Buku Badujs en Moslims, Potret Hidup Berdampingan Masyarakat Baduy dan Muslim
Buku Badujs en Moslims ditulis Johannes Cornelis Geise hasil tinggal selama 2,5 tahun di kampung adat Baduy, Banten, tahun 1940-an.
Penulis Reza Khoerul Iman17 Februari 2022
BandungBergerak.id - Nicolaas Johannes Cornelis Geise, seorang misionaris sekaligus antropolog Belanda yang pernah tinggal di kampung adat Baduy, Banten, tahun 1940-an. Selama 2,5 tahun ia meneliti masyarakat Baduy dan jatuh cinta pada alam dan budayanya. Dari situ Geise melihat bahwa sudah sejak lama masyarakat Baduy dan agama Islam hidup berdampingan secara damai.
Walaupun kini, masih saja ada masyarakat yang kerap menghakimi atau mendiskriminasi masyarakat adat atas praktik-paraktik yang dinilai bertentangan dengan agama. Hasil penelitian Geise ini bisa menjadi pelajaran penting bagi perjalanan bangsa yang beragam suku dan agama seperti Indonesia.
Geise memang seorang misionaris. Namun di saat mendekati masyarakat asli Sunda ia melepaskan baju keagamaannya dan segera mendekati masyarakat asli Sunda dengan baju keilmuan antropologinya. Pendekatan ini membantunya dalam memahami suatu sistem kepercayaan orang atau masyarakat lain yang berbeda.
Dari penelitiannya itu, Geise membuat disertasi (1951). Baru 71 tahun kemudian, hasil buah tangannya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbikan menjadi sebuah buku: Badujs en Moslims: Kajian Etnografis Masyarakat Adat di Lebak Parahiang Banten Selatan.
Buku Baduy dan Muslim tersebut diluncurkan dan dibedah pada rangkaian Dies Natalis yang ke-67 Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Selasa (15/02/2022).
“Karya, kehadiran dan keteladan Mgr. Geise barangkali yang lebih substansial untuk kita katakan adalah sebuah keniscayaan. Salah satu karya itu adalah hasil penelitian beliau ini. Sekalipun panjang sejarah banyak tahun yang sudah dilalui, tetapi toh kita juga bisa mengatakan, inilah sebuah keniscayaan,” tutur Rektor Unpar Mangadar Situmorang, dalam sambutannya.
Penerbit Buku Kompas yang diwakili oleh Haryo Damardono, merasa terhormat dapat dilibatkan dengan diberi kepercayaan menerbitkan karya Geise.
“Ini karya yang luar biasa dari Mgr. Geise, hasil penelitian beliau selama dua setengah tahun (1939-1941), di Lebak Parahiang, Banten Selatan. Sebagaimana karya jurnalistik, karya ini merupakan hasil kerja lapangan yang luar biasa,” ucap Haryo Damardono.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Belajar dari Negeri Beribu Leuit, Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 1)
Otonomi Masyarakat Adat sudah Ada Jauh sebelum Republik Indonesia Berdiri
Ritual Adat Sunda di Kaki Gunung Tangkuban Parahu
Baduy dan Nicolaas Johannes Cornelis Geise
Nicolaas Johannes Cornelis Geise fasih berbahasa Sunda. Ia lair di Belanda tahun 1907 dan meninggal tahun 1995 di Heerlen, Belanda. Pada tahun 1939-1941, selama dua setengah tahun i meneliti masyarakat Baduy dan muslim di Banten Selatan. Dengan berbekal penguasaan bahasa Sunda, Geise dapat melakukannya penelitian tersebut tanpa halangan komunikasi.
Hal ini dinilai oleh Ira Indrawardana, salah seorang narasumber bedah buku, bahwa penguasaan bahasa merupakan kunci Geise dalam meneliti komunitas masyarakat Baduy. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitiannya yang dapat menggambarkan permasalahan dengan amat detail.
Penguasaan bahasa ini menjadi poin penting bagi para antropolog dalam melakukan penelitian atau riset. Geise pada akhirnya menjadi sesosok yang patut untuk dicontoh.
”Ini pelajaran penting bagi antropolog. Sering kali karena tidak bisa bahasa lokal, terus jadi kendala riset.,” ungkap Ira, dosen Departemen Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad).
Hasil penelitian tersebut menjadi disertasi Geise untuk mendapatkan gelar doktor dalam bidang Antropolog pada tahun 1951 di Belanda. Buah tangan Geise itu mendorong Unpar dan pihak lainnya untuk menerjemahkan dan menerbitkan disertasi tersebut.
Budayawan dan dosen Unpas, Hawe Setiawan, narasumber berikutnya, menilai buku Geise sarat akan kisah-kisah yang didapatkan olehnya. “Saya sendiri tertarik dengan kisah, sebab saya berpendapat bahwa adanya kisah kita bisa menjadi manusia,” ungkap Hawe.
Semiarto Aji Purwanto (Guru Besar Antropologi dan Dekan FISIP Universitas Indonesia), mengatakan tantangan yang paling besar dalam riset mengenai suatu agama atau kepercayaan di suatu masyarakat tradisional khususnya Baduy adalah menggambarkan sistem keyakinan atau sistem kepercayaan yang masih dilindungi oleh tabu-tabu. Namun, Mgr. Geise dapat masuk kedalamnya.
“Saya tidak tahu bagaimana caranya Mgr. Geise ini bisa masuk ke sana, tapi saya duga, bagaimana beliau menjalin rapport. Nah ini satu konsep yang penting dalam metode grafologi. Rapport, hubungan baik dengan informan adalah salah satu kuncinya,” tuturnya.
Keberagaman dan Nama Parahyangan
Unpar merupakan kampus yang menyandang nama yang berasal dari istilah Sunda, yakni parahyangan, lengkapnya, Universitas Katolik Parahyangan. Mengapa nama tersebut disandang Unpar, menurut Bambang Q-Anees, buku Geise memberikan jawabannya.
Bambang yang juga Dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung sekaligus tokoh NU tersebut menuturkan, dirinya menamatkan SMA di Serang, Banten. Semasa sekolah, ia kerap melewati sekolah Mardi Juana yang rupanya didirikan Geise.
Belakangan ia menyimpulkan bahwa pendirian sekolah Mardi Juana di Serang sebagai salah satu bentuk kecintaan Geise pada masyarakat Sunda, khususnya Baduy. Melalui bukunya, Geise mengungkapkan rasa kedalaman cintanya itu. Kecintaan ini mengilhami Geise dalam pemberian nama bagi universitas yang kelak ia dirikan di Bandung.
“Setelah membaca buku ini jadi tahu mengapa Universitas Katolik memilih nama Parahyangan,” kata Bambang.
Bambang lantas mencoba merekonstruksi masa-masa Geise ketika tinggal dengan masyarakat Baduy, tertarik dengan kebudayaannya, nyaman dengan lingkungan dan alamnya, sehingga mengilhaminya untuk membangun universitas dengan nama parahyangan. Parahyangan sendiri merupakan istilah sakral bagi masyarakat Baduy.
“Geise ini menunjukkan rasa hormat, cinta, kagum yang dalam ke masyarakat Baduy. Dibuatlah Universitas Parahyangan,” katanya.
Bambang lalu membacakan sepenggal halaman terakhir buku Geise yang mengungkapkan kecintaan dan rasa hormatnya pada masyarakat Baduy:
“Penulis bertemu dengan orang-orang yang hidup dengan kesederhanaan, serba kekurangan, namun dengan budaya internal yang kaya luar biasa, yang mengejawantah dalam kebaikan, ringan tangan, dan persahabatan,” (halaman 263).
Dalam tafsiran Bambang, pemberian nama Universitas Katolik Parahyangan maupun melalui isi buku secara umum, Geise juga mengajak kepada generasi kekinian untuk mengikuti langkahnya dalam menghormati istilah parahyangan maupun masyarkaat adat Baduy, bagaimana mereka menghormati dan memperlakukan alam, menghormati kebersamaan dengan yang lain, dan seterusnya. Istilah parahyangan diharapkan menjadi spirit dalam pengembangan Unpar ke depan.
“Saya kira pada alang tahun yang ke-67 ini bisa menjadi bahan renungan Unpar,” kata Bambang.
Bahan renungan lainnya, sebagai tokoh NU ia mengajak umat untuk menjunjung tinggi keberagaman Indonesia, termasuk menghormati keberadaan masyarakat-masyarakat adat.
“Yang menarik pada buku Baduy dan Muslim ini sebagai kesaksian bahwa Baduy dan Muslim itu hidup bersama, tidak bertengkar dan sebagainya,” paparnya.
Namun Bambang melihat dewasa ini ada gejala di masyarakat yang ingin agar masyarkaat adat masuk agama tertentu. Padahal hidup berdampingan bisa dilakukan tanpa harus beragama sama.
“Catatan Geise dari tahun 1940-an ini menjadi cermin bagi masyarakat Islam Jawa Barat untuk belajar berdampingan dengan masyarakat adat,” kata Bambang.
Masalah keberagaman ini juga disinggung Tristam Pascal Moeljono (Dosen Fakultas Hukum Unpar). Menurutnya, buku Badujs en Moslims mencerminkan kesungguhan Mgr. Geise untuk menghargai dan menghidupkan kembali identitas etnik.
“Ini sekarang gejala-gejalanya sudah muncul masyarakat adat itu sangat mudah tersinggung ketika dicolek sedikit identitasnya,” tutur Tristam.
Selain narasumber di atas, bedah buku yang dihelat Fakultas Filsafat Unpar ini juga menghadirkan Jakob Soemardjo (Guru Besar Emiritus ISBI Bandung).