• Cerita
  • BANDUNG HARI INI: Inggit Garnasih Lahir, Mendampingi Sukarno sampai Gerbang Kemerdekaan

BANDUNG HARI INI: Inggit Garnasih Lahir, Mendampingi Sukarno sampai Gerbang Kemerdekaan

Ketika Indonesia mendekati gerbang kemerdekaan, Sukarno meminta izin untuk memadu Inggit Garnasih.

Inggit Garnasih, istri Sukarno di masa Indonesia menuju merdeka. (Sumber: kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id)

Penulis Reza Khoerul Iman17 Februari 2022


BandungBergerak.id – Pasangan suami istri, Ardjipan dan Asmi tak kuasa membendung suka citanya ketika di suatu pagi pada 17 Februari 1888 di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, di Bandung selatan, lahir seorang putri cantik yang suatu saat akan menjadi seorang perintis kemerdekaan Indonesia.

Garnasih. Begitu mereka memberi nama pada pendatang baru di keluarga mereka. Garnasih sebagai sebuah nama pada akhir abad ke-19 bukanlah suatu nama yang lazim di pakai. Tito Asmara Hadi, anak Ratna Djuami (Ratna Djuami merupakan anak angkat Inggit Garnasih-Sukarno), dalam draft bukunya Fajar yang Luka menjelaskan bahwa nama Garnasih merupakan kesatuan kata.

“Garnasih merupakan singkatan kesatuan kata Hegar dan Asih, yaitu Hegar yang berarti segar menghidupkan dan Asih berarti kasih sayang,” tulisnya.

Gadis jelita itu tumbuh dewasa di tengah keluarga petani bersama dua orang kakaknya, Natadisastra dan Murtasih. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Garnasih tumbuh menjadi “bunga desa” yang membuat para pria enggan mengedipkan matanya.

Asal Nama Inggit

Nama “Inggit” disematkan belakangan yang konon pemberian dari warga setempat. Setidaknya ada dua versi mengenai asal nama Inggit. Versi pertama, kala itu para pria yang tertarik dengan pesona Garnasih selalu memberinya uang seringgit.

“Sejak itulah aku diberi nama atau katakanlah disebut orang-orang di rumah pada mulanya si Ringgit dan kemudian menjadi Inggit,” kata Inggit Garnasih, dikutip dari buku Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Inggit dan Soekarno, karya Ramadhan K.H.

Namun dalam versi lain menyebutkan bahwa keanggunan gadis Garnasih selalu menjadi perhatian para pemuda. Tidak jarang di antara para pemuda itu ada yang mengatakan, “Mendapat senyum dari Garnasih sama dengan mendapat uang seringgit,” (Inggit Garnasih: Perempuan dalam Hidup Soekarno: Biografi Inggit Garnasih, Reni Nuryanti, 1983).

Begitulah Inggit Garnasih tumbuh dan berkembang. Sebagaimana layaknya gadis-gadis seusianya tumbuh di era kolonial.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Peresmian Masjid Cipaganti, Masjid Pertama di Bandung Utara
BANDUNG HARI INI: 14 Tahun Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC, Luka Besar Jagat Musik Bandung
BANDUNG HARI INI: Akhir Perjalanan Sang Filsuf Jawa di Bandung, R.M.P. Sosrokartono

Inggit Garnasih dan Sukarno. (Foto: dari laman Komunitas Aleut)*
Inggit Garnasih dan Sukarno. (Foto: dari laman Komunitas Aleut)*

Lika-liku Kehidupan

Inggit Garnasih tidak mencapai tingkat pendidikan yang terlalu tinggi, ia hanya memperoleh pendidikan dari Madrasah Ibtidaiyyah (setingkat sekolah dasar). Sejak kecil pula, ia sering kali dibawa oleh ibunya ke pasar. Hal inilah yang menumbuhkan semangat untuk berwirausaha di kemudian hari.

Seperti gadis lainnya, Inggit menaruh rasa suka kepada lawan jenisnya. Awalnya lelaki yang beruntung mendapat cinta Inggit adalah Sanusi. Namun karena pada waktu itu status sosial amat dipertimbangkan dalam pernikahan, maka hubungan keduanya tidak sampai di bangku pelaminan.

“Sanusi akhirnya dinikahkan dengan gadis lain dari keluarga kaya, dan Inggit yang merasa sakit hati memutuskan untuk menikah dengan seorang kopral Residen Belanda yang berkerja Patih Residen Priangan bernama Nata Atmadja,” (Senja di Ranah Bandung: Sejarah Singkat Inggit Garnasih, Nandang Kosasih, Penerbit: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bandung).

Inggit menikah di kala belia, yaitu ketika berumur 16 tahun. Namun pada masa itu, seorang gadis menikah di umur 15 tahun sudah lazim terjadi. Bahkan orang tua merasa resah jika anak gadisnya belum ada yang melamar ketika menginjak umur 15 tahun.

Pernikahan Inggit tidak berjalan dengan baik. Pada tahun 1904, empat tahun setelah Inggit menikah, bahtera rumah tangga Inggit dengan Nata Atmadja harus berakhir. Tanpa dikaruniai seorang anak pun.

Sementara tak lama berselang dari perceraian Inggit, Sanusi yang telah dikaruniai dua orang anak bercerai pula dengan istrinya. Inggit dengan statusnya yang seorang janda dan Sanusi yang merupakan seorang duda beranak dua, akhirnya mewujudkan impian mereka yang dulu sempat terhapuskan.

Sebagai saudagar mebel yang kaya dan seorang aktivis Serikat Islam, Sanusi dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya dengan Inggit. Meski demikian, Inggit telah tumbuh dan berkembang menjadi seorang wanita yang mandiri, ia tidak menggantungkan seluruh kehidupannya pada Sanusi. Dengan keterampilannya, ia bekerja sebagai penjahit pakaian, meracik jamu dan bedak untuk dijualnya sendiri.

Pertemuan dengan Seorang Pemuda

Pada tahun 1921, Sukarno muda tiba di Bandung untuk kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB). Atas surat yang ditulis oleh H.O.S. Tjokroaminoto, mertua sekaligus guru politiknya yang ditujukan kepada pengurus Sarekat Islam cabang Bandung, H. Sanusi, Sukarno bisa tinggal di kediaman Sanusi sebagai anak indekos.

Sejak itu, Inggit dan Sukarno saling berpapasan satu sama lain. Sejak itu pula, Sukarno muda sudah merasa tertarik dengan Inggit. Pertemuannya itu digambarkan dalam otobiografi Sukarno.

“Berdiri di pintu masuk dalam sinar setengah gelap, bentuk badannya nampak jelas dikelilingi oleh cahaya lampu dari belakang. Perawakanya kecil, sekuntum bunga mawar merah melekat di sanggulnyadan suatu senyuman yang menyilaukan mata.... Segala percikan api, yang dapat memancar dari seorang anak 20 tahun dan masih hijau tak berpengalaman, menyambar-nyambar kepada seorang perempuan berumur 30-an yang sudah matang dan berpengalaman,” (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams).

Setelah waktu berganti. Berbagai kejadian telah terlewati. Kian hari Sukarno semakin merasa yakin dengan Inggit. Hingga pada suatu malam di kediamannya, kedua bola pasang mata bertemu, Sukarno menyatakan, “Aku cinta padamu”.

Sukarno ingin mengawini Inggit Garnasih yang kala itu statusnya masih menikah dengan Sanusi. Namun Inggit tak kuasa menolak rayuan dari Sukarno, karena ia merasakan hal yang sama. Akhirnya keduanya menikah, setelah melewati berbagai kejadian dan perjanjian.

Inggit dan Soekarno resmi menikah 24 Maret 1923. Dalam arti lain, Inggitlah yang ke depannya akan menemani, mendukung, dan mengantarkan Sukarno ke gerbang impiannya. Sampai-sampai ia juga yang menemani Sukarno saat terlunta-lunta di pembuangan, jauh di pulau Ende kemudian ke Bengkulu. Ia juga yang memberikan semangat ketika Sukarno dikurung dari penjara ke penjara.

Namun ketika Indonesia mendekati gerbang kemerdekaan, Sukarno meminta izin untuk memadu Inggit. Tetapi Inggit bersikeras menolak dimadu dan ia minta dipulangkan ke Bandung. Ia tidak rela jika cintanya harus dibagi dengan orang lain. Akhirnya Inggit benar-benar dipulangkan ke Bandung.

Berbagai rangkaian peristiwa yang dialami Inggit menjadi suatu kesatuan yang penting dan tidak terlupakan oleh segenap bangsa. Hingga saat ini Inggit Garnasih menjadi perempuan yang layak dan terus dijadikan sebagai panutan oleh bangsa yang telah dirintisnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//