Vonis Seumur Hidup HW, Ganti Rugi Korban Mengecewakan
Meski dihukum maksimal, namun hakim tidak memutuskan penyitaan aset milik terdakwa HW untuk dijadikan biaya hidup korban.
Penulis Emi La Palau15 Februari 2022
BandungBergerak.id - Terdakwa kasus pemerkosa belasan satriwati di Bandung, HW, divonis hukuman seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (15/2/2022). Guru ngaji ini terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana pemerkosaan pada murid-muridnya yang masih anak di bawah umur.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjaara seumur hidup,” ungkap Ketua Majelis Hakim Yohannes Purnomo Suryo Adi, dalam membacakan tuntutannya. Hakim juga menetapkan agar HW tetap ditahan.
Hakim menyatakan bahwa vonis tersebut merupakan hukuman maksimal. Meski demikian, putusan hakim ini menuai kekecewaan terutama menyangkut penyitaan dan restitusi atau ganti rugi bagi korban (yang sebenarnya tak bisa dinilai dengan materi). Padahal kasus ini mestinya menjadi fakta hukum yang mampu membuat jera para pelaku kejahatan seksual lain yang kemunginan masih berkeliaran di luar sana.
Perlu diketahui, Indonesia maupun Kota Bandung menghadapi darurat kekerasan seksual. Pada 2021 terdapat 1.731 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan, menurut Dokumen Catatan Akhir Tahun Komisi Nasional Anti-Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan).
Dari jumlah tersebut, 962 kasus adalah kasus kekerasan seksual, dengan rincian: 229 kasus perkosaan, 181 kasus pelecehan seksual, 166 kasus pencabulan, 10 kasus percobaan perkosaan, 5 kasus persetubuhan, dan 371 kekerasan seksual lainnya.
Di Kota Bandung sepanjang 2020 ada 431 kasus kekerasan pada anak yang ditangani oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bandung. Artinya, di tahun pagebluk terjadi penambahan 181 kasus dari jumlah total kasus di tahun sebelumnya (2019) yang tercatat sebanyak 250 kasus. Ke-431 kasus kekerasan pada anak di sepanjang 2020 itu di antaranya terdiri dari 155 kasus kekerasan psikis, 69 kasus pelecehan, dan 55 kasus kekerasan fisik.
Menurut hakim, terdakwa HW terbukti melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3), ayat (5) jo Pasal 76D Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Oleh karena Pasal 81 ayat (5) juga diterapkan pada terdakwa, maka biaya perkara dibebankan oleh negara. Pembayaran restitusi dibebankan kepada Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Indonesia.
Adapun restitusi (ganti rugi) diberikan kepada 12 dari 13 korban, dengan total yang harus dibayarkan sebesar Rp 331 juta. Dengan rincian untuk anak korban 11 (Rp 75.777.000), anak korban 3 (Rp 22.535.000), anak korban 9 (Rp 24.497.000), anak korban 6 (Rp 8.600.464), anak korban 2 (Rp 14.139.000), anak korban 10 (Rp 9.872.368).
Kemudian anak korban 12 (Rp 85.830.000), anak korban 7 (Rp 11.378.000), anak korban 6 sejumlah (Rp 17.724.377), anak korban 4 (Rp 19.663.000), anak korban 5 (Rp 15.991.477).
Pembayaran restitusi ini tidak dapat dibebankan kepada terdakwa, karena merupakan hukuman tambahan sebagaimana Pasal 67 KUHP. Hal tersebut karena terdakwa terlah dijatuhi hukuman maksimal, sehingga tuntutan lainnya seperti kibiria kimia, penyitaan aset, yang menjadi tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum menjadi gugur.
“Sesuai ketentuan Pasal 67 KUHP tuntutan JPU menjadi berlebihan dan tidak tepat, majelis hakim tidak dapat diterapkan terhadap terdakwa,” ungkap hakim.
Dalam persidangan tersebut, hakim juga memutuskan anak-anak yang dilahirkan oleh korban akan diberikan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk dirawat.
Putusan majelis hakim ini lebih ringan dari tuntuan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut hukuman mati, kebiri kimia, denda Rp 500 juta, dan juga penyiataan aset milik terdakwa yang akan digunakan untuk kepentingan anak-anak korban.
Menanggapi putusan hakim, JPU yang juga Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jabar, Asep N Mulyana mengungkapkan pihaknya menghormati dan mengapresiasi putusan majelis hakim. Putusan tersebut menurutnya tak jauh berbeda dengan tuntutan primer yang diajukan JPU yakni hukuman maksimal. Pihaknya juga mengungkapkan bahwa akan memikirkan mengambil langkah banding atau tidak selama 7 hari ke depan.
“Berdasarkan putusan majelis hakim itu yang mana kami melihat ada beberapa tuntutan kami yang belum dikabulkan, tentu kami akan mempelajari secara menyelruh pertimbangan dan putusan majelis hakim, maka kami menyatakan pikir-pikir,” ungkap JPU, usai persidangan.
Baca Juga: Sidang Kasus Perkosaan Santriwati, HW Meminta Maaf
Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat
Kasus HW sebagai Kejahatan Seksual Luar Biasa
Perbedaan Nilai Restitusi
Terkait dengan hanya 12 korban yang menerima restitusi, tenaga ahli dari Lembaga Pemberdayaan Saksi dan Korban (LPSK), Abdanev mengungkapkan bahwa dalam prosesnya satu orang korban belum memenuhi berkas-berkas bukti yang harusnya dipenuhi untuk diserahkan kepada pihak kejaksaan. Sehingga karena persoalan waktu, maka LPSK mengajukan yang 12 korban terlebih dahulu,
Abdev juga menjelaskan terkait dengan persoalan perbedaan angka nominal restutusi tiap korban yang berbeda-beda. Ia mengungkapkan bahwa permohonan ganti rugi itu sepenuhnya menjadi kewenangan dari korban. Perihal perbedaan, pihaknya menghitung sesuai dengan kebutuhan masing-masing korban.
“Ada yang mengajukan ganti rugi atas hilangnya keperawanan, tapi si B atau yang lainnya tidak mengajukan. LPSK tidak bisa memaksakan, itu pure hak korban yang mengajukan,” ungkapnya.
Hal lain yang membedakan besaran restitusi antara lain pemulihan dan masalah psikologi. Sebagai contoh, kebutuhan terapi masing-masing korban berbeda-beda, ada yang membutuhkan 10 kali terapi, da nada juga yang hanya 5 kali.
Ganti Rugi Korban Mengecewakan
Di antara korban HW, 4 orang anak di antaran berasal dari pedalaman Garut, Jawa Barat. Butuh waktu sekitar 5 jam bagi mereka untuk tiba ke Bandung dengan niat menuntut ilmu. Beberapa dari mereka ada yang bercita-cita menjadi guru. Nahas, cita-cita itu kini hancur karena kelakuan bejat guru mereka sendiri.
“Dan cita-cita mereka itu sebetulnya hanya ingin menjadi guru nanti di kampungnya. Jadi cita-cita mulia, tapi ya cita-cita itu di tengah jalan buyar,” ungkap Diah Puspitasari Momon, Ketua Komnas Perlindungan Anak Jabar.
Diah menceritakan bagaimana kondisi anak-anak korban ketika ia berkunjung beberapa waktu lalu. Kejadian tentu berat bagi korban. Bahkan kondisi psikis salah satu korban sangat memprihatinkan. Dia akan kaget ketika ada orang yang tiba-tiba membuka pintu rumahnya, kada dia juga menjerit-jerit sendiri.
“Masih ada beberapa yang trauma, jadi mereka dengar suara pintu kaget, tapi yang pasti masih ada satu anak yang masih ibunya cerita ke saya dia jerit-jerit. Ibunya sudah bujuk juga, dia malah balik ke ibunya, 'mamah ngak merasakan apa yang saya rasakan’. Jadi dia yang kelihatan yang paling depresi,” ungkapnya.
Diah mengaku kecewa dengan hukuman seumur hidup yang dijatuhkan majelis hakim. Juga kecewa dengan tidak dikabulkannya tuntutan jaksa mengenai penyitaan aset untuk keperluan korban. Karena itu ia akan terus berdialog dengan JPU terkait langkah hukum ke depan.
“Mungkin kita akan ngobrol lagi dengan JPU. JPU sendiri tuntutannya berbasis kepentingan anak. Harus kita balikan lagi. Mungkin ada tuntutan perdata (terkait pencabutan yayasan). Kemungkinan besar untuk banding,” katanya.