• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (52): Di Huma, Abah dan Ema Menanam Padi, Jagung, dan Singkong secara Tumpangsari

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (52): Di Huma, Abah dan Ema Menanam Padi, Jagung, dan Singkong secara Tumpangsari

Di huma, Abah dan Ema tidak hanya menanam padi, melainkan juga jagung dan singkong secara tumpangsari. Anak-anak selalu diajak, mulai dari menanam hingga memanen.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Suasana panen di huma, ladang di lahan kering. Di kampung, anak-anak selalu diajak dalam setiap tahap pengolahan huma, dari menanam hingga memanen. (Foto: T. Bachtiar)

30 Maret 2022


BandungBergerak.id - Dalam setiap tahapan berkebun di huma, di ladang lahan kering, kecuali saat mencangkul, anak-anak selalu diajak Abah dan Ema. Mencangkul atau membalikkan tanah dilakukan dengan garpuh, alat yang bentuknya seperti garpu makan, tapi ukurannya yang besar. Tingginya satu meter, lebar bagian bawah garpunya, sekitar 25 sentimeter, yang menancap ke tanah sedalam 15 sentimeter dengan cara dihentakkan, ditekan dengan pijakan kaki, lalu pegangannya ditarik ke belakang, hingga bongkah tanahnya dibalikkan. Begitu seterusnya, terutama di lahan yang tanahnya keras.

Beberapa minggu lamanya tanah yang sudah dibalikkan itu dibiarkan. Tahap berikutnya, bongkahan tanah dihaluskan dengan cangkul. Akar ilalang dan rerumputan yang sudah kering dikumpulkan di satu titik, biasanya di atas tunggul bekas pohon yang ditebang. Mengolah lahan selesai, kami tinggal menunggu musim penghujan datang.

Begitu musim penghujan sudah tiba, ditentukanlah waktunya kapan ngaseuk, menanam benih dimulai. Biasanya Ema mengajak Ua Euceu dan putranya untuk membantu ngaseuk. Pada saat menanam benih, ada dua peran yang satu dengan yang lainnya berhubungan erat. Pertama ada yang bertugas menancapkan tongkat sebesar pergelangan tangan, yang bagian bawah tongkatnya diruncingkan melingkar seperti pinsil. Fungsinya, bila tongkat itu ditancapkan ke tanah, kemudian diangkat, akan membentuk lubang yang meruncing ke bawah, dengan diameter atas 2,5 cm dan dalamnya 2 cm.

Peran membuat lubang biji ini diserahkan kepada laki-laki, dipimpin oleh Abah. Posisinya berada di depan, terus saja berjalan ke depan sambil menancapkan tongkat ke tanah, ke kiri, ke kanan, dengan jarak yang sudah ditentukan, sesuai dengan jenis padi yang akan ditanam.

Di belakang para pembuat lubang, mengikuti para perempuan yang akan menanam benih. Tangan kiri mereka memegang wadah benih, dan jari-jari tangan kanannya mengambil 3-4 butir benih padi huma yang dimasukkan ke dalam lubang. Sambil berjalan, tanah yang ada di seputar lubang digeser dengan ibu jari kaki, ditutupkan ke dalam lubang.

Huma seluas lapangan bola itu sudah selesai dikerjakan pada tengah hari, ketika bayang-bayang tak terlihat, karena matahari berada tegak di atas kepala.

Ngaseuk sudah selesai. Tanpa dikomando, semua berjalan menuju saung. Di kolong saung sudah tersedia nasi liwet dalam kastrol besar. Angeun, sayur lodeh dengan santal kental sudah tersedia di panci besar. Angeun lodeh khas buatan Ema, ada potongan-potongan kecil labu siam, potongan kecil oncom, santan kental, potongan cabai hijau besar, dan potongan kecombrang. Padanannya ada beberapa ikan asin sepat goreng, ada sambal terasi yang digoreng, dan lalab matang.

Kami makan dengan lahapnya sampai berkeringat. Semua yang membantu ngaseuk beristirahat di teduhnya pohon nangka dekat saung.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (51): Berharap Kaya dengan Mengabdi Siluman Anjing, Siluman Bagong, Siluman Ular, Buta Ijo, atau Kesrek Seumur Hidup
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (50): Ragam Makanan Berbahan Dasar Beras Ketan, dari Opak, Bugis, hingga Calangaren
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (49): Ketika Anak-anak Sekampung Keranjingan Mendorong Pelek Sepeda

Menanam, lalu Memanen

Tugas Ema belum selesai. Masih ada kerja menanam biji mentimun di abu bakas membakar rumput beberapa waktu lalu. Sedikit ke arah pohon petai, di sana Ema menanam biji waluh, labu kuning, dan di dekat rumpun lengkuas, ditanam benih hiris. Bukan hanya ngaseuk biji padi, tapi juga menanam singkong dan jagung secara tumpangsari, yang sudah diatur jarak tanamnya agar semuanya tumbuh dengan baik, tidak saling mengalahkan.

Ketika padi sudah tumbuh sejengkal tingginya, serta mulai ada tumbuhan pengganggu di antara tanaman pokok, dilaksanakanlah ngored, membersihkan rerumputan pengganggu yang tumbuh di antara padi, menggunakan kored, alat yang dibuat dari besi dengan satu sisi bagian depan yang tajam. Beberapa orang saudara membantu sehingga pekerjaan dapat diselesikan dengan cepat. Pada saat ngored, jangan sampai kored yang tajam itu menyabet tumbuhan utama, karena akan layu, kemudian mati.

Padi terus tumbuh dengan baik. Begitu pun jagung, singkong, mentimun, dan waluh sudah jauh merambat. Rumput liar di pinggir kebun terus dibersihkan, jangan sampai menjadi tempat bagi hama yang akan mengganggu tanaman utama.

Yang pertama kali dipanen adalah jagung. Senang sekali kalau sudah panen jagung, karena kami akan kenyang makan jagung.

Jagung yang sudah dipetik dikumpulkan di kolong saung. Beberapa lembar terluar kulit jagung dibuka, lalu disatukan, diikat per sepuluh jagung. Biasanya jagung direbus, tapi, kalau sudah tidak sabar menunggu rebus jagung matang, saya memanggang jagung dengan tusukan bambu.

Satu bulan setelah panen jagung, panen padi sudah dimulai. Lagi-lagi kami memerlukan bantuan saudara, sehingga keluarga Ema diajak untuk membantu menuai padi huma dengan ani-ani, pisau pemotong padi yang dibuat dari besi yang ditancapkan pada bagian muka kayu tipis. Selongsong bambu dipasang saling menyilang dengan kayu tipis dan pisau kecil. Setiap 10 ikat padi yang dihasilkan, ditambah satu ikat padi sebagai jasa bagi yang menuai.

Kalau saya berjalan di antara padi-padi yang sedang dituai, saya tak akan terlihat karena padi lebih tinggi. Saya tak berani berjalan jauh di huma, dan lebih banyak menunggu di saung dan sekitarnya, sambil membuat terompet dari batang padi.

Hasil panen diangkut ke rumah, lalu dijajarkan di salayan, di batang bambu yang dipalangkan di antara dua tiang di halaman rumah. Padi dibiarkan di salayan beberapa hari sampai kering. Biasanya, pada malam purnama, padi dari salayan diturunkan untuk dipangkek. Tangkai padi dibersihkan, ukurannya disamakan, lalu diikat ulang dengan tali yang baru, lalu dikencangkan dengan pahul, selongsong bambu sebesar ibu jari kaki, panjangnya sejengkal, sampai berbunyi keeek….

Hasil mangkek ditumpuk di halaman rumah, lalu ditutupi dengan karung. Besok, padi itu akan dijemur sampai kering, untuk dilanjutkan proses selanjutnya, yaitu ngageugeus atau ngadugel, mengikat ikatan padi padi dalam dua atau tiga ikatan. Beres diikat, dengan tali bambu baru yang lebih panjang. Agar mudah ditarik hingga kencang ikatannya, bagian dalam tali dilapisi tanah liat dari Tanjung. Proses itu dilajutkan dengan memotong bagian ujung tangkai padi yang tidak rata sampai rapi.

Ikatan padi yang sudah rapi itulah yang disimpan dalam leuit, bangunan tersendiri yang terpisah dengan rumah, atau di goah, kamar dekat dapur, yang khusus digunakan untuk menyimpan bahan makanan. 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//