• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (37): Halo Halo Bandung… Napak Tilas Bandung Lautan Api

MEMORABILIA BUKU (37): Halo Halo Bandung… Napak Tilas Bandung Lautan Api

Komunitas Ulin Bandung menelusuri 10 Stilasi Bandung Lautan Api yang tersebar dari utara hingga selatan, menyelami peristiwa pembakaran Kota Bandung.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Penulis menjadi Pangaping kelompok walking tour Bandung Lautan Api. (Sumber : FB LawangBuku, Fotografer: Ina)

27 Maret 2022


BandungBergerak.id“Sementara itoe pesawat oedara Inggeris moendar-mandir antara Djakarta dan Bandoeng mengirimkan balabantoean jang besar-besaran. Para evacuees diangkoetnja dari Bandoeng ke Djakarta, dan dari Djakarta diangkoetnya tentara sebanjak-banjaknja. Konvoi2 Inggeris/ Belanda datang bertoeroet2 ke Bandoeng oentoek persiapan besar-besaran, goena mempertegakkan imperialis Belanda kembali. Plan Belanda dengan bantoean Inggeris hendak mengoeasai seloeroeh Djawa Barat paling lambat dalam boelan Djanuari 1946 dan kemoedian akan mengoeasai seloeroeh Djawa dalam boelan2 berikoetnja," ungkap Samaoen Bakry (Peringatan Setahoen Peristiwa Bandoeng, cetakan pertama tahun 1946, dicetak ulang tahun 1996).

Di Bandung, 24 Maret selalu dikenang dengan peristiwa bersejarah Bandung Lautan Api (BLA). Dan sepenggalan kalimat di atas tertera di pengumuman yang saya dan kawan-kawan komunitas Ulin sebarkan di rubrik Acara media sosial facebook LawangBuku sekitar 11 tahun yang lalu dalam rangka memperingati BLA.

Pengumuman itu dipasang sehari sebelum acara. Acara yang bernama “Ulin di Bandung, Seri Palagan Bandung-Bandung Lautan Api” itu ditanggapi oleh 131 orang. Sebanyak 48 orang akan menyatakan hadir. Dan keesokan harinya, Minggu, 10 April 2011, peserta yang ikut sekitar 31 orang. Jejak digital pengumuman itu kami temukan juga di situs PikiranRakyat.com.  Acara itu merupakan kegiatan pertama LawangBuku dalam bentuk napak tilas sejarah.

Saya mulai menghidupkan kembali LawangBuku di tahun 2010, setelah 2 tahun yaitu tahun 2009-2010, vakum berjualan buku. Komiditi buku yang dijual saat itu beralih ke buku lawasan, berbeda dengan sebelumnya saat di awal perintisan usaha di tahun 2001-2008, yang menjual buku-buku baru. Seiring komoditi buku lawasan yang dijual juga rerata bergenre sejarah dan sastra, maka saya merasa perlu mengadakan kegiatan-kegiatan yang ‘nyambung’ dengan genre buku tersebut. Maka, dipilihlah alternatif kegiatan berupa walking tour sejarah kota.

Pemilihan kegiatan ini selain karena sudah jenuh dengan bentuk kegiatan diskusi buku, walking tour itu menjadi model pembelajaran yang sangat menyenangkan. Sebelumnya di Hari Buku Sedunia 2010, saya dan kawan-kawan yang pernah menyelenggarakan napak tilas sejarah toko buku di Bandung, dan ingin membuat kembali kegiatan literasi serupa.

Alasan lainnya, karena Kota Bandung ini menyimpan banyak rekaman sejarah. Termasuk tempat-tempat bersejarah seputar revolusi kemerdekaan antara tahun 1945-1949, di antaranya ada tempat-tempat penting selama terjadinya Bandung Lautan Api. Ada cerita apa sih di balik tempat-tempat itu?

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (34): Bekerja Paruh Waktu di Majalah Matabaca
MEMORABILIA BUKU (35): Bekerja Paruh Waktu di Perpustakaan Balepustaka (2007-2009)
MEMORABILIA BUKU (36): Pengalaman Menyeramkan ketika akan Berpameran Buku di Kaki Gunung Manglayang

Peta perjalanan Ulin ke-1 dan Jiman menjadi Pangaping kelompok walking tour. (Sumber: FB LawangBuku, Fotografer: Luki)
Peta perjalanan Ulin ke-1 dan Jiman menjadi Pangaping kelompok walking tour. (Sumber: FB LawangBuku, Fotografer: Luki)
Sekilas Pembentukan Komunitas Ulin

Saat itu di tahun 2006-2011, saya sudah mengenal Bandung Heritage, komunitas Bandung Trails, dan Aleut. Event kolaborasi yang saya ingat yaitu saat saya diajak melapak buku di halaman belakang Gedung Sate oleh komunitas Bandung Trails, mengadakan walking tour sejarah toko buku di Bandung bareng komunitas Aleut, dan temu komunitas di Taman Lansia Bandung bareng Bandung Heritage.

Mengingat kembali pertemanan saya di tahun-tahun sekitar itu, irisannya tak jauh dari aktivitas perbukuan, komunitas, museum, dan jalan-jalan. Dari pertemanan dan kesamaan minat terutama dalam bidang sejarah, akhirnya kami mendirikan komunitas sejarah “Ulin”. Saya coba menguraikan 3D (Daya, Data, dan Dana) komunitas ini.

Saya mengenal pemilik website Rosmellix.com atau yang dikenal Lingling, sejak ia masih aktif di Bandung Trails. Lingling kemudian menjadi anggota Paguyuban Sapedah Baheula Bandoeng (PSBB), dan sekarang mengelola jasa tur ‘Yuk Ngetrip Sama Saya”.

Ada Jiman atau biasa dipanggil Ji Su. Saya yang bertemu pertama kali dengan Jiman yang alumnus sastra Sunda Unpad ini, saat saya merekrut relawan perpustakaan Dekranasda Jabar. Ia kemudian terlibat aktif di kepantiaan Hari Buku Sedunia dan Pameran Buku di Konferensi Internasional Budaya Sunda ke-2.

Lalu ada Febby dan Adew yang saya kenal sejak mendirikan komunitas Asian African Reading Club (AARC). Febby ‘satu perguruan’ dengan saya terutama dalam hal minat yang sama terhadap sejarah. Kami adalah murid Pak Achmad Iriyadi, dosen senior di jurusan Sejarah UPI. Pak Yadi, saya memanggilnya, menjadi guru favorit saya sejak beliau mengajar sejarah di SMAN 1 Bandung. Sebelum pensiun, Pak Yadi sempat menjadi kurator Musem Pendidikan Nasional.

Febby Syahputra sedang menjelaskan 2 senjata mortar dan bom batok. (Sumber: FB LawangBuku, Fotografer: Ina)
Febby Syahputra sedang menjelaskan 2 senjata martir dan bom batok. (Sumber: FB LawangBuku, Fotografer: Ina)
Adew, yang tinggal di Ledeng, aktif di FLP Bandung dan band Kapak Ibrahim. Adew menulis buku Menjadi Bangsa Pembaca dan sekarang Sekjen AARC.

Dari segi data, tentu saya tak meragukan kemampuan personel keempat kawan saya ini. Lingling yang berpengalaman dalam materi pemanduan, Febby dalam hal kesejarahan karena ia saat itu memang mahasiswa sejarah UPI, Jiman yang pandai nge-MC dan mampu memberikan sentuhan lokalitas Sunda dalam setiap kegiatan/penamaan acara, dan Adew dari sisi kepiawaiannya bermusik dan menulis kritis. Saya turut menyokong dari sisi bahan-bahan referensi, terutama buku-buku sejarah tematik Bandung yang sudah saya kumpulkan sejak tahun 2005-an.

Kemudian dari segi dana, akhirnya kami bersepakat untuk menarik biaya pendaftaran untuk setiap walking tour. Dengan syarat biayanya masih murah, sehingga bisa terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Dana yang terkumpul dialokasikan untuk pengayaan modul/peta jalan-jalan, makan/minum, dan upah untuk para Pangaping. Dalam Ulin BLA, peserta dikenakan biaya Rp 30.000 per orang.

Kenapa dinamai Ulin? Ulin yang diambil dari diksi bahasa Sunda, secara umum diartikan sebagai aktivitas bermain yang menyenangkan. Menurut kamus (LBSS,1995), ulin/ameng adalah aktivitas menyenangkan hati dengan cara jalan-jalan ke sana kemari atau mewujudkan segala hal yang disukai, baik oleh perorangan atau bersama teman-teman. Istilah untuk pemandu, kami gunakan nama Pangaping. Acara Ulin terus bergulir dan di tahun selanjutnya bergerak mandiri dan bukan lagi bagian dari LawangBuku.

Tahun persis pendirian Ulin, belum diketahui. Yang pasti kami sering bertemu dan berkumpul di tahun 2010-an dan bersepakat membuat program walking tour setiap momentum bersejarah. Kegiatan yang tak berbayar dan hanya diikuti oleh para pengurus, buat saya itu adalah ulin yang sesungguhnya. Saat kami ke Stasiun Beos (Kota) Jakarta dan ke Gunung Padang Cianjur, misalnya, adalah momen ulin yang sangat menyenangkan. Event Bandung Lautan Api yang akan saya ceritakan saat ini merupakan program perdana komunitas Ulin.

Lingling sebagai Pangaping peserta yang memakai sepeda. (Sumber: FB Rosmellix, Fotografer: Luki)
Lingling sebagai Pangaping peserta yang memakai sepeda. (Sumber: FB Rosmellix, Fotografer: Luki)

Merawat Monumen Bandung Lautan Api

Ide awal kegiatan ulin ini bermula dari secarik peta lipat keluaran Bandung Heritage berjudul Bandung Lautan Api Jejak Perjungan. Peta berwarna seukuran A3 ini berisi pemetaan 10 stilasi Bandung Lautan Api yang tersebar dari gedung Driekleur di Dago hingga gedung pemancar NIROM di Jalan Mohamad Toha. Dari napak tilas ke seluruh stilasi ini diharapkan bisa menjadi pintu masuk mengenalkan peristiwa yang kerap dijadikan ikon sejarah Kota Bandung kepada publik.

Titik kumpul saat itu dipusatkan di Taman Balai Kota dan berakhir di Monumen BLA, Lapangan Tegalega. Para Pangaping sudah hadir sejak jam 6-an pagi dan briefing sebentar untuk memastikan pembagian kelompok dan rute perjalanan. Lokasi persis kumpul berlokasi di taman patung badak putih.

Sambil duduk-duduk santai, para peserta yang hadir dibagikan peta ulin. Jiman membuka acara. Dipandu oleh Jiman, kami lalu saling memperkenalkan diri. Seingat saya saat itu pesertanya beragam dari remaja hingga orang tua, dan ada satu orang berasal dari Jepang.  

Febby kemudian maju ke depan menerangkan pengantar sejarah BLA. Ia memeragakan bom batok dan mortir. Menurut Febby, bom batoklah yang dipergunakan oleh para pejuang Republik saat itu dalam peristiwa BLA. Adew lalu memimpin lagu Halo-halo Bandung yang liriknya terinspirasi dari peristiwa BLA. Setelah itu, kami membagi peserta menjadi 3 kelompokl. Lalu, kami berdoa bersama sebelum memulai keberangkatan.

Kelompok dibagi menjadi tiga: 1 kelompok walking tour oleh dipandu oleh Jiman dan saya, 1 kelompok walking tour lainnya dipandu Febby dan Adew, dan 1 kelompok gowes sepeda dipandu oleh Lingling. Pesepeda ada 9 orang yaitu Luki, Mak Uwie, Bang Aswi dan anaknya, Fajar, Wiwit, Agus Mahardika, dan Lingling.

Walking tour ketiga kelompok ini dimulai dari stilasi no.2 yang terletak di Bank Jabar, setelah itu kami hampir berpencar satu sama lain, sampai kami bertemu di toko es lilin di persimpangan Cikawao untuk rehat sejenak, lalu berpencar lagi bertemu di Lapangan Tegalega. Perjalanan ini kurang lebih menempuh jarak sejauh 5 kilometer selama hampir 4 jam.

Adew Habtsa tengah mengiringi lagu saat kami tiba di titik terakhir perjalanan. (Sumber foto: Arlyn)
Adew Habtsa tengah mengiringi lagu saat kami tiba di titik terakhir perjalanan. (Sumber foto: Arlyn)
Sejarah Singkat Bandung Lautan Api

Tulisan mengenai BLA telah banyak ditulis orang. Setidaknya ada 7 buku dan 1 film yang mengupas peristiwa ini. Film berjudul Bandung Lautan Api yang disutradarai oleh Alam Surawidjaja dan dibintangi oleh Christine Hakim dan Dicky Zulkarnen ini diproduksi tahun 1974 (durasi film lebih dari 2 jam).

Perkenankan saya menuliskan sejarah singkat peristiwa ini dari buku Bandung Lautan Api karya Suwarno Kartawiriaputra (Penerbit Tarate, 1978, halaman 49-51):

Saat itu adalah hari Minggu, 24 Maret 1946. Seluruh Kota Bandung diliputi suasana yang semakin menakutkan. Keadaan di sana-sini sangat mencemaskan. Anak-anak sekolah sudah lama meninggalkan bangku sekolahnya, karena sekolahnya ditutup. Guru-guru tidak mengajar karena mereka pun turut berjuang dan ikut bertempur melawan musuh. Kalaupun ada sekolah yang dibuka seperti biasa, jalannya tidak lancar. Pertempuran-pertempuran masih kedengaran di beberapa tempat. Ledakan-ledakan senapan, mortir dan granat terdengar di kejauhan.

Dalam suasana yang mencekam itu tersiarlah berita, bahwa pada hari itu juga semua orang dan pasukan bersenjata kita harus meninggalkan Kota Bandung. Tentu saja berita semacam itu makin menambah rasa gelisah. Tetapi sebagian di antaranya tidak ingin meninggalkan Kota Bandung. Bahkan Wali Kota Bandung sendiri, Syamsurizal, bertekad akan tetap tinggal di dalam kota.

Para peserta rehat sejenak sambil menikmati es lilin di pertigaan Jalan Cikawao-Lengkong. (Sumber: FB LawangBuku, Fotografer: Ina)
Para peserta rehat sejenak sambil menikmati es lilin di pertigaan Jalan Cikawao-Lengkong. (Sumber: FB LawangBuku, Fotografer: Ina)

Tekad dan usaha Wali Kota Syamsurijal untuk tetap tinggal di dalam kota hanya dapat bertahan beberapa jam saja. Pada sore harinya Wali Kota mendapat pesan dari pimpinan Tentara Rakyat Indonesia (TRI, embrio TNI) beliau harus segera meninggalkan Kota Bandung. Sebab beberapa saat lagi, seluruh kota Bandung akan dibakar dan dihancurkan.

Sementara itu Pimpinan Majelis Persatuan Perjuangan Priangan, menegaskan pula, bahwa pembakaran dan penghancuran Kota Bandung sudah tidak dapat diubah lagi. Segalanya akan segera dilaksanakan, karena hal ini sudah ditetapkan berdasarkan keputusan bersama.

Demi memelihara kekompakan dan menjaga persatuan dalam membela kemerdekaan, maka seluruh penduduk Kota Bandung akhirnya menaati perintah tersebut. Semua pegawai negeri, segenap kaum keluarga, serta para pegawai perusahaan swasta dan penduduk lainnya, bersiap-siap melaksanakan perintah. Tua-muda, anak-anak, laki-perempuan tak ada yang ketinggalan. Mereka semua melakukan perpindahan yang disebut pengungsian.

Beberapa saat lamanya, berpuluh-puluh ribu penduduk kota dan sekitarnya meninggalkan Kota Bandung. Mereka bergerak ke arah selatan. Di antara mereka ada yang menaiki truk, bahkan ada pula yang memakai kereta kuda, dokar atau keretek sambil membawa barang-barang yang berharga. Sebagian besar berjalan kaki menuju ke arah selatan.

Sementara penduduk Bandung bergerak melakukan pengungsian, para pemuda pejuang sibuk pula melakukan pekerjaan masing-masing. Mereka membagi-bagikan bensin dan bahan peledak di tempat-tempat yang telah direncanakan. Semua telah siap dan hanya tinggal menunggu perintah pemimpinnya.

Kira-kira pukul 20.30, terdengarlah ledakan pertama. Kemudian disusul oleh ledakan berikutnya, hingga akhirnya terdengarlah ledakan-ledakan menggema di seluruh Kota Bandung. Ledakan tersebut memberi tanda, bahwa pembakaran yang direncanakan telah dimulai. Selain dari itu ledakan tersebut memberi tahu kepada segenap penduduk yang masih tinggal agar segera meninggalkan kota.

Maka gemuruhlah suara api menjilat mangsanya. Gedung-gedung, kantor-kantor, toko-toko dan bangunan-bangunan lainnya dimakan api. Nyala api pun menggunung-gunung. Lidahnya meloncat-loncat. Makin lama api itu makin membesar dan meluas ke berbagai arah. Cahayanya memerah, asapnya hitam mengepul dan membubung ke angkasa. Asap itu makin lama makin tebal hingga menutup langit di atas Kota Bandung. Akhirnya seluruh kota Bandung terbakar dan Bandung menjadi lautan api. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 24 Maret 1946.

Poster film Bandung Lautan Api/ (Sumber: filmindonesia.or.id)
Poster film Bandung Lautan Api/ (Sumber: filmindonesia.or.id)

Sepuluh Stilasi Bandung Lautan Api

Berikut ini 10 stilasi yang bisa pembaca jajaki untuk mengenang peristiwa BLA:

  1. Stilasi 1: Gedung Driekleur (sekarang kantor Bank NISP) di pertigaan Jalan Dago-Sultan Agung. Saat itu stilasi ini kami lewati karena pertimbangan waktu dan harus kembali ke atas dari titik kumpul/keberangkatan di Taman Balai Kota. Dahulu gedung ini merupakan kantor berita Domei. Di gedung itulah menurut kesaksian Kolonel Marcel Mohammad pada tanggal 17 Agustus 1945, tertulis pengumuman proklamasi memakai kapur putih.
  2. Stilasi 2: Gedung Denis (sekarang Bank Jabar) di perempatan Jalan Braga-Naripan. Di gedung itu terjadi peristiwa perobekan bendera triwarna Belanda menjadi dwiwarna Merah Putih.
  3. Stilasi 3: Gedung NILMIJ/ Markas Resimen 8 (sekarang Gedung Asuransi Jiwasraya) di pertigaan Jalan Asia-Afrika dan Banceuy. Markas ini menjadi tempat rapat para pimpinan TKR.
  4. Stilasi 4: Rumah di Jalan Simpang. Rumah ini menjadi tempat perumusan serta diputuskannya pembumihangusan Kota Bandung.
  5. Stilasi 5: Pertigaan jalan di kawasan perumahan penduduk Jalan Kautamaan Istri - Dewi Sartika. Jalan itu merupakan salah satu jalur utama pengungsian penduduk kea rah selatan Bandung.
  6. Stilasi 6: Rumah (sekarang pertokoan) di Jalan Dewi Sartika di samping jalan Pendopo. Dahulu rumah itu merupakan markas Komando Divisi III Siliwangi/kantor A.H. Nasution.
  7. Stilasi 7: Pertigaan Lengkong Dalam - Lengkong Tengah. Dulu merupakan tempat tinggal warga Indo Belanda.
  8. Stilasi 8: Jalan Jembatan Baru. Salah satu garis pertahanan pejuang saat terjadi pertempuran Lengkong.
  9. Stilasi 9: Markas Pemuda Pesindo dan BBRI (sekarang SD Asmi).
  10. Stilasi 10: Gedung pemancar NIROM di Jalan Mohamad Toha. Di gedung inilah disebarkan teks proklamasi RI dan lagu Indonesia Raya ke seluruh Indonesia dan dunia.

Titik kumpul terakhir di lapangan Tegalega, kami sengaja memilih lahan berumput hijau di luar monumen BLA. Dari kesepuluh stilasi yang betul-betul masih utuh hanyalah stilasi di Bank Jabar. Sambil mengaso dan meluruskan kaki karena perjalanan yang lumayan jauh dan cuaca terik, saya mendengarkan Adew membawakan lagu balada. Sebagian peserta ada juga yang berbagi cerita selama perjalanan. Menjelang petang kami berfoto bersama dan berpisah.

Perjalanan napak tilas ini memberikan saya satu gambaran nyata tentang pahit-getirnya perjuangan dan pengorbanan yang besar untuk mempertahankan kemerdekaan. Harta benda bisa luluh-lantak oleh api, tapi tidak dengan semangat juang dan harapan para pendahulu untuk merebut kembali kemerdekaan. Salambuku!

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//