• Nusantara
  • RUU Sisdiknas Meresahkan Federasi Guru Honorer Madrasah

RUU Sisdiknas Meresahkan Federasi Guru Honorer Madrasah

RUU Sisdiknas meresahkan pegiat pendidikan hingga guru, termasuk para guru yang tergabung di Federasi Guru Honorer Madrasah (FGHM) Indonesia.

Vaksinasi anak di ruang kelas madrasah Muhammadiyah di Bandung, 11 November 2020. Program vaksinasi difteri, tetanus, ini berlangsung di tengah pandemi Covid-19. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana2 April 2022


BandungBergerak.idPenggodokan regulasi oleh pemerintah dan DPR kembali menimbulkan keresahan rakyatnya. Setelah mengesahkan UU Cipta Kerja yang kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi, kini para pemangku kebijakan sedang membahas Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).

RUU Sisdiknas meresahkan pegiat pendidikan hingga guru, termasuk para guru yang tergabung di Federasi Guru Honorer Madrasah (FGHM) Indonesia yang berpusat di Bandung, Jawa Barat. FGHM Indonesia menolak RUU Sisdiknas karena dinilai tidak mewadahi peran dan fungsi guru madrasah.

“Rencana pemerintah yang akan memperbarui UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 patut dihargai kalau memang maksudnya untuk mengintegrasikan berbagai UU yang berkaitan dengan pendidikan. Namun menjadi kontra produktif apabila, secara sengaja maupun tidak, justru menghilangkan salah satu entitas yang selama ini turut menjadi tulang punggung penyelenggara pendidikan,” kata Ketua FGHM Indonesia, Ismet Iis Sari Mulyani dalam keterangan tertulis yang diterima BandungBergerak.id, Sabtu (2/4/2022).

Federasi Guru Honorer Madrasah Indonesia merupakan himpunan guru madrasah dengan anggota 39 ribuan orang. Menurut Iis, hadirnya RUU Sisdiknas jelas akan meresahkan para guru madrasah khususnya yang honorer.

Iis mengatakan, dalam RUU Sisdiknas yang drafnya sudah beredar secara terbatas di masyarakat, tidak ditemukan diksi madrasah sebagai unsur penyelenggara pendidikan berbasis keagamaan. Dalam draf ini, tentang pendidikan keagamaan dirangkum dalam kalimat yang bersifat umum yaitu: Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan pelajar untuk menguasai pengetahuan, keterampilan dan sikap yang menjadi landasan untuk menjadi ahli ilmu agama atau peranan lain yang memerlukan penguasaan ajaran agama.

“Jadi tidak disebutkan secara tegas siapa penyelenggaranya,” kata Iis.

Hal itu berbeda dengan yang tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 17 ayat (2) mencantumkan diksi madrasah sebagai salah satu entitas penyelenggara pendidikan dasar: Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI)  atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat.

Iis memaparkan, mengingat undang-undang merupakan produk hukum sedangkan prinsip hukum adalah kejelasan dan ketegasan, maka penghilangan kata madrasah dalam RUU Sisdiknas ini bisa menimbulkan berbagai konsekuensi.

Pertama, FGHM Indonesia khawatir keberadaan madrasah tidak akan mendapatkan pengakuan, hak administratif serta perlindungan secara konstitusional. Ini akan mengurangi, bahkan memangkas daya hidup madrasah secara institusi maupun perangkat pendukungnya yaitu para guru dan siswa-siswanya.

Kedua, FGHM Indonesia menilai bahwa madrasah sebagai entitas penyelenggara pendidikan secara perlahan akan teralienasikan dari ingatan masyarakat. Jika sudah terjadi seperti itu, tidak akan ada orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka ke madrasah.

Baca Juga: Pejabat Kemenag Jabar Kena Covid-19, Tunjangan Ribuan Guru Honorer Madrasah Terlambat
Persib di antara Reruntuhan Anyer Dalam
Tak Ada Air Bersih di Ciwalengke

Menolak RUU Sisdiknas

FGHM Indonesia pun menyatakan sikapnya terhadap pembahasan RUU Sisdiknas, sebagai berikut:

  1. Tidak ditemukannya diksi 'madrasah' dalam draf RUU Sisdiknas 2022 jangan dianggap sebagai kealfaan belaka tetapi harus disikapi secara serius dan penuh kewaspadaan karena menyangkut eksistensi madrasah dan perannya dalam mendidik generasi muda Indonesia agar menjadi manusia yang berahlaqul karimah dan cerdas secara ilmu pengetahuan;
  2. Menuntut Komisi X DPR RI agar menolak RUU Sisdiknas 2022 apabila tidak memuat secara jelas dan tegas peran serta madrasah dalam penyelenggaraan pendidikan yang disetarakan dengan sekolah umum seperti telah termaktub dalam Pasal 7 ayat (2) UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003;
  3. Menuntut pemerintah agar lebih peka dalam membuat undang-undang atau peraturan lainnya yang berkaitan dengan kepentingan umat beragama;
  4. Menyeru kepada setiap elemen masyarakat, terutama pemangku pendidikan madrasah agar menyampaikan penolakan RUU Sisdiknas 2022 apabila madrasah tidak diikutsertakan secara jelas dan tegas dalam penyelenggara pendidikan nasional.

“Demikian pernyataan sikap kami atas draf RUU Sisdiknas 2022 sebagai bentuk perjuangan mempertahankan eksistensi peran madrasah dalam pendidikan nasional. Semoga bermanfaat bagi semua pihak,” pungkas Iis.

Sebelumnya, penolakan terhadap RUU Sisdiknas disuarakan Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Pendidikan. Aliansi ini meminta pembahasan RUU Sisdiknas dalam Prolegnas 2022 ditunda karena proses penyusunan RUU ini tidak transparan dan kurang melibatkan partisipasi publik.

Aliansi meminta pemerintah dan DPR agar bercermin dari pengesahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi dan berbuntut panjang hingga sekarang.

“Patut jadi pelajaran bersama, bahwa ketidakterbukaan dan proses legislasi yang tergesa-gesa sering kali membuahkan produk yang cacat,” tegas Aliansi.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//