• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (38): Asyik dan Unik, Peluncuran Buku Sundea di Taman Lalu Lintas

MEMORABILIA BUKU (38): Asyik dan Unik, Peluncuran Buku Sundea di Taman Lalu Lintas

Sundea merupakan nama pena dari Ardea Rhema Sikhar. Ketika marak buku bernuansa teenlit, chicklit, dan sastra wangi, Sundea berani menulis cerita-cerita keseharian.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Undangan sekaligus poster publikasi peluncuran buku Salamatahari #2 karya Sundea di Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani (8/11/2009). Diselenggarakan atas kerja sama Dipan Senja, Salamatahari.blogspot.com, Tobucil, Kontemplacity, dan Sky FM (Sumber foto: Deni Rachman).

3 April 2022


BandungBergerak.idSebelumnya saya tak pernah menyangka bisa menyelenggarakan acara buku di Taman Lalu Lintas (Talalin). Biasanya, ya, jika tak di toko buku, acara buku digelar di kampus atau di area pameran buku. Waktu itu, ada keasyikan dan keunikan yang saya bisa rasakan, ketika bisa memasarkan buku karya Sundea berjudul Salamatahari #2. Di Taman Lalu Lintas, 8 November 2009, peluncuran buku bersuasana pesta masa kanak-kanak begitu kental terasa. Ada yang bilang, acara itu mirip sekali dengan kumpul-kumpul keluarga.

Hari itu hari Minggu, pengunjung Taman Lalu Lintas (Talalin) mulai antre menyemut di loket penjualan tiket. Hanya peserta peluncuran buku Sundea-lah yang bisa melenggang tenang masuk. Pasalnya, mereka sudah membayar tiket khusus beberapa hari sebelumnya kepada panitia. Nita dibantu Pipit dan Novi sudah berjaga di dekat pos loket. Satu tiket seharga 35 ribu, sudah mendapatkan buku Salamatahari #2, tiket masuk Talalin, dan sebuah tomat.

Loh, kok ada tomat? Iya, tomat, sebagai simbol terima kasih penulis dan tim buat peserta yang sudah prapesan buku Sundea. Tapi kenapa tomat ya? Di poster undangan juga Erri Nugraha a.k.a. Errithethird selaku desainer cover buku Sundea, menggambarkan tomat yang segar berdampingan dengan tomat yang keriput. Biar tambah penasaran, yuk, ikuti terus kisah memorabilia ini sampai tamat, ya.

Buku Salamatahari #1 dan #2 dan kliping profil Sundea di rubrik Kampus Pikiran Rakyat. (Sumber: Deni Rachman & Ully)
Buku Salamatahari #1 dan #2 dan kliping profil Sundea di rubrik Kampus Pikiran Rakyat. (Sumber: Deni Rachman & Ully)

Asal Muasal Membongkar Memorabilia

Beberapa hari lalu, datanglah Deu Galih – musisi folk – ke rumah. Selain sekadar ngobrol seputar koperasi buku, ia juga berencana menerbitkan buku keduanya, Industri Musik yang Menjajah. Terselip ingatan saya, terbang ke tahun 2009 ketika bersama Galih menyemarakkan acara peluncuran buku Sundea. Galih saat itu membuatkan soundtrack Salamatahari #2 dan turut hadir melengkingkan suaranya di Talalin. Galih kini sudah punya beberapa album yang bikin genah gendang telinga, dan sudah bisa kawan-kawan dengarkan di perangkat musik gawai.

Di sela-sela obrolan, saya kemukakan keinginan saya untuk menuliskan acara yang sangat unik dan nyleneh itu ke Galih. “Sayang, Gal, Semua foto-fotonya udah pada menghilang,” ungkap saya, “hanya selembar undangan saja yang masih apik saya simpan.”

“Ada, kang Den di saya! Dan mungkin beberapa ada di Dea,” timpal Galih. Bukan main girang saya mendengarnya. “Saya bongkar-bongkar dulu yah, kang Den.” Galih pulang dan baru malam tadi ia mengirim banyak foto dan tautan Facebook via WA.

Tampak di foto, orang-orang yang tentunya saya kenal akrab. Di tahun-tahun keguyuban toko buku berbasis komunitas (2000-an) sebelum datangnya alam medsos. Keceriaan Sundea, keisengan Erri, Nita yang masih unyu-unyu, Papap yang jabrik, Galih yang kurus, Theo yang masih aktif menjadi penyiar radio, Em Mahmud semasa hidup, Wiku sang partner kerja, Tarlen dan Upi, Desi, Rani, Nunu jauh sebelum jadi bapak dosen, Agus Gusrak yang masih jadi penyiar PR FM. Dan ada yang tak terfoto, oh ternyata seseorang yang kemudian menjadi istri saya hadir di acara Sundea itu, rupanya ia fans berat Sundea.

Empat Penyalamatahari: Nita, Dea, Erri, dan penulis, sedang melihat video soundtrack Salamatahari karya Deu Galih. (Sumber: Sundea)
Empat Penyalamatahari: Nita, Dea, Erri, dan penulis, sedang melihat video soundtrack Salamatahari karya Deu Galih. (Sumber: Sundea)

Siapa sih Sundea?

Saya mengenal Sundea di kawasan pendidikan Jatinangor sekira tahun 2004 atau mungkin 2005. Pertemuan bersimpul di Kedai Buku Nalar, Perpustakaan Batu Api Jatinangor, atau yang pasti pangkalan Damri karena tujuan pulang kami sama, ke Bandung. Saya yang ngampus di fakultas teknik akhirnya bisa berkenalan dengan mahasiswa dari fakultas sastra. Kenal Sundea tentu akhirnya bisa kenal dengan Norvan Pecandu Pagi (alm., penulis buku Pamali 1-2, dan menulis beberapa zine), Dani Papap, Ojel, dan Kimung lewat zine Minor-nya. Di Bandung, simpulnya ada di Tobucil semasa di Jalan Kyai Gede Utama atau Bacabaca Bookmart Sabuga.

Sundea bilang, ia bertemu saya di Klab Baca Pramoedya tahun 2004-an. Tak lama kemudian, ia mengajak saya mengelola acara Festival Tanabata yang diselenggarakan oleh Jendela Ide asuhan Marintan Sirait. Tempatnya, persis di sebelah kanan Tobucil. Saya kaget dan tak terbiasa, karena acara itu pesertanya 100 persen anak-anak. Sepanjang pengalaman saya, saya belum pernah berinteraksi literasi dengan anak-anak. Guna mempersiapkan mental bertemu para bocah, saya banyak membaca buku anak-anak. Yang lucu dan sedikit memalukan, saya disindir Sundea karena ketahuan saya terlalu asyik membaca buku seputar anak-anak tinimbang berinteraksi lebih banyak dengan mereka. “Selami aja dunia mereka, Den, ga usah cari di buku,” sindir Sundea.

Sundea merupakan nama pena dari Ardea Rhema Sikhar, alumnus Sastra Unpad 2001. Ketika di tahun 2000-an marak buku bernuansa teenlit, chicklit, dan sastra wangi, Sundea berani menulis lalu menerbitkan cerita-cerita dari hal kecil yang mungkin sepintas lalu dirasa tidak penting. Bahkan Dewi Irma, jurnalis PR, saat itu menyebut buku Salamatahari #1 yang diluncurkan di Common Room, sebagai buku abnormal (kliping, Tak Pernah Berhenti Bermain, Pikiran Rakyat, 21/9/2006).

Sundea banyak bercerita soal hal remeh-temeh yang amat sangat akrab dalam keseharian kita. Simak saja judul-judulnya: Ujan yang Ngerintik Diem-diem, Keresek di Mulut Gang, Telor Ceplok Buatan Senter, Ricecooker yang Sombong, Kupu-kupu Rasa Sarsaparilla, Menunggu Gigi Angkot Tumbuh, Cerita Truk Pasir, dan Kisah Dua Tomat (yang segar dan kisut itu).

Sederhana, nyeleneh, nyantai, tapi syarat makna. Buku ini bakal mengena dibaca oleh anak-anak yang beranjak remaja, dengan tetap didampingi ayah bunda atau siapa pun yang bakal ketagihan untuk terus membaca. Bukunya sudah tak terbit ulang, tapi tenang, kita masih bisa membaca ‘semacam’ lanjutannya di web salamatahari.com yang Sundea kelola sendiri. Jejak tulisan Sundea ini rupanya sudah bertumbuh sejak ia menulis diary sejak kelas 1 Sekolah Dasar.

Sundea merupakan peserta klab menulis di Toko Buku Reading Lights (di Jalan Siliwangi, tutup usaha di tahun 2016) dan sekarang saya lihat ia masih aktif di komunitas CS Writer. Kerap jika saya bertemu, sering terlibat obrolan dengan humor-humor ala Sundea. Saya sering dibuatnya ‘seuri koneng’ alias senyum yang ada di antara lucu atau tidak, tapi sebenarnya itu lucu. Saya kadang memanggilnya dengan plesetan “Sundae”, salah satu sajian es krim enak buatan waralaba yang letaknya selalu di persimpangan jalan. 

Mengenai karya Sundea, saya kutip testimoni Prof. Bambang Sugiharto: “Buku ini ganjil, seperti membukakan mata hati terhadap kesatuan asasi dalam hal kecil sehari-hari: suatu insting ruhani purba, yang selalu tergoda melihat segala sesuatu sebagai suci dan bernyawa. Sesuatu yang telah lama kita lupa. Kelupaan yang sebenarnya telah melahirkan banyak luka dan bencana”.

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (35): Bekerja Paruh Waktu di Perpustakaan Balepustaka (2007-2009)
MEMORABILIA BUKU (36): Pengalaman Menyeramkan ketika akan Berpameran Buku di Kaki Gunung Manglayang
MEMORABILIA BUKU (37): Halo Halo Bandung… Napak Tilas Bandung Lautan Api

Galih, Onde Mande, dan Sundea (Sumber: Deu Galih)
Galih, Onde Mande, dan Sundea (Sumber: Deu Galih)

 

Persiapan Peluncuran dan Pascapeluncuran Buku

Selalu ada saja yang saya luput. Bahkan ketika saya konfirmasi kepada Sundea dan Nita pagi kemarin, mereka pun mengakui sudah banyak yang lupa. Perlahan saya merapikan data-data dari undangan acara dan banyak foto, makin membuat kepingan memorabilia ini menjadi utuh.

Lalu saya merunut sejak kapan saya lewat agen literasi Dipan Senja mengaping penulis Sundea, dan nanti bakal nyambung mengaping para penulis lainnya: Anjar, Adenita, dan Evi S.R. Saya menemukan foto ketika Erri sedang ‘menjemur’ draft buku Salamatahari #2 di rumah saudara Sundea di Jalan Siliwangi. Saya memulai mengaping Sundea dari bukunya yang kedua, dan itu berarti kira-kira dimulai sejak bulan Juli 2009.

Secara umum, saya membagi dua babak proses kelahiran buku Salamatahari #2. Babak kesatu persiapan/prapeluncuran buku dan babak kedua pascapeluncuran buku. Babak kesatu meliputi:

a. Dari awal yang mengelola persiapan ini ada 4 orang: Sundea, Erri, saya, dan Nita. Setiap orang yang terlibat dalam agenda ini Sundea sebut Penyalamatahari. Para Penyalamatahari ini di awal-awal produksi buku ada Tarlen, Upi, Galih, Theoresia Rumthe, Em, Novi, Pipit, Wiku, Didin, Desi, para penyiar dan tim di Radio Sky FM, Rase FM, dan PR FM, Anwar Holid, Fenfen Septina, Ilalang.

Sundea dan Erri fokus pada penerbitan buku sedangkan saya dan Nita fokus pada promosi/marketing buku. Erri melalui studio desainnya Errithethird Kontemplacity di ruang kamar pribadinya yang apik di Jalan Tubagus Ismail, dengan telaten merancang desain cover, isi, lay out buku, poster, stiker, undangan peluncuran, hingga kaos Salamatahari.

Di tahun 2009-an, teknis cetak dengan PoD (printing on demand) yaitu sistem cetak dengan di-print dan bisa sesuai pesanan. Satu buku pun bisa diproduksi, tidak terkena jumlah minimal seperti pada sistem cetak offshet. Teknik PoD saat itu mulai dikenal di kalangan komunitas perbukuan di Bandung, namun belum ramai dipakai seperti sekarang.

Saya melalui rumah produksi di Jalan Bojong, menyediakan tempat buat berkumpul, briefing, evaluasi, dan menghimpun data prapesan buku Salamatahari. Saya bermitra dengan Nita yang mengeola data prapesan dan peserta peluncuran buku. Nita juga membantu pemasaran ini dari event ke event selama rentang waktu -+ September s.d. November 2009. Agak samar-samar dalam ingatan Nita, saat itu kurang lebih undangan yang mengikuti prapesan dan mau hadir sekira 70-an orang.

Saya dan Nita juga yang fokus mencari dan akhirnya menetapkan Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani sebagai lokasi peluncuran buku. Kami lumayan intens bolak-balik memastikan biaya tiket masuk dan lokasi yang tepat untuk berkumpul. Dipilihlah lokasi taman berumput hijau di sebelah wahana kereta api atau yang bersebelahan dengan Jalan Sumatera, areanya cukup luas dan sepi dari jangkauan pengunjung.  Area yang biasanya padat biasanya di area kolam renang dan kereta api. Pintu masuk dari arah selatan yaitu dari Jalan Belitung.

b. Beberapa hari sebelum peluncuran, Nita dengan giat menghubungi dan terus mengontak para pemesan prapesan buku Salamatahari #2. Buku akan di-print sesuai jumlah pemesan. Saya kira pada waktu itu, sistem preorder (PO) belum marak seperti sekarang. Peserta yang sudah membayar akan mendapatkan undangan khusus yang di dalamnya sudah termasuk gratis masuk Talalin, buku ekslusif bertanda tangan Sundea, dan cenderamata. Cenderamata ini diberikan kepada 100 pemesan pertama.

c. Menurut Sundea, untuk pembiayaan produksi buku ini berasal dari Sundea disubsidi silang dari prapesan sebesar 35 ribu per orang.

Babak kedua pascapeluncuran Salamatahari #2, ada pembubaran panitia yang waktu itu ngumpul dan makan bareng di Sumber Hidangan, membuka stand di acara JazzCraft Vaganza 2010 di Kota Baru Parahyangan, dan Pesta Buku Bandung 2010.

Pada Pesta Buku Bandung, LawangBuku dan Penerbit Salamatahari menjadi penyelenggara acara taklshow musical bernama Meet and Greet Penulis dan Ilustrator Salamatahari. Sundea (Penulis), Errithethird (Ilustrator), dan Galih duduk di depan para Penyalamatahari di hari Jumat, 19 Februari 2010, jam 13.00 – 15.00. Uniknya Sundea minta acaranya jangan dilangsungkan di atas panggung di balkon seperti yang biasanya Ikapi selenggarakan.

Suasana santai peluncuran buku Salamatahari di Tama Lalu Lintas. (Sumber: Deu Galih)
Suasana santai peluncuran buku Salamatahari di Tama Lalu Lintas. (Sumber: Deu Galih)

Yang Unik dan Asyik dari Serba-serbi Salamatahari #2

Selama menjadi event organizer buku Sundea ini, saya merasakan ada energi kreatif dari para relasi Sundea. Semua seakan berlomba memberikan ide dan persembahan yang terbaik bagi Sundea.

Pada saat acara berlangsung di Talalin, para Penyalamatahari duduk lesehan di atas rumput. Di antara dua pepopohan dipajang selebaran kertas yang ditempel di beberapa utas tali. Kertas itu berisi tulisan kesan dan harapan dari para Penyalamatahari yang datang. Hadir juga keluarga besar Dea, mulai dari Ayahnya Dea dan saudara-saudaranya.  Acara lalu dibawakan oleh Theo sebagai MC, dilanjutkan dengan obrolan santai, dan pementasan musik oleh Deu Galih, Klab Klasik String Trio, dan Karnatra. Di sebelah pinggir area digelar bazar tomat. Seingat saya bazar tomat ini dikelola oleh Didin Tulus. Setelah acara rampung, beberapa Penyalamatahari ada yang naik kereta api mainan di Talalin.

Banyak kesan yang saya dapatkan mulai dari cara grafika/produksi fisik buku yang unik hingga saat perhelatan peluncuran buku berlangsung. Sepanjang mengelola kelahiran buku ini, ada suasana sersan (serius tapi santai) dan penuh keceriaan. Ada satu dua masalah dirembukkan bersama dan dicari solusinya.

Buku Salamatahari disiapkan dengan selembar kertas khusus tanda tangan yang ditempel di sampul depan buku, diikat oleh pita kuning. Ilustrasi buku dikelola kembali oleh Erri menjadi produk lain seperti kaos dan dikelola oleh Em menjadi produk sandal, stiker, kresek, dan lain-lain.

Sebagai penutup, saya berjanji bercerita kenapa tadi di awal tulisan ini disinggung-singung buah tomat sebagai cenderamata dan dijadikan ilustrasi di kertas undangan. Rupanya kisah 2 tomat, yang segar dan kisut ini, diceritakan di buku Salamatahari #2. Menurut Sundea, kisah ini terinspirasi dari Oom Tomo (almarhum) yang waktu itu bersama Sundea sedang hobi reiki, suatu pengembangan energi dalam diri manusia biasanya dipakai untuk tujuan baik seperti untuk menyembuhkan orang. 

Satu waktu, mereka membuat latihan reiki dengan membuat percobaan 2 tomat. Yang satu direiki, sedangkan yang satu lagi dibiarkan apa adanya. Setelah beberapa waktu, terjadi perubahan pada kedua tomat itu. Yang diberi aliran energi tampak segar sedangkan yang satunya lagi sudah berubah kisut dan lembek.

Dalam pandangan Sundea, kedua tomat itu seakan terlibat obrolan, saling mencibir satu sama lain. “Aku dan dia sama-sama tomat. Dari pasar yang sama. Disimpen di kulkas yang sama. Tapi kenapa aku yang dipilih untuk nggak direiki? Dea yakin keadaan itu mempercepat kekisutannya”

Ada pergulatan batin yang Sundea ungkapkan dalam tulisannya itu. Ya, dari percobaan tomat dan reiki itu. Menurut Sundea, kenapa Oom Tomo tidak mereiki satu tomat saja, dan tak usah bawa-bawa tomat lain. Dan ternyata tak mungkin. Untuk tahu seberapa besar pengaruh reiki itu, Oom Tomo harus mempunyai tomat lain sebagai pembanding.

“Tau-tau Dea, kok, jadi sedih, ya? Di setiap hal yang kita anggap baik, sebenernya ada hal yang harus kita anggap nggak baik yang ngebayang. Ketidakbaikkan itu ternyata menapasi kebaikan, karena tanpa ketidakbaikan, konsep baik sendiri nggak akan pernah ada. Cuman untuk hal yang harus berdiri sebagai ketidakbaikan itu; kenapa harus mereka yang dipilih berdiri di sana?”

Salambuku!

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//