bertumbuk Bertumbuh: Memperingati 11 Tahun Sahabat Museum KAA

SMKAA menjadi wadah publik dalam agenda diplomasi publik. Landasan historis dari SMKAA diembuskan dari Semangat Bandung.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Penulis bersama para koordinator SMKAA: Yovita (2015-2016), Della (2013-2015), Wisnu (berkemeja batik, 2015). (Koleksi foto: Deni Rachman)

13 Februari 2022


BandungBergerak.id“Udah 11 tahun aja ya, Kang,” seloroh kawan saya di kotak pesan Instagram, mengomentari instastory saya yang merepost akun @smkaa.info, akun resmi Sahabat Museum Konperensi Asia-Afrika (SMKAA). Kemarin Jumat, (11/2/2022), tepat 11 tahun usia SMKAA. Di hari dan tanggal yang sama komunitas ini dimaklumatkan di Gedung Merdeka bertepatan dengan hari kelahiran Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila.

Saya meyakini usia yang sudah melewati satu dasawarsa, sudah pula melewati fase proses panjang antara hidup dan mati. Dasawarsa kedua bagi SMKAA buat saya adalah keniscayaan di depan pelupuk mata, yakni melanjutkan perjalanan menghadapi adaptasi kebiasaan baru dan sejumput perubahan keseharian yang terimbas pandemi.

Tulisan memorabilia buku kali ini mengambil jeda sebentar sebelum mengupas kerja paruh waktu saya di majalah buku Matabaca dan perpustakaan Balepustaka. Mengapa? Karena momentum 11 Februari menorehkan kesan mendalam bagi saya, tak hanya sejarah pribadi namun juga sejarah berkomunitas dan berkesadaran kebangsaan. Tulisan ini juga barangkali menyambungkan benang merah dengan tulisan saya terdahulu di Memorabilia Buku (7) dan Memorabilia Buku (14).

Para relawan HUT KAA ke-56 berfoto bersama saksi sejarah KAA 1955 Jackson Leung dan istri. Koh Jackson saat itu masih berusia pelajar bertugas mengalungkan bunga kepada pimpinan delegasi RRC Chou En Lai. (Sumber Foto: SMKAA, 2011)
Para relawan HUT KAA ke-56 berfoto bersama saksi sejarah KAA 1955 Jackson Leung dan istri. Koh Jackson saat itu masih berusia pelajar bertugas mengalungkan bunga kepada pimpinan delegasi RRC Chou En Lai. (Sumber Foto: SMKAA, 2011)

Ruang Oval Museum KAA, 2 Desember 2011

Bandung petang itu cukup mendung, tapi tak menyurutkan kehadiran 12 orang perwakilan komunitas di ruang oval Museum KAA. Suasana bersiap museum yang hendak menyelenggarakan pameran perbatasan dan pameran sejarah Lambang Negara menyelimuti suasana pertemuan yang digelar untuk membicarakan arah ke depan Sahabat Museum.  

Mereka yang hadir adalah Isman Pasha dan Deddy M.S (Tuan Rumah, Museum KAA), Aat Soeratin (Gedung Indonesia Menggugat), Dadang Juanda (Republik Entertainment), Sulhan Syafii (Tatali), Eric Gunawan - Tobing Jr. (Asia Africa Film Festisval), Lelyana - Erline (Festival Konferensi Asia Afrika), Eriko Y. Adjie (Matahati Indonesia), Nunun Nurhayati Arbi (Bandung Joernal), Bambang Subarnas (Netzwerk), Adil Sumantri (Kompepar Braga), dan saya yang mewakili Asian-African Reading Club.  

Pertemuan menghasilkan rekomendasi pendirian dan peresmian SMKAA. Ditunjuklah empat orang sebagai pengurus awal: Ely Nugraha, Erline, Lelyana, dan saya. Bu Ely yang merupakan staf museum masih bertugas di KBRI Belgia. Pak Isman sebagai Kepala MKAA saat itu banyak membuat terobosan melibatkan publik terlibat banyak dalam kegiatan museum. Ia yang membuka pertemuan itu, menutupnya menjelang waktu magrib.

Pengalaman saya di bidang keorganisasian yang beririsan dengan diplomasi masih sangatlah minim. Tentu ada minat sejak lulus masa kuliah karena pilihan ketiga UMPTN kala itu Hubungan Internasional Unpad. Namun jalan hidup berkata lain, menjadi bagian dari diplomasi saya timba ilmunya justru di museum ini. 

Adalah Pak Isman, Kang Desmond, dan Bu Ely dari pihak MKAA yang memberi ruang pengertian adaptasi ini. Keterlibatan saya di Asian African Reading Club mulai saya alihkan kepada Adew Habtsa. Semacam berbagi tugas dengan Adew, saya turut merintis SMKAA ini dengan pertemuan demi pertemuan mempersiapkan Sahabat Museum. Diskusi dan debat sesekali menghasilkan kesepakatan, namun juga tak jarang menemui kebuntuan.

SMKAA ini sedianya akan menjadi wadah publik dalam agenda diplomasi publik. Di sini pun saya masih sangat terasa awam. Landasan historis dari SMKAA yang dihembuskan dari Semangat Bandung, membuat saya lebih memiliki bayangan. Mungkin karena minat saya terhadap sejarah dan sastra, saya lebih paham keterkaitan arahnya dengan sejarah KAA 1955. Jadinya, arah SMKAA yang terkait diplomasi publik tak lepas dari jalur rel kebijakan sang kepala museum beserta staf.  

Bersama Tatjana (berkemeja merah muda) dari Rusia ketika mengajar 2 Hari Kursus Bahasa Esperanto 23-24 Juli 2011. (Sumber Foto: SMKAA, 2011)
Bersama Tatjana (berkemeja merah muda) dari Rusia ketika mengajar 2 Hari Kursus Bahasa Esperanto 23-24 Juli 2011. (Sumber Foto: SMKAA, 2011)

Sebagai bagian dari publik yang tak menyangka akan menjadi bagian komunitas sahabat museum ini, saya tersadarkan akan pentingnya kesadaran dan wawasan kebangsaan. Dua pameran yakni Pameran Perbatasan di Entikong (Kalbar) dan Pameran Lambang Negara Republik Indonesia yang kedua berturut-turut diselenggarakan di MKAA, membuka pengetahuan baru saya akan sejarah dan diplomasi.

Dari pameran perbatasan RI, saya jadi paham pentingnya kesejahteraan publik (termasuk infrastuktur) di sana yang harus dibangun, karena di sanalah mereka jadi halaman depan nusantara. Merekalah yang menjadi wajah publik Indonesia di mata publik negara lain.

Dari pameran Lambang Negara RI saya jadi tahu bahwa nama lengkap lambang negara kita itu adalah Elang Rajawali Garuda Pancasila. Mengapa saya dan mungkin publik tahu namanya Garuda Pancasila saja, terjawab sudah pertanyaan itu dari pameran. Pergulatan konsep dan eksekusi selama proses penciptaan lambang negara itu melibatkan banyak tokoh pendiri negara kita terdahulu. Adalah Moh. Natsir yang memberi masukan supaya kesan mitologi tak dikedepankan. Alhasil, nama definitif burung Elang menjadi nama awal sang Lambang Negara.

Sultan Hamid II yang menggali desain visual lambang negara dengan komparasi dan masukan dari sana-sini, lalu menyerahkannya kepada Bung Karno. Rancangan/sketsa terakhir diolah kembali oleh D. Ruhl Jr. dan Dullah (pelukis istana kesayangan Bung Karno). Dirk Ruhl merupakan pakar semiotika dan heraldry. Ia seorang berkebangsaan Jerman yang sudah lama tinggal di Indonesia.  Kelahiran lambang negara ini yang baru saya ketahui juga dari semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dicengkeram oleh kaki sang elang, merupakan kenyataan tersirat konsep Bung Karno yang gandrung akan kesatuan (unitaris) dan Sultan Hamid (federalis). 

Saya kira semangat kebangsaan, memahami sejarah, dan bekerja sama para tokoh pendiri bangsa ini, sejatinya menjadi bekal bagi para relawan di SMKAA.

Baca Juga: https://bandungbergerak.id/article/detail/2104/memorabilia-buku-29-pernyataan-bandung-2016-stop-pemberangusan-buku
MEMORABILIA BUKU (29): Pernyataan Bandung 2016, Stop Pemberangusan Buku! ­
MEMORABILIA BUKU (30): Bekerja Paruh Waktu di Kios Kaos Mahanagari

Pra-SMKAA, pertemuan para relawan (tampak menghadap kamera Andika Budiman dan Iyan Septiyana) dengan staf MKAA (Pak Isman Pasha, Bu Ely Nugraha, Kang Desmond Satria Andrian). (Sumber Foto: Deni Rachman)
Pra-SMKAA, pertemuan para relawan (tampak menghadap kamera Andika Budiman dan Iyan Septiyana) dengan staf MKAA (Pak Isman Pasha, Bu Ely Nugraha, Kang Desmond Satria Andrian). (Sumber Foto: Deni Rachman)

Dari Bertumbuk kemudian Bertumbuh

Rupanya jauh sebelum pertemuan di bulan Desember 2010 itu, kultur sahabat museum ini sudah disemai sejak tahun 2005. Tonggak awal ini sering mengingatkan saya untuk mawas diri, bahwasanya segala hal tiada yang jadi begitu tiba-tiba. Menggali dan merefleksikan pentingnya jejak langkah dan peran mereka, tak bisa diabaikan begitu saja.

Di rentang tahun 2005 – 2008, pasca-Peringatan 50 Tahun KAA perintisan sahabat museum sudah dilakukan secara internal. Pasca KTT Asia Afrika 2005 Diplomasi Publik mulai menempatkan MKAA sebagai bagian dari instrumen diplomasi publik.

Dalam perjalanannya tersebut digalang kegiatan Duta Sahabat Museum KAA, sosialisasi sahabat museum ke beberapa daerah, dan membuat tim persiapan sahabat museum. Yang terlibat di dalamnya mulai dari Pak Andri Hadi (Direktur Diplomasi Publik), Bu Ely (yang kemudian menjadi pengurus SMKAA pertama), Pak Naryo, Pak Dedie, Ibu Budiantini, dan Kang Desmond.

Tim persiapan inilah yang bergerak berbagi tugas menghubungi kembali perguruan tinggi yang sudah dirintis oleh Pusat Studi Asia-Afrika, bertemu Batmus (Sahabat Museum) di Jakarta, dan penggalian informasi litarur di dunia maya terkait sahabat museum.

Sedangkan uji coba Sahabat Museum pertama kali pra-Kepala Museum KAA Pak Isman dilakukan melalui komunitas eks PKL (magang). Pembekalan PKL dilakukan sedemikian rupa mirip Klab Edukator SMKAA sekarang. Uji coba berlanjut terus ke mengajar Bahasa Perancis kepada para eks PKL.

Dan Agustus 2008 upaya mewujudkan Sahabat Museum melalui Pak Isman mulai dirintis melalui Festival KAA. PIC yang ditunjuk Pak Deddy Mulyana. Staf MKAA yg lain adalah Pak Dedie Sutardi dan Pak Reza. Di tengah jalan Kang Desmond bergabung atas permintaan Pak Isman. Festival KAA melibatkan event organizer.

Agustus 2009, lahirlah AARC yang bisa pembaca simak di Memorabilia Buku (7) terdahulu. Tadarusan buku yang menjadi program utama AARC mencoba menggali nilai KAA melalui bahan bacaan buku.

Para relawan menyusur kampung Braga dan sekitarnya, sambil menyerukan acara peringatan HUT ke-56 kepada warga. (Sumber foto: SMKAA, 2011).
Para relawan menyusur kampung Braga dan sekitarnya, sambil menyerukan acara peringatan HUT ke-56 kepada warga. (Sumber foto: SMKAA, 2011).

Gedung Merdeka, 11 Februari 2011

Perjalanan demi perjalanan yang sudah disemai sejak tahun 2005 itu menggelindinglah hingga ke titimangsa Jumat, 11 Februari 2011. Sebuah perayaan ulang tahun digelar di Gedung Merdeka. Di halaman, gerobak-gerobak makanan sudah tersedia: ada siomay, sate, mie kocok, bandrek, bajigur, serta berbagai jajanan lainnya.

Sekitar jam setengah dua siang, sekerumunan orang telah mengantre di depan pintu masuk. Mereka terdiri dari masyarakat umum, dosen, mahasiswa, guru, sampai pelajar. Semuanya ingin mendapat tempat duduk. Tidak ada yang ingin melewatkan "Seminar Nasional 60 Tahun Garuda Pancasila". Di hari Jumat itulah, 11 tahun yang lalu Sahabat Museum Konperensi Asia-Afrika (SMKAA) dilahirkan.

Upaya menautkan kelahiran SMKAA pada tanggal bersejarah ini baru terasa manfaatnya sekarang. Rasa-rasanya seperti “Buy 1 Get 2”, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Di saat perayaan Milangkala SMKAA, selain kangen bisa berkumpul dengan 11 generasi yang notabene selalu mendapat refleksi sejarah kebangsaan.

Dalam setahun 2011 menjadi bagian aktif mengurus SMKAA, saya alami dalam kondisi pasang dan surut. Arus pasang tentunya menguji andrenalin saat pertama kali di bulan April, kegiatan perdana SMKAA mendapat mandat menjadi panitia HUT KAA ke-56. Di saat itulah untuk pertama kalinya saya dan rekan menerima publik yang begitu antusias menjadi relawan. Relawan angkatan pertama sebagian sudah berkeluarga, sebagian lain mahasiswa dan pelajar SMA.

Cerita menginap di museum, kisah cinta di museum yang kemudian berujung di pelaminan, kesurupan di toilet museum karena efek kelelahan, dan begitu banyak cerita memorabilia termasuk ketika kondisi surut saat saya urung mengundurkan diri dari koordinator; menjadi bagian tersendiri yang mendalam. Regenerasi berjalan terus dan sistem internal terus berbenah, dan puji syukur bertumbuh.

Beragam prestasi personal para relawan maupun kelembagaan seperti program “Jarum Pentul” (Jadi Relawan Museum itu Penting dan Gaul) yang mendapat PenghargaanTop 99 Inovasi Pelayanan Publik dan Penghargaan MUSEUM BERSAHABAT pada Malam Anugerah Purwakalagrha ke-3 yang digelar di acara talkshow Kick Andy Show; adalah kebanggaan yang dipetik dari proses perjalanan.

Hingga kini tetap berdenyut produk klab budaya khas SMKAA yakni Nihao, Heiwa, Cinemaker, Esperanto, Klab Edukator, Young Crafter, Journativist, Young Announcer, Abada, Guriang, Global Literacy, dan Maghribi.

Akhirul kalam, kebanggaan ini semoga membuahkan respek terus menerus. Panjang umur solidaritas, selamat dan sukses SMKAA, salam sehat selalu. Beribu terima kasih saya sematkan atas ilmu dan respek yang berkelindan sepanjang perjalanan. Salambuku!

*Catatan dari penulis:

Fragmen sejarah SMKAA 2005-2008 dipetik dari wawancara dengan Kang Desmond Satria Andrian (Tim Perintis SMKAA), Jumat, 20 November 2020, pukul 09.13 – 10.02 WIB.  Pembaca dapat menyimak perjalanan kegiatan SMKAA di webnya sahabatmuseumkaa.com dan akun instagram yang tadi saya tautkan di awal tulisan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//