• Cerita
  • Jalan Berkabut Keluarga Kecil Penjual Tisu di Bandung

Jalan Berkabut Keluarga Kecil Penjual Tisu di Bandung

Hamimah bersama putra-putrinya berjualan tisu di perempatan Jalan Ambon. Sehari-hari ia harus jalan kaki dari tempatnya biasa menginap, di trotoar Otista.

Hamimah bersama dua orang putra-putrinya berjualan tisu di perempatan Jalan Ambon, Kota Bandung, Selasa (22/03/2022). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman22 Maret 2022


BandungBergerak.id - Selasa pagi, (22/03/2022), kawasan GOR Saparua, Bandung, tampak ramai oleh orang yang berekreasi dan berolahraga. Di antara hiruk-pikuk itu, keluarga Hamimah berjibaku membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Hamimah bersama dua orang putra-putrinya yang masih berumur 6 dan 10 tahun, berjualan tisu di perempatan Jalan Ambon, sekitar GOR Saparua. Ibu dan anak-anak itu berharap pada orang yang terjebak lampu merah agar mau membeli tisu.

Waktu bergulir hingga menjelang siang. Hamimah mengaku sejak mulai berjualan pukul 08.00, belum seorang pun yang membeli tisu. Tetapi ia tak mau putus asa. Bersama putrinya – sementara putranya masih terlalu kecil untuk membantu-bantu jualan – ia terus berjualan sambil berharap belas kasihan.

“Saya sama anak-anak jalan kaki dari Jalan Otto Iskandar dari jam enam pagi dan sampai ke sini jam delapan. Sampai sekarang, belum ada tisu ibu yang dibeli sama orang lain. Tapi tadi ada yang ngasih makan ke kita buat sarapan,” ucap Hamimah kepada BandungBergerak.id.

Sebagai gambaran, menurut Google Map, butuh waktu 38 menit untuk menempuh Jalan Ambon dari Jalan Otto Iskandar Dinata (Otista) yang berjarak sekitar 3 kilometer. Rute ini tidak mudah bagi ibu yang membawa dua anak kecilnya.

Hamimah dan putra-putrinya berjualan di sekitaran daerah tersebut sampai pukul 16.00 WIB. Menjelang malam, mereka akan pulang ke Jalan Otto Iskandar Dinata. Di sana mereka menghabiskan malam untuk beristirahat. Tanpa atap, tanpa dinding, tanpa kasur yang empuk, mereka tidur di atas trotoar.

Hamimah mengaku sudah setahun ini mereka tinggal di trotoar Jalan Otto Iskandar Dinata dengan langit sebagai atapnya. Kehidupan getir yang dialami Hamimah bersama keluarga kecilnya berawal sejak mertuanya meninggal. Ia bersama suami dan putra-putrinya diusir dari rumah mertuanya itu.

“Ya, mau gimana lagi, kami terpaksa luntang-lantung, ke sana ke mari buat mencari tempat tidur sementara. Awalnya di Cibadak, tapi karena banyak yang ganggu, akhirnya kami pindah ke Jalan Otto,” tutur Hamimah.

Pagebluk yang menyerang mulai tahun 2020 lalu menambah derita kehidupan keluarga Hamimah. Sebelumnya, ia masih bisa bekerja membantu-bantu di rumah orang, tapi karena pandemi Covid-19 ia sudah tidak lagi bekerja.

Dari lubuk hati terdalamnya, Hamimah sebenarnya tidak tega membawa anak-anaknya ikut berjualan di jalanan. Namun, karena kondisi dan situasi yang sedang mereka alami, ia dengan terpaksa mesti membawa putra-putrinya ke sana ke mari menjual tisu.

Baca Juga: Jumlah Penduduk Miskin di Kota Bandung 2005-2020
Kemiskinan di Bandung Meningkat Sejak Pandemi Covid-19
Ratusan Ribu Warga Jabar Mengalami Kemiskinan Ekstrem

Hamimah bersama dua orang putra-putrinya berjualan tisu di perempatan Jalan Ambon, Kota Bandung,  Selasa (22/03/2022). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Hamimah bersama dua orang putra-putrinya berjualan tisu di perempatan Jalan Ambon, Kota Bandung, Selasa (22/03/2022). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Tidak Ada Kebebasan pada Anak

Permasalah ini membawa dampak buruk pada putra-putri Hamimah. Kebebasan dan kebahagiaan anak-anaknya terpaksa direnggut oleh situasi dan kondisi. Pada usia sedini itu, mereka mesti berada di lingkungan jalanan yang keras, penuh polusi dan tidur di tempat rentan dan berbahaya.

Anaknya yang sulung terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolah, padahal ia sudah masuki kelas 4 Sekolah Dasar. Hamimah tidak mampu mencukupi kebutuhan sekolah putrinya itu.

Tidak banyak yang dikatakan putri Hamimah saat diajak berbincang oleh BandungBergerak.id. Tentu ia sedih ketika masa pendidikannya harus terhenti. Ia tidak tahu ingin jadi apa di masa depan nanti, selain menginginkan ibu dan keluarganya memiliki rumah dan hidup bahagia.

Sementara si bungsu, di usia yang seharusnya sudah mendapat pendidikan di Taman Kanak-kanak, terpaksa harus ikut berjalan ke sana ke mari. Putra Hamimah itu berharap bisa sekolah dan bercita-cita menjadi pemain bola.

Selama hidup di jalanan, Hamimah juga menyaksikan ternyata banyak anak-anak yang memiliki nasib tidak baik seperti putra-putrinya. Mereka tidak mendapat hak kesehatan,  pendidikan, dan hak lainnya selama masa tumbuh kembangnya.

Tidak sedikit anak-anak yang sudah banting tulang atau meminta belas kasihan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka di pusat kota. Hamimah berharap kondisi seperti ini dapat segera berlalu, agar anak-anak juga mendapatkan kebahagiaannya.

Ancaman Kekerasan dan Tecerabutnya Hak Pendidikan

Keluarga kecil Hamimah menjadi potret buram kehidupan anak-anak Kota Bandung yang tidak beruntung. Mereka kehilangan ha katas kehidupan yang layak, pendidikan, bahkan terancam kekerasan karena harus hidup di jalan.

Pagebluk semakin menambah penderitaan mereka. Pada tahun-tahun yang berat ini bahkan kasus kekerasan dan putus sekolah meningkat baik di Bandung maupun secara nasional. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bandung, misalnya, mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat 431 kasus kekerasan terhadap anak.

Artinya, di tahun pagebluk ini terjadi penambahan 181 kasus dari jumlah total kasus di tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 250 kasus. Ke-431 kasus kekerasan terhadap anak itu di antaranya terdiri dari 155 kasus kekerasan psikis, 69 kasus pelecehan sosial, dan 55 kasus kekerasan fisik.

Data miris tentang anak juga pernah dirilis Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Tercatat ada sekitar 4 juta anak sekolah di Jawa Barat pada tahun 2020. Angka putus sekolahnya mencapai 6.030 anak. Sebanyak 5.157 di antaranya terjadi di sekolah negeri, 873 anak dari sekolah swasta.

Ada benang merah antara data tingginya kasus putus sekolah yang terjadi pada tahun pagebluk di Jawa Barat dengan data United Nations Children's Fund (Unicef) Indonesia di mana terdapat 4,3 juta anak tidak mendapat pendidikan sejak pandemi terjadi. Sebanyak 2,3 juta di antaranya tidak bisa membaca ataupun menulis.

Unicef mencatat beragam faktor yang mendorong terjadinya kasus putus sekolah di masa pagebluk, antara lain dinikahkan dini dan bekerja sejak dini. Hal ini terjadi lantaran banyak sekolah yang tutup sejak pagebluk. Orang tua mereka menganggap menikah sebagai solusi untuk meringankan beban keluarga yang menumpuk sejak pagebluk.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//