• Kampus
  • Dosen Unpad Kembangkan Aplikasi Pemantau Kesehatan Mental bagi Nelayan

Dosen Unpad Kembangkan Aplikasi Pemantau Kesehatan Mental bagi Nelayan

Nelayan dinilai sebagai pihak yang rentan mengalami gangguan mental. Ini dipicu karena keterbatasan logistik hingga terbatasnya ikan karena cuaca.

Dosen Program Studi Perikanan Program Studi di Luar Kampus Utama Universitas Padjadjaran (Unpad) di Pangandaran mengembangkan Aplikasi Tuna untuk memantau kesehatan mental nelayan. (Sumber: Unpad)*

Penulis Iman Herdiana28 Maret 2022


BandungBergerak.idNelayan dipandang sebagai salah satu profesi dengan risiko keselamatan yang tinggi, baik secara fisik maupun mental. Khusus mengenai gangguan mental pada nelayan, selama ini dinilai masih sedikit pihak yang mempedulikannya.

Hal itu mendorong dosen Program Studi Perikanan Program Studi di Luar Kampus Utama Universitas Padjadjaran (Unpad) di Pangandaran, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, Alexander M.A. Khan, menginisiasi pengembangan aplikasi berbasis Android untuk memantau kondisi kesehatan mental bagi nelayan.

Aplikasi pemantau kesehatan mental ini dinamai aplikasi Tuna, yaitu Sehat untuk Nelayan Indonesia. Aplikasi dikembangkan bersama sejumlah dosen dan peneliti lintas fakultas, yaitu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan bersama Fakultas Psikologi Unpad. Aplikasi dihasilkan dari riset yang didanai Kemendikbudristek sejak 2021.

“Kita melihat kesehatan mental khususnya di kalangan nelayan belum jadi perhatian utama saat ini. Biasanya, pemantauan kesehatan mental dilakukan untuk anak muda, pekerja formal, ibu hamil, atau penderita sakit secara fisik,” tutur Alex, dikutip dari laman resmi Unpad, Senin (28/3/2022).

Alex mengatakan, tekanan mental ke profesi nelayan sangat tinggi. Kendati merupakan sektor nonformal, tekanan mental terhadap nelayan juga serupa dengan profesi di sektor formal. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa nelayan sangat rentan mengalami tekanan mental.

Dari berbagai riset yang ada, variabel yang menyebabkan kecemasan, stres, hingga depresi pada nelayan antara lain keterbatasan logistik untuk melaut (stok dan harga BBM yang tidak menentu), penurunan nilai harga jual hasil tangkapan, kualitas ikan menurun, hingga anomali cuaca, khususnya bagi nelayan pada saat operasi penangkapan di wilayah yang berbatasan langsung dengan samudera.

Selain itu, tingkat kesejahteraan yang belum merata juga memicu tekanan mental pada nelayan. Besaran pendapatan kerap tidak sebanding dengan biaya operasional dan biaya hidup yang tinggi. Untuk itu, Alex bersama tim yang terdiri dari Zuzy Anna (FPIK), Ajeng Wulandari (FPIK), serta Aulia Iskandarsyah (Psikologi) dan Arina Shabrina (Fapsi), mengembangkan aplikasi Tuna tersebut. Tujuannya agar nelayan mengetahui kondisi mentalnya sebelum melaut.

“Nanti nelayan akan tahu kalau kondisi mentalnya belum sehat maka disarankan tidak melaut. Atau jika nelayan butuh diskusi dan konseling di aplikasi itu kita arahkan guna mendapatkan dukungan konseling maupun hotline yang tersedia pada aplikasi tersebut,” kata Alex.

Baca Juga: UI akan Menyiapkan Mata Kuliah terkait Lembaga Penjamin Simpanan
Pandemi Mempercepat Migrasi Peradilan secara Virtual
Perguruan Tinggi Wajib Terbuka kepada Publik

Aplikasi Pemantau Kesehatan Mental Berguna untuk Melaut

Aplikasi tersebut berisikan sejumlah kuesioner yang wajib dijawab nelayan. Kuesioner mengadaptasi metode Depression Anxiety Stress Scale (DASS) yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan, stres, dan depresi di psikologi.

Ada modifikasi sedikit untuk menyesuaikan dengan kebutuhan riset yang dilakukan. Hasil jawaban nelayan akan menentukan seberapa besar tingkat tekanan mental yang dialami nelayan. Jika mengalami gangguan ringan, maka disarankan untuk tidak melaut sampai kondisi optimal.

Jika hasil menunjukkan mengalami gangguan sedang hingga berat, aplikasi akan menyarankan untuk melakukan konseling dengan psikolog atau penasihat kesehatan. Alex mengatakan, nelayan dapat memilih untuk mendatangi lokasi konsultasi terdekat sesuai arahan aplikasi atau menghubungi saluran siaga (hotline) yang disediakan. Saluran ini akan terhubung ke tim dari Fakultas Psikologi Unpad. Selama riset berjalan, tim menyediakan layanan konseling gratis untuk para nelayan.

“Ke depan mudah-mudahan aplikasi ini bisa mandiri,” imbuh Alex.

Aplikasi Khusus Nelayan

Memantau kesehatan mental sama pentingnya dengan memantau kesehatan fisik. Mental yang sehat akan menciptakan aktivitas penangkapan ikan yang tenang. Pada nelayan, kesiapan fisik dan mental ini perlu ditunjang dengan ketersediaan logistik yang memadai, cuaca yang kondusif, hingga nilai jual yang tinggi. Alasannya, para nelayan bertaruh nyawa di lautan untuk menangkap ikan. Kondisi fisik dan mental yang terganggu akan meningkatkan risiko bagi nelayan.

“Karena itu, tugas kita melalui riset membantu mereka bahwa manajemen stresnya sampai sejauh mana,” ujar Alex.

Aplikasi Tuna sudah tersedia di Google Play Store. Saat ini aplikasi dapat digunakan oleh siapa saja. Rencana ke depan, aplikasi ini akan membedakan antara data kuesioner yang diisikan oleh nelayan dan yang bukan diisi nelayan. Caranya dengan memasukkan Nomor Kartu Nelayan sebelum mengisi kuesioner.

Kartu Nelayan sendiri merupakan program Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai dokumen legal seorang nelayan. Dengan memiliki kartu ini, nelayan akan mendapat akses fasilitas yang disediakan KKP. Dengan data nomor ini, tim dapat membedakan mana data yang diisi nelayan atau bukan. Data dari nelayan akan menjadi bagian dari riset yang dilakukan Alex dan tim.

“Dari data ini, kita tahu tingkat stres nelayan berapa persen, lalu tingkat cemas dan depresinya juga berapa. Untuk membersihkan data itu, kita butuh kolaborasi dari Kementerian,” kata Alex.

Saat diuji coba ke sejumlah nelayan di kawasan Pantai Palabuhanratu, Sukabumi, banyak nelayan yang antusias. Nelayan mulai tertarik untuk memperhatikan kesehatan mentalnya. Selama ini mereka tidak perhatian terhadap kesehatan mentalnya.

“Diharapkan dengan aplikasi ini mereka bisa aware terhadap kesehatan mentalnya,” kata Alex.

Pembuatan aplikasi Tuna juga didukung dengan hasil pengamatan bahwa sebagian besar nelayan usia produktif, khususnya di Jawa Barat, sudah menggunakan ponsel pintar (smartphone). Sisanya, kelompok usia di atas produktif (60 tahun ke atas) masih ada yang menggunakan ponsel biasa.

“Dari situ kita berangkat, make sense kalau aplikasi ini dibuat. Tujuan awal aplikasi ini ‘kan bermanfaat. Kalau tidak bermanfaat, kita tidak ini melakukannya,” ujarnya.

Alex pun menginginkan agar pengembangan aplikasi Tuna didasarkan kebutuhan nelayan secara langsung. Ia pun sudah meminta masukan dari sejumlah nelayan mengenai apa yang dibutuhkan nelayan melalui aplikasi ini. Diharapkan, masukan ini dapat mendorong Tuna menjadi salah satu “perangkat wajib” nelayan sebelum melaut.

“Kita ingin aplikasi ini berdasarkan citizen science,” tambahnya.

Beberapa masukan yang dipertimbangkan yaitu mengembangkan ruang komunikasi antarnelayan salah satunya mengenai informasi harga ikan. Sebagai contoh, nelayan di Pangandaran dapat memasukkan harga jual ikan komoditas tertentu. Harga ini kemudian bisa menjadi patokan bagi nelayan di Palabuhanratu dalam melakukan tawar-menawar harga jual ikan. Selain itu, ada pula masukan untuk menyediakan informasi kondisi cuaca, tinggi gelombang, lokasi penangkapan ikan, hingga harga jaring atau operasional penangkapan ikan.

“Nanti akan kita sortir datanya,” kata Alex.

Rencananya, aplikasi Tuna akan bekerja sama dengan institusi pemerintah terkait, di antaranya Kementerian Koordinasi Maritim dan Inverstasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Kesehatan, sehingga aplikasi ini dapat digunakan oleh nelayan di seluruh pesisir Indonesia.

Dengan demikian, nelayan Indonesia dapat menjadi lebih peduli dengan kesehatan mentalnya. “Hasil riset ini akan menjadi bukti bahwa Unpad bermanfaat dan mendunia,” tutup Alex.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//