• Nusantara
  • Mencegah Mutasi Varian Omicron di Hari Meriang Nasional

Mencegah Mutasi Varian Omicron di Hari Meriang Nasional

Munculnya varian omicron menambah panjang pagebluk yang kini memasiki tahun ketiga. LaporCovid-19 memberikan 9 catatan terkait penanganan Covid-19 di Indonesia,

Pameran Foto 731 menampilkan 57 foto tunggal dan empat cerita foto karya 15 jurnalis foto PFI Bandung, dibuka di Gedung Indonesia Menggugat, Kota Bandung, Rabu (2/3/2022) sore. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana4 Maret 2022


BandungBergerak.idBeberapa hari terakhir netizen di media sosial ramai memperbincangkan tentang hari greges nasional. Istilah gregas ini muncul karena banyak masyarakat yang mengeluhkan meriang atau demam, batuk, pilek dan tenggorokan sakit. Greges merupakan istilah sakit meriang yang biasa dipakai masyarakat Jawa.

Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher RSA UGM, Mahatma Sotya Bawono, mengatakan greges merupakan gejala yang biasanya muncul saat seseorang terserang flu. Namun, dalam situasi pandemi omicron saat ini sulit membedakan apakah seseorang terkena flu atau terinfeksi Omicron.

"Sulit dibedakan karena infeksi Omicron memilki gejala seperti flu biasa," terang Mahatma, dikutip dari laman resmi UGM, Jumat (4/3/2022). 

Mahatma menyampaikan pada flu biasa memiliki gejala demam, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan. Kondisi tersebut serupa dengan gejala khas pada omicron yakni demam, batul, pilek, dan nyeri tenggorokan.

"Salah satu bedanya yang dominan adalah nyeri tenggorokan yang lebih berat dibandingkan dengan flu," ucapnya.

Apabila tubuh merasakan gejala greges, Mahatma mengimbau masyarakat untuk beristirahat, membatasi interaksi, dan melakukan isolasi mandiri. Jika gejala tidak mereda dalam kurun waktu 24 jam disarankan melakukan swab test. Pengecekan swab test menjadi upaya yang dapat membedakan apakah yang tengah dialami adalah flu biasa atau varian omicron.

Melalui swab test juga diharapkan bisa menekan penularan Omicron. Selain itu juga melindungi orang-orang yang berisiko mengalami gejala berat seperti lansia, orang yang belum divaksin, dan orang dengan komorbid.

Mencegah Mutasi Varian Omicron 

Varian omicron pertama kali dilaporkan ke World Health Organization (WHO) saat terdeteksi di Botswana pada 11 November dan di Afrika Selatan pada 14 November. Pada 26 November 2021, WHO pun menamai varian baru tersebut sebagai varian B1.1.529 atau yang kita kenal dengan nama omicron. Varian ini diklasifikasikan ke dalam Varian of Concern (VOC). Artinya, varian ini dapat meningkatkan penularan, meningkatkan kematian, bahkan memengaruhi efektivitas vaksin.

Omicron merupakan hasil mutasi dari virus corona yang kini mendominasi penularan di seluruh dunia.  Varian omicron juga diyakini bisa bermutasi kembali untuk terus bertahan. Maka diperlukan upaya pencegahan agar varian ini tidak menghasilkan mutasi yang lebih membahayakan.=

“Transmisi virus ini juga perlu ditekan, untuk mencegah agar tidak timbul mutasi-mutasi berikutnya, yakni dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, yaitu menjaga jarak, memakai masker, serta tidak berkerumun di ruang tertutup dan yang memiliki ventilasi buruk,” kata Heri Setiawan, dosen Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (FF UI), dikutip dari laman resmi UI.

Masyarakat juga diingatkan untuk senantiasa mencuci tangan, mengurangi mobilitas, hingga menghindari makan bersama dengan orang yang tinggal serumah. Hal ini akan sangat membantu mencegah penularan Covid-19 yang masih terus membayangi kehidupan.

Siapa pun bisa terserang varian omicron, tidak peduli tua atau muda, bahkan bagi mereka yang sudah divaksin sekalipun. Untuk itu, jangan lengah untuk terus menerapkan protokol kesehatan.

Selain protokol kesehatan, kata Heri, pencegahan varian Omicron adalah dengan vaksinasi Covid-19. Vaksinasi juga berperan dalam mencegah tingkat keparahan dan mengurangi hospitalisasi.

Baca Juga: Wabah Putus Kuliah Massal di Tengah Pandemi, Pengamat Menyarankan Pembangkangan
731 Hari Pandemi Covid-19 dalam Catatan Visual Pewarta Foto Indonesia (PFI) Bandung
Cerita tentang Keberagaman bagi Para Penghayat Cilik

Dua Tahun Pagebluk

Munculnya varian omicron menambah panjang pagebluk Covid-19 yang kini memasiki tahun ketiga, sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020 lalu. Menurut LaporCovid-19, hingga 1 Maret 2022 jumlah kasus konfirmasi positif  di Indonesia mencapai 5.589.176 orang, dan diikuti kasus kematian 148.660 orang.

Namun LaporCovid-19 menyatakan jumlah kasus dan kematian yang tercatat kemungkinan besar masih jauh lebih rendah dari kenyataan lantaran adanya keterbatasan tes, lacak, dan sistem pencatatan di tingkat pusat maupun daerah.

Terkait genap dua tahun pandemi di Indonesia, LaporCovid-19 bersama CISDI dan Transparency International Indonesia mencatat ada sembilan hal penting dalam penanganan wabah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.

Pertama, survei CISDI bersama WHO (2021) menunjukkan terganggunya pelayanan kesehatan esensial selama pandemi. Survei ini menyebut beberapa pelayanan kesehatan gagal dipenuhi, mulai dari kebutuhan perawatan medis mendesak (18 persen), perawatan jangka panjang berbasis rumah (15 persen), operasi elektif yang direncanakan (14 persen), pengobatan penyakit kronis (14 persen), dan kesehatan mental (14 persen). Lebih dari 25 persen responden melaporkan kesulitan masyarakat mengakses pelayanan kesehatan yang diperlukan sebelum pandemi.

Kedua, sepanjang 2020-2021 masih ditemui persoalan ketiadaan data sebagai dasar pengambilan kebijakan berbasis bukti. Terdapat diskrepansi antara data pemerintah pusat dan daerah dan tidak seluruh penyajian data dilakukan real time. Di samping itu, ditemukan perbedaan kapasitas antarpemerintah daerah dalam mengumpulkan dan menyajikan data penanganan wabah. Akibatnya, tidak semua daerah mampu menyajikan data tersebut kepada publik.

Ketiga, kurangnya komitmen memprioritaskan kelompok rentan dalam program vaksinasi nasional. Keempat, belum responsif dan adaptifnya pelayanan kesehatan menghadapi lonjakan kasus. Pada 2022, LaporCovid-19 menerima lonjakan laporan warga selama merebaknya kasus omicron. Hingga 23 Februari 2022, LaporCovid-19 setidaknya menerima 538 laporan, angka ini meningkat dibandingkan dengan laporan yang masuk pada Januari-Februari 2021 sejumlah 415 laporan terkait protokol kesehatan, vaksin, hingga keluhan kesehatan, dan non-kesehatan lainnya.

Ketika terjadi lonjakan Omicron, ditemui 203 laporan terkait sulitnya warga mendapatkan akses penanganan 3T, baik terkait akses isolasi mandiri dari Kemenkes RI hingga tidak responsifnya puskesmas memantau warga isoman akibat beban yang terlampau banyak. Tidak responsifnya puskesmas dapat menjadi salah satu bukti belum responsif dan adaptifnya layanan kesehatan dalam menghadapi lonjakan kasus.

Kelima, tingginya laporan ketidaksiapan penanganan wabah di sekolah. LaporCovid-19 menerima 156 laporan terkait sekolah yang tidak lagi aman karena banyak murid dan guru terinfeksi positif. Namun respons pemerintah terkait hal ini sangat minim bahkan cenderung membiarkan laporan warga dan membiarkan kasus infeksi Covid-19 terjadi di lingkungan sekolah.

Keenam, masih ditemukan berbagai persoalan tata kelola penanganan wabah. Banyaknya warga mengeluhkan lambannya pemerintah pusat memberikan penanganan pada pasien Covid-19. Beberapa contoh kasus menunjukkan masih ada laboratorium yang tidak menginput data pasien dengan baik, ataupun ketika sudah, pemerintah belum siap mengantarkan obat kepada jumlah pasien yang cukup banyak.

Ketujuh, masih kerap ditemukannya berbagai keluhan terkait akses vaksin dan 3T. Pada 2021, keluhan akses vaksin (403 laporan) dan 3T (233 laporan) masing-masing menjadi laporan kedua dan laporan ketiga terbanyak yang LaporCovid-19 terima sesudah pelanggaran protokol kesehatan. Warga mengeluhkan kesulitan akses tes karena mahalnya biaya, namun di saat yang sama kemampuan tes puskesmas semakin terbatas. Sementara, pemerintah kerap inkonsisten melaksanakan upaya pelacakan, terlihat dari naik-turunnya angka tes nasional selama periode gelombang ketiga.

Kedelapan, masih ditemukan persoalan keterbukaan informasi publik dalam pengadaan barang. Persoalan ini masih menjadi sorotan, terutama dalam pengadaan barang dan jasa. Selama dua tahun terakhir, proses pengadaan barang dan jasa untuk menangani pandemi belum menunjukan perbaikan.

Kesembilan, belum tersedianya data yang solid dan terintegrasi mengenai kebutuhan infrastruktur pendukung program vaksinasi di tingkat pusat maupun daerah. Dalam konteks vaksinasi, cukup banyak pemerintah daerah yang belum memiliki infrastruktur penyimpanan vaksin jenis tertentu yang baik sehingga bisa terjadi kerusakan.

“Oleh karena itu dengan berbagai catatan pembelajaran, kami menyimpulkan situasi penanganan pandemi cenderung menuju skenario survival of the fittest atau ketika orang-orang yang memiliki akses dan sumber daya mampu hidup berdampingan dengan Coviv-19, namun meninggalkan mereka yang tidak memiliki sumber daya memadai,” demikian catatan LaporCovid-19.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//