MEMORABILIA BUKU (34): Bekerja Paruh Waktu di Majalah Matabaca
Edisi Penulis Kupas Tuntas menjadi edisi pamungkas Matabaca. Mbak Ade mengirimkan 1 bundel Matabaca volume 6 sebagai kado ulang tahun ke-6 sekaligus perpisahan.
Deni Rachman
Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.
6 Maret 2022
BandungBergerak.id - Bagi pelanggan majalah sastra Horison di tahun 2000-an, biasanya kenal majalah Matabaca. Majalah Matabaca terbit sebulan sekali, mengupas dunia perbukuan. Saat itu, saya mulai mengenalnya saat menyambangi toko buku Gramedia Merdeka. Di pojok kanan sebelah penitipan tas, saya tak sengaja melihat majalah itu terpajang di sebelah majalah Horison. Awalnya membeli satu majalah Horison, saya coba-coba membeli majalah perbukuan ini.
Kaget juga, ternyata majalah ini memuat tulisan kawan saya, Anwar Holid. Wartax, demikian saya menyebutnya, kerap bertemu di acara-acara buku yang digelar di toko-toko buku berbasis komunitas seperti di Ultimus, Tobucil, Rumah Buku (kini Kineruku), atau Das Mutterland; atau di kantornya di penerbit Jalasutra, saat itu masih di daerah Jalaprang. Tulisan Wartax bernas, lancar mengalir. Wartax ternyata menjadi kontributor dari Bandung. Jadi, ia rutin mengirim tulisan setiap bulan ke redaksi Matabaca.
Saya pun jadi berlangganan membeli majalah ini. Selain karena ada artikel kawan saya itu, kupasannya yang 100 persen perbukuan menambah daya pengetahuan bagi kami yang sedang berwirausaha sebagai distributor buku. Saya dan Wiku Baskoro di tahun 2004-2007 mendirikan distributor buku LawangBuku.
Matabaca selalu mengangkat topik utama setiap ia terbit. Topik ini biasanya disesuaikan dengan berita aktual/momentum bersejarah di sekitaran bulan majalah itu akan terbit, atau ada semacam naiknya rating topik buku-buku tertentu yang dijual di toko-toko buku.
Tak bisa dipungkiri karena majalah ini diterbitkan oleh grup Gramedia Kompas, majalah ini dipenuhi foto-foto etalase toko buku Gramedia dan iklan buku-buku terbitan grup pimpinan Jakob Oetama itu. Namun ada juga iklan penerbit non-Gramedia atau informasi buku laris di beberapa toko seperti di Omuunium atau Ultimus.
Sejak saya bekerja paruh waktu di majalah ini di awal tahun 2007, rubriknya muncul secara tetap sebagai berikut: Gagas Utama, Mata, Surat Anda, Anjangsana, Teras Muda, Ruang Guru, Komunitas, Sunting, Sosok, Edar, Kupas Buku, Proses Kreatif, Warta, Mancanegara, Buku Baru, Kiat, Opini, Baca. Yang menjadi ciri khas, majalah dibuka dengan rubrik Mata dan diakhiri dengan rubik Baca. Mata berupa tajuk redaksi, sedangkan Baca memuat komentar/berita aktual tokoh masyarakat (sastrawan, artis, aktor, atlet, birokrat, dll.).
Saya akan membagikan kisah bekerja paruh waktu di majalah ini, melanjutkan kisah saya di Memorabilia Buku (30) saat bekerja di Mahanagari.
Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (31): Bertumbuk Bertumbuk Bertumbuh: Memperingati 11 Tahun Sahabat Museum KAA
MEMORABILIA BUKU (32): Kisah Buku dan Bulan Cinta Inggit Garnasih
MEMORABILIA BUKU (33): Melapak Buku di Hari Bahasa Ibu Internasional
Sekilas Sejarah Matabaca dan Media Perbukuan Lainnya
Melengkapi media perbukuan yang sebelumnya pernah terbit kembang-kempis di Indonesia, Matabaca berani bertahan hidup selama 6 tahun (2002 – 2008). Matabaca dirintis oleh Joko Pinurbo, Ondos (Theodorus J. Koekerits), Dorothea Rosa Herliany, dan Andreas Darmanto. Jokpin dan Ondos mewakili Bank Naskah Gramedia, sedangkan Rosa dan Andreas mewakili Yayasan Indonesia Tera. Gagasan awalnya datang dari Frans M. Parera untuk menerbitkan majalah perbukuan yang isinya bukan sekadar warta buku.
Jika dirunut dari tahun 1950-an, maka saya menemukan majalah Pembimbing Pembatja yang diterbitkan oleh Balai Pustaka sejak tahun 1949. Majalah ini menyebut dirinya sebagai media khusus mengembangkan lektur dan memajukan usaha buku. Ia terbit tiap 3 bulan sekali yaitu pada bulan Januari, April, Juli, Oktober.
Selanjutnya, ada Buku Kita yang diterbitkan oleh NV Gunung Agung yang terbit pertama kali, Januari 1955. Namun usianya hanya bertahan 2 tahun, karena pada nomor ke-12 di Desember tahun depannya yakni 1956, majalah itu harus tutup usaha. Mochtar Lubis, HB Jassin, Tamarjaya, Nio Joe Lan, Zuber Usman pernah menulis di majalah ini.
Seakan menyambung kembali sejarahnya, Gunung Agung melalui Yayasan Idayu menerbitkan majalah bulanan Berita Idayu (kemungkinan terbit tahun 1974). Berita Idayu ini merupakan pengembangan dari Berita Bibliografi yang sudah terbit sejak 1955.
Di tahun 1980, hadir media perbukuan yang bernama Optimis. Ia memakai tagline Bulletin Bulanan Himpunan Masyarakat Pencinta Buku. Buletin yang seukuran majalah A4 ini merupakan media informasi anggota Himapbu (Himpunan Masyarkat Pencinta Buku) dan diterbitkan oleh Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leppenas). Hingga tahun ke-2, anggotanya sudah mencapai 1.525 orang. Saya belum mendapat informasi kelanjutan media ini, bertahan terbit sampai tahun berapa.
Ikapi sebagai lembaga swasta yang berkecimpung di dunia perbukuan menerbitkan Berita Buku pada Mei 1987. Awalnya terbit 16 halaman, majalah ini di tahun 1996 sudah terbit dengan 86 halaman. Dari nomor awal penerbitan, majalah ini menjadi corong yang lantang memerangi pembajakan buku. Yang saya ketahui dari jajaran redaksinya hanyalah Pak Rozali Usman sang Pemimpin Umum. Pak Rozali adalah pendiri penerbit Rosda sekaligus Ketua Ikapi saat itu, profilnya pernah diterbitkan menjadi sebuah buku. Majalah yang mengusung tagline Menuju Masyarakat Membaca ini awal dicetaknya pun di Rosda Offset.
Di masa pascareformasi selain Matabaca, ada juga majalah Bukune terbitan grup Gagas Media. Lahir pada 17 Agustus 2007, majalah ini mengangkat isu seputar dunia perbukuan dan penulisan dengan gaya bahasa ringan, serta menyenangkan untuk menyasar segmen kaum muda. Pencetusnya adalah Yayan Sopyan, A.S. Laksana, Anthonius Riyanto, Hikmat Kurnia, Moammar Emka, dan FX Rudi Gunawan. Pada 2007 pemimpin redaksinya adalah Raditya Dika. Majalah Bukune—yang awalnya hanya terbit daring—akhirnya terbit perdana untuk edisi cetak pada November 2007. Di tahun itu juga, Bukune berubah menjadi penerbit.
Pertama Menulis di Matabaca, Berburu Berita Buku
Dalam satu waktu, ketika saya bertemu Wartax di acara komunitas menulis Mnemonic, ia sempat menawarkan kepada saya dan Wiku untuk menulis di Matabaca. Saat itu Wartax mengisi materi teknik penyuntingan di toko buku Das Mutterland yang berlokasi di Jalan Cihampelas.
Rupanya Wiku terlebih dahulu yang mengirimkan artikel. Sedangkan saya mencoba mengirimkan surat elektronik kepada redaksi, melamar menjadi kontributor daerah. Gayung bersambut, mbak Ade Tri Marganingsih selaku redaktur pelaksana membalas email dan menerima saya menjadi kontributor tulisan. Tulisan yang diminta awalnya berupa liputan berita seputar perbukuan di Bandung.
Kerja liputan tak menjadi rintangan karena sebelumnya saya mendapat banyak materi jurnalistik dari Kang Asep Romel kala mengikuti pelatihan di Balai Jurnalistik ICMI (Batic). Saat itu saya masih belum punya kamera. Jadi, saya mengandalkan hasil catatan tertulis dan dari rekaman ponsel. Berita pertama yang saya liput yaitu peluncuran CD Musikalisasi yang diselenggarakan oleh Yayasan Jendela Seni Bandung pimpinan Kang Erwan Juhara, 20 Oktober 2006.
Dari bulan Oktober-November saya berhasil mengumpulkan tiga berita buku tanpa foto. Pengiriman berita melalui email harus sudah diterima redaksi sebelum pertengahan bulan. Sebagai pemburu berita bidang buku yang saya minati ini walhasil terlihat hasilnya di majalah edisi Desember 2006. Ketiga tulisan saya pertama kali dimuat di rubrik Warta. Makin lengkaplah kegembiraan saya, selain mendapat honor tentunya. Sejak saat itu saya pun dapat mengumpulkan kronik buku di Bandung.
Baru pada Matabaca edisi Mei 2007, tulisan panjang saya dimuat, mengangkat profil perpustakaan Bale Pustaka. Bale Pustaka ini menurut saya terbilang unik, selain karena fasilitas perpustakaan yang membuat nyaman pengunjung, perpustakaan yang dikelola oleh Pastoral namun justru dikelola oleh pustakawati muslimah. Puji Wiranti, sang pustakawati bekerja di sana sejak perpustakaan itu berdiri tahun 2002. Perpustakaan itu menjadi ruang publik yang tak hanya diperuntukkan untuk pengurus pastoral namun terbuka untuk pengunjung lintas agama.
Tulisan kedua saya memuat catatan perjalanan Kang Zae, panggilan untuk Zaini Alif pegiat komunitas permainan anak Hong, saat ia berbulan madu ke Pulau Dewata. Saat saya bermain ke kediamannya di Dago Pakar, ia dan istri bercerita baru saja pulang dari Bali dan sempat beranjangsana ke sebuah toko buku unik di Ubud. Namanya Ganesha Bookshop.
Saya lantas mencatat sambil merekam kisah dua sejoli ini. Kang Zae juga memberikan beberapa foto selama mereka ke sana. Saya lalu bilang kepada Kang Zae, jika artikel ini dimuat, hasil honornya akan dibagi bersama.
Dan betul, artikel ini dimuat di edisi Juni 2007. Saya mengabari Kang Zae, membagikan honornya dan membelikannya majalah Matabaca yang memuat kisah toko buku di Ubud itu. Judul tulisan terpampang di sampul muka majalah. Tak semua tulisan kiriman kontributor daerah bisa dimuat redaksi. Ruang dan halaman yang terbatas, menjadi pertimbangan redaksi.
Barulah sejak penerbitan majalah bulan Juli 2007, saya intens mendapat arahan outline penulisan dari mbak Ade melalui email. Saya bersama 2 kontributor lainnya yaitu mas Chusnato (Jakarta) dan Sulistyawan (Yogyakarta) mendapat pembagian tugas untuk meliput berita dan menuliskan feature mengenai topik utama yang berbeda-beda setiap bulannya. Berbeda dengan deadline Warta, pengiriman feature harus diterima pada tanggal 10-11 setiap bulan.
Mewawancarai Ajip Rosidi dan Menemukan Harta Karun Buku Lawas
Merunut kembali ingatan semasa menjadi jurnalis di Matabaca, ada lintasan masa lalu yang kemudian menghubungkannya dengan perjalanan perbukuan saya di kemudian hari. Pertama, saat meliput gagas utama untuk majalah edisi Juni 2008. Perkenalan saya dengan seorang narasumber, membawa saya ke alam tualang buku lawas. Saya diajak ke kediamannya di daerah Dago Bengkok. Menyusuri gang beralas batu memasuki perkampungan yang sepi, saya menyaksikan sendiri satu rumah berisi melulu buku.
Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ribuan buku tersimpan apik di rak-rak yang isinya rerata berkategori buku antik dan langka. Usianya ada yang sudah lebih dari satu abad. Dari pengalaman itulah ditambah perjumpaan saya dengan Pak Dayat, seorang pegiat buku dan peta antik di Bandung, saya tak menduga akan menjalani juga kehidupan di kemudian hari sebagai pedagang buku lawas.
Kedua, ketika mendapat tugas meliput gagas utama perpustakaan yang menyimpan koleksi buku Suharto. Momentum topik ini diangkat tak lama setelah Pak Harto meninggal dunia. Fenomenanya, harga buku-buku biografinya melonjak naik di pasaran. Saya lalu mengusulkan untuk meliput perpustakaan Museum Konperensi Asia-Afrika, yang sudah pasti menyimpan buku-buku Suharto. Suharto atas usul Mochtar Koesoemaatmadja mendirikan museum ini di tahun 1980. Saya bertemu dan mewawancarai Pak Reza, staf Perpustakaan Museum KAA. Ia menunjukkan beberapa buku tematik Suharto koleksi perpustakaan. Tiga tahun kemudian (2009), saya tak menduga akan bertemu kembali dengan Pak Reza ketika saya mendirikan komunitas publik Asian African Reading Club dan Sahabat Museum KAA di Museum KAA. Kisah mengenai 2 komunitas ini pernah dimuat dalam Memorabilia Buku (7) dan Memorabilia Buku (31).
Ketiga, pengalaman yang di luar dugaan adalah kala berhasil mewawancarai kang Ajip Rosidi. Sempat ada keraguan karena sempat mendapat kabar, bahwa tak sembarang wartawan bisa mewawancarainya. Kabar ini juga saya dapat di kemudian hari, kang Ajip Rosidi pernah marah besar ketika ada wartawan yang menyebut Rancage (nama Yayasan yang ia pimpin) dengan ‘rengkej’. Sang wartawan mengira nama Rancage itu berasal dari nama bahasa Inggris.
Di penghujung acara ‘Ngaleler Hadiah Hardjapamekas’ di Balai Pertemuan UPI, 13/1/2008, kang Ajip bersedia diwawancarai. Ia menyambut saya dengan ramah dan kami saling berbicara memakai bahasa Sunda—yang kemudian saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk dimuat di edisi Maret 2008.
Ketiga, saat mewawancarai istri mendiang kuncen Bandung Haryoto Kunto, Bu Etty R. Haryoto Kunto. Setidaknya saya bisa mewawancarai tinggalan almarhum yang meninggal tahun 1999 itu, dan bagaimana nasib perpustakaannya kemudian hari. Menurut beberapa informasi untuk bisa mendapat akses ke rumahnya di Jalan H. Mesri itu termasuk sulit, karena Bu Etty akan memilih mana orang yang bisa datang ke rumah sekaligus perpustakaan itu. Dari hasil wawancara, peninggalan referensi Haryoto ini hendak menjadi Museum dan Perpustakaan Haryoto Kunto “Bandoeng Tempo Doeloe”. Namun, hingga saya menulis kisah ini cita-cita tersebut belum terealisasi. Ada selentingan kabar, koleksinya akan diserahkan kepada Perpustakaan Unpar.
Keempat, tokoh Bandung lainnya yang bisa saya wawancarai yaitu Pak Soeria Disastra. Pak Soeria menerima saya di toko olahraga dan musik POP miliknya, di Jalan Dewi Sartika. Aktivitasnya selain berdagang, ia menulis dan menerjemahkan sekaligus mengampanyekan sastra Indonesia kepada kalangan Tionghoa. Saya mengenalnya saat ia hadir sebagai pembicara di acara sastra komunitas Yayasan Jendela Seni Bandung. Pria dengan nama Tionghoa Bu Ru Liang itu, menjadi jembatan dua kebudayaan: Indonesia-Tiongkok. Ia menerjemahkan karya sastra Tionghoa ke dalam bahasa Indonesia dan menulis di rubrik sastra Harian Internasional Sastra Guoji. Sastralah yang membuatnya tidak merasa rendah diri dan tinggi hati.
Yang terakhir, kesan saya ketika meliput rubrik Warta pada acara Sawala Pusat Studi Sunda, 9 Desember 2006. Diskusi kebudayaan Sunda yang rutin diselenggarakan di kantor penerbit buku Kiblat Buku Utama itu menghadirkan Pak Uju atau Juju Junaedi, pegiat perpustakaan desa dari Purwakarta. Dengan bermodal sepeda ontel, Pak Uju (saat itu usianya sudah 57 tahun), berkeliling membawa buku-buku Sunda ke-14 desa di wilayah Kecamatan Darangdan. Saya dan Pak Uju sempat berkirim kabar melalui surat pos, namun setelah itu tiada kabar lagi. Semoga semangat pustaka seperti Pak Uju ini dapat diteladani oleh generasi muda sekarang, mungkin dengan transformasi kampanye buku yang berbeda.
Matabaca Tutup di Akhir 2008
Edisi khusus “Penulis Kupas Tuntas”, yang terbit pada Desember 2008, menjadi edisi pamungkas Matabaca. Mbak Ade mengirimkan 1 bundel Matabaca volume 6 sebagai kado ulang tahun ke-6 sekaligus perpisahan bagi kami. Matabaca harus mengakhiri terbitannya, tanpa mengungkapkan dengan jelas alasannya di Surat Redaksi yang dimuat di rubrik Mata. Saya hanya menduga-duga terutama dari alasan penjualan oplah atau kondisi krisis ekonomi saat itu. Di tahun 2007 saya melalui LawangBuku menjadi distributor majalah ini untuk area Bandung dan sekitarnya, dan di awal tahun 2018 mengalami penurunan penjualan. Kelesuan omzet itu juga dialami oleh sektor perbukuan.
Di usianya yang 6 tahun, Matabaca sudah berhasil mengisi kekosongan media perbukuan yang dijual secara umum. Di dalamnya banyak cerita yang bisa saya petik dari para pegiat maupun komunitas yang berjuang di dunia perbukuan, mulai dari kepenulisan, penerbitan, distribusi, situasi buku di mancanegara, dan respons para pembaca buku. Akankah kini atau suatu saat nanti lahir lagi media perbukuan semacam Matabaca? Semoga. Salambuku!