• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (30): Bekerja Paruh Waktu di Kios Kaos Mahanagari

MEMORABILIA BUKU (30): Bekerja Paruh Waktu di Kios Kaos Mahanagari

Bagi saya Mahanagari menjadi ladang mencangkul ilmu dan terlebih menjadi inspirasi ketika LawangBuku membuka lini usaha “Oleh-oleh Boekoe Bandoeng”.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Poster kegiatan bersama Mahanagari, LawangBuku, dan Kota Baru Parahyangan dalam gelaran “Bandung Pisan, Ngobrol bareng tentang sejarah Bandung”, pada 15 & 18 Januari 2007 dan poster Tahoen Baroe di Petjinan Kota Baru Parahyangan. (Sumber Foto: Deni Rachman)*

6 Februari 2022


BandungBergerak.idMahanagari namanya. Terlalu kecil untuk menyebutnya sekadar kios kaos. Ia adalah salah satu brand cenderamata legendaris di Bandung. Di tahun 2004-2005-an, saya banyak menimba ilmu dari usaha cenderamata serba-Bandung yang didirikan oleh Ben Wirawan dan Hanafi Salman itu. Saya sempat menjadi salah seorang wiraniaga Mahanagari yang berlokasi di Jalan Dago, di lantai 2 bangunan cagar budaya kembar tiga karya A. F. Aalbers.

Di sela-sela mengelola distributor buku kecil-kecilan, saya bekerja paruh waktu di Mahanagari dengan upah saat itu per jam sebesar 4.500 Rupiah. Dalam satu bulan saya mendapat jadwal 6 jam/shift per hari yang bisa dipilih sesuai waktu luang. Siska, sang manajer toko, lalu menyesuaikan jadwal saya dengan wiraniaga lainnya yang rerata mahasiswa/mahasiswi. Saya yang memilih kerja 2 kali seminggu menerima upah sekitar Rp 200 ribuan per bulan. Uang pun sering saya belikan lagi demi bisa memiliki kaos dan cenderamata khas Mahanagari. Para pekerja paruh waktu mendapatkan diskon khusus dari Siska. 

Saat pergantian shift, saya memperhatikan seorang wiraniaga menyapa konsumen yang datang. “Selamat pagi”, sapa wiraniaga shift pagi menyambut pengunjung yang masuk ke toko. Wiraniaga itu berdiri terus mengikuti pengunjung ke mana sang pengunjung itu melihat-lihat pajangan kaos dan cenderamata lainnya. Pengunjung itu lalu melengos keluar tanpa membeli.

Cara memperlakukan pengunjung yang hendak membeli itu menjadi bahasan evaluasi termasuk informasi apa pun yang diterima para wiraniaga. Evaluasi itu bisa berlangsung santai sambil duduk lesehan saat toko tutup.

Wiraniaga harus semringah, ramah, dan murah senyum kepada setiap pengunjung. Pengunjung yang terus didampingi dalam jarak dekat sebaiknya jangan dilakukan, karena ia akan merasa dibuntuti. Ujung-ujungnya ia akan tak nyaman dan batal membeli. 

Calon konsumen terutama warga +62 juga tak terlalu suka diajak ngobrol. Mereka juga tak suka ditawari langsung barang dagangan, berbeda dengan orang bule. Biarkan si calon pembeli memilih dan melihat-lihat sendiri. Barulah ketika ia menanyakan info kepada wiraniaga, di situlah kesempatan sang wiraniaga menjalin komunikasi akrab dengan calon pembeli. Bahkan ia rela mendapat rekomendasi produk dari sang wiraniaga, jika calon pembeli sudah merasa dekat dan nyaman.

Teknik melayani calon pembeli seperti itulah yang di antaranya saya dapatkan dari Mahanagari. Lalu saya praktikan sendiri maupun jadi bahan berbagi teknis berdagang kepada para juru laden LawangBuku di setiap pameran buku. Selain itu tentu cara baik sistem di Mahanagari saat merekap penjualan, cara memajang sekaligus mengemas barang dagangan menjadi pengalaman tersendiri bagi saya.

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (27): Kelindan Simpul Komunitas di Festival Indonesia Menggugat 2016
MEMORABILIA BUKU (28): Larangan Pementasan Monolog Tan Malaka di IFI Bandung
MEMORABILIA BUKU (29): Pernyataan Bandung 2016, Stop Pemberangusan Buku! ­

Kaos seri Javasche Bank Bandoeng, kaos seri Aksara Sunda Kaganga, dan gantungan kunci Mooi Bandoeng yang masih awet dipakai hingga sekarang. (Sumber Foto: Deni Rachman)*

Kaos seri Javasche Bank Bandoeng, kaos seri Aksara Sunda Kaganga, dan gantungan kunci Mooi Bandoeng yang masih awet dipakai hingga sekarang. (Sumber Foto: Deni Rachman)*

Awal Berkenalan dengan Mahanagari

Jika ingatan ini ditelusuri setidaknya ada 3 bidang profesi yang sempat saya jalani sebagai pekerja paruh waktu saat menggeluti usaha distributor buku yaitu di Mahanagari, majalah Matabaca, dan Perpustakaan Balepustaka.  

Di Memorabilia Buku kali ini saya mengisahkan perkenalan awal dengan Mahanagari, saat berkunjung ke mal baru Cihampelas Walk. Berbeda dengan mal lainnya di Bandung, mal ini mengusung tema pusat perbelanjaan yang asri dan sejuk. Di sana-sini tampak pohon dan tanaman-tanaman kecil menghiasi.

Di salah satu kiosnya, saya tak sengaja melihat kios Mahanagari yang turut memajang beberapa buku. Ada buku Bandung Purba (Masyarakat Geografi Indonesia, 2004) karya Titi Bachtiar dan Dewi Syafriani terpajang di sudut rak kaos. Buku yang ukurannya lebih besar dari seukuran buku saku itu mengupas catatan perjalanan penulis yang memperlihatkan gambaran bumi Bandung, dari yang unik, indah, langka, hingga yang terancam dan tergusur aktivitas penambangan. Tampil luks dengan kertas licin (matepaper) dan foto berwarna, buku ini menjadi buku babon mengenal sejarah geografi dan geologi Bandung. Budi Brahmantyo (almarhum) sebagai ahli geologi menyematkan rekomendasinya di buku tersebut.

Setelah membeli bukunya, saya memberanikan diri menanyakan apakah LawangBuku bisa turut memasok buku-buku bertema Bandung dan kesundaan. Insting dagang ini muncul karena saya melihat adanya peluang kerja sama, didukung pula oleh pasokan buku kesundaan yang saya distribusikan dari penerbit Kiblat Buku Utama dan Geger Sunten.

Bekerja Sama dengan Mahanagari

­Kesokan harinya, saya menyambangi kantor Mahanagari di jalan yang bernama bunga. Saya tidak ingat persis nama jalannya, namun dari sana ada jalan tembus ke jalan arteri Ahmad Yani. Kantornya menempati rumah tua dengan atap tinggi.

Saya diterima oleh Siska, manajer marketing Mahanagari. Saya pun diperkenalkan kepada Hanafi dan Dondy. Hanafi tampak sibuk memelototi layar komputer, sedangkan Dondy baru tiba dari luar kantor dan setelah berkenalan ia langsung membereskan stok kaos.

Kerja sama disepakati. Saya sebagai pihak kedua akan memasok buku-buku kesundaan ke kios Mahanagari yang saat itu hanya ada di Ciwalk. Tak berapa lama setelah saya mengirimkan buku, di sana sudah tersedia rak buku. Tak sampai setahun, Mahanagari juga membuka kiosnya di Jalan Dago, di salah satu lantai bangunan cagar budaya karya A.F. Aalbers.

Ketertarikan mendistribusikan buku di kios Mahanagari, semata-mata tak hanya karena bisnis komoditi saja. Namun ada semangat energi kreatif tim Mahanagari yang membangun bisnis rintisannya ini. Produk yang dijual pun terbilang unik, memiliki diferensiasi bisnis jika dibandingkan produk kaos lain yang hadir sebagai pesaing.

Branding pun terus dikembangkan, hingga Mahanagari menjadi referensi publik bagi pecinta oleh-oleh cenderamata khas Bandung. Ada kaos dengan desain jurusan angkot, ada kaos berpetakan jalur angkot, kaos berdesain tipografi anagram Bandung ada kaos si Cepot, kaos aksara Sunda kaganga dan lain sebagainya. Beli kaos berdesain keren atau gantungan kunci yang khas Bandung? Ya, ke Mahanagari. Begitulah kira-kira jargonnya, jika ada handai taulan yang menanyakan oleh-oleh khas Bandung saat mereka melancong ke kota ini.

Sejak itu, Mahanagari menjadi salah satu outlet distribusi LawangBuku selain toko-toko lain seperti Tobucil dan Alebene. Penjualan pun terbilang bagus omzetnya. Buku komik Sunda Si Mamih karya Edyana Latief, menjadi salah satu buku yang laris manis.

Suatu waktu, laporan penjualan buku tak lagi diambil di kantor bernama jalan bunga itu. Saya kemudian menyambangi kantornya di Jalan Dangdeur. Di sanalah saya mulai intens bertemu Benben, sapaan buat Ben Wirawan. Dialah pemilik dan pendiri Mahanagari bersama dengan Hanafi Salman yang saban hari saya temui. Hanafai merupakan desainer handal, di balik lahirnya produk-produk khas Mahanagari.

Setiap mengambil laporan penjualan, dan kebetulan jika ada Benben, saya sering diajaknya ngobrol berlama-lama mulai dari perihal dunia bisnis sampai perihal Bandung ataupun kesundaan. Lambat laun, saya mengenal Mahanagari secara kekerabatan. Ketika saya mengutarakan akan mengganti logo LawangBuku, saya pun dibuatkan logo oleh Hanafi. Sayang sekali saat itu, logo karya Wiku Baskoro sudah masuk terlebih dahulu dan lolos menjadi logo resmi LawangBuku. Arsip logo rekomendasi itu masih saya simpan. Hatur nuhun, Uda Hanafi!

Berjejaring dengan Komunitas Pecinta Bandung

Perkenalan dengan para wiraniaga Mahanagari dan staf baru Mahanagari seperti dengan Anarima Savitri, Ulu, dan Sri ‘Enci’ Pujiyanti kemudian hari secara intens melahirkan beberapa kegiatan literasi.

Dari kelindan pertemanan di Mahanagari inilah menghasilkan jejaring baru dan memetik pengetahuan di acara-acara bertemakan sejarah kota Bandung. Saya bisa berkenalan di antaranya dengan para pegiat keilmuan tertentu yang sudah menjadi referensi publik seperti Titi Bachtiar, Budi Brahmantyo, dan Zaini Alif (Komunitas Hong). Begitupun dengan jejaring kawan-kawan di media massa.

Di tahun 2006, setelah saya rehat dari kerja paruh waktu di outlet Mahanagari Dago, saya terlibat dalam sebuah acara Manahagari yaitu diskusi di SMA 5 Bandung dan acara Tahun Baru Imlek di Kota Baru Parahyangan. Dalam satu acara jelajah Bandung Purba yang diselenggarakan Mahanagari, saya sangat terkesan ketika turut menjelajahi Goa Pawon di Padalarang dipandu langsung oleh T. Bachtiar dan Budi Brahmantyo.

Inspirasi bagi Oleh-oleh Boekoe Bandoeng

Di tahun 2008-2010, seiring dengan tutupnya usaha distribusi LawangBuku, saya pun tak lagi memasok buku ke Mahanagari. Terakhir saya masih sempat mendatangai kios Mahanagari yang baru buka di Jalan Dipati Ukur dan Bandung Indah Plaza.

Penutupan administrasi dan retur stok buku juga tidak berjalan dengan baik. Tidak ada komunikasi sama sekali ketika Mahanagari tak berdagang lagi di Ciwalk. Di tahun 2011, saya masih terlibat kerja sama ketika saya menjadi panitia bazar di acara Konferensi Internasional Budaya Sunda ke-2 di Gedung YPK. Mahanagari menjadi peserta bazar.

Setelah saya membuka toko di Baltos 2011 hingga 2016, sesekali saya melewati Jalan Sulanjana, dan rupanya Mahanagari sudah bergabung dengan Shafira dan membuka kiosnya di sana (selain kios lainnya di Jalan Peta). Saya tak pernah sempat berkunjung ke dua kios terbarunya itu.

Nama Mahanagari tak terdengar lagi. Baru kemudian, pendiri Mahanagari Ben dan Hanafi terlihat aktif di Instagram sambil mengumumkan usaha barunya Torch, produksi pakaian dan peralatan rekreasi alam.

Bagi saya Mahanagari menjadi ladang mencangkul ilmu dan terlebih menjadi inspirasi ketika LawangBuku membuka lini usaha “Oleh-oleh Boekoe Bandoeng”. Dari perjalanan wirausahanya, Benben dan kawan-kawan meyakinkan saya jikalau ia bukanlah sekadar membuka kios kaos. Mahanagari betul-betul mengenalkan khazanah budaya Bandung yang memang “Bandung pisan, euy!”. Salambuku!

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//