MEMORABILIA BUKU (32): Kisah Buku dan Bulan Cinta Inggit Garnasih
Inggit Garnasih memicu saya menerbitkan buku mengenai kisah hidupnya. Penerbitnya diberi nama MenaraApi lahir dari semangat kemandirian seorang Inggit.
Deni Rachman
Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.
20 Februari 2022
BandungBergerak.id - “Ketika jalan utama kau tutup. Maka jalan setapak akan memandumu menuju menara api. Ia akan melawan dan menyibak gelap.”
Tiga larik kalimat di atas yang terinspirasi dari sosok perempuan Sunda, Ibu Inggit Garnasih, memicu saya menerbitkan buku mengenai kisah hidupnya. Penerbitnya diberi nama MenaraApi lahir dari semangat kemandirian seorang Inggit.
Buku Kisah-kisah Istimewa Inggit Garnasih terbit tahun 2020, menjadi penyokong ekonomi di masa sulit pandemi dan menjadi suluh kecil bagi kampanye pengenalan sosok Ibu Inggit kepada publik. Kisah proses penyusunan buku ini hingga bertautan dengan Bulan Cinta Ibu Inggit Garnasih akan coba saya kisahkan di memorabilia buku kali ini.
‘Perkenalan’ awal dengan Ibu Inggit
Sejak merintis wirausaha perbukuan tahun 2001, selain mengumpulkan buku bertema perbukuan, saya pun mulai tertarik mengumpulkan buku biografi. Dari perjalanan hidup seseorang, saya bisa mengetahui sejarah kecil sebuah peristiwa. Peran seseorang dalam sejarah biasanya diungkap secara umum, tidak diungkap dengan mendetail, bisa jadi karena sengaja disensor.
Pengumpulan buku biografi baik nonfiksi dan fiksi dimulai dari buku-buku karya Agus Salim, seorang poliglot yang membuat saya kagum. Lalu buku-buku biografi para pegiat sekaligus pengusaha buku seperti Haji Masagung, Ajip Rosidi, Rozali Usman, P.K. Ojong. Pilihan selanjutnya jatuh pada roman karya Ramadhan KH: Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno.
Awal saya mengenal sosok Ibu Inggit, dimulai jauh sejak saya masih bersekolah di SMP Palabuhan Ratu. Saat duduk di kelas 2, saya dipinjami buku sampul berwarna biru oleh kakak kelas. Irianto namanya. “Kalau kamu penyuka lagu-lagu Iwan Fals, kamu wajib baca buku ini”, ujarnya meyakinkan saya. Kami memang sama-sama penggemar kaset Iwan Fals dan sering bertukar pinjam. Baru kali itu saya bertukar pinjam buku. Sekalinya bertukar, saya mendapat buku supertebal dengan kertas-kertasnya yang sudah mulai buluk dan menguning.
Dibawah Bendera Revolusi, begitulah judul buku itu. Ditulis oleh Ir. Sukarno terbitan tahun 1964, tentu dengan ejaan lama yang baru kali itu juga saya kenal. Saya baca dan lihat-lihat foto-foto yang mirip lukisan itu secara sepintas lalu, karena isinya masih sulit saya cerna. Namun, dari situlah saya mulai gandrung buku-buku karya dan seputar topik si Bung Besar.
Saya lalu dipinjami buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Bagian awal buku dan alur kisah hidup yang dituliskan lagi oleh Cindy Adams itu membuat saya tertarik. Dengan gaya personal, tulisannya mampu menarik saya masuk ke dalam mesin waktu. Di dalamnya saya mulai mengenal seorang perempuan yang menyokong perjuangan Bung Karno tatkala tinggal di Bandung. Dialah Inggit Garnasih.
SMA impian saya di Bandung, kesampaian juga. Penelusuran pustaka perihal Bung Karno dan Bu Inggit jadi lebih mudah. Pintu masuk berkenalan dengan Inggit, tetap awalnya dari buku-buku yang mengupas Bung Karno. Jika harus beli, saya mencarinya di emperan buku lawas di Cikapundung Barat atau Dewi Sartika. Sedangkan yang baru, saya beli di Gramedia, yang cukup berjalan kaki dari sekolah saya di bilangan Dago.
Tahun 90-an saya mengunjungi Museum Konperensi Asia-Afrika (MKAA). Displaynya tak seapik dan seindah sekarang yang sudah ditata ulang sejak ulang tahun Emas KAA tahun 2005. KAA merupakan tonggak bersejarah dunia, menjadi wujud nyata gagasan Bung Karno muda ketika ia berpidato antikolonialisme di Bandung. Di Gedung Merdeka (dulu Societet Concordia) yang masih satu komplek dengan MKAA, Ibu Inggit pernah menjadi saksi sejarah sebagai panitia dapur umur Kongres Sarekat Islam pertama.
Di tahun-tahun itu juga saya sempat melihat-lihat rumah Bung Karno dan Bu Inggit di Jalan Ciateul. Kondisinya sangat tak terawat bahkan berkesan menyeramkan, dari luar nampak rumput yang dibiarkan tinggi. Di depannya para pedagang loak berjejer mengemper di sepanjang trotoar, menutupi bagian muka rumah bersejarah itu.
Barulah di tahun 2000-an saya membaca berita di koran akan adanya pemugaran rumah bersejarah itu. Lalu di tahun 2008, berbekal rubrik info kota di harian Pikiran Rakyat, saya sempat menghadiri peluncuran buku karya Reni Nuryanti Biografi Inggit Garnasih (Ombak, 2007). Waktu penyelenggaraannya secara detail tidak saya ingat persis. Kondisi rumah sudah terawat dengan baik.
Yang saya ingat betul, saat itu saya melihat Ibu Omi (panggilan untuk Ratna Djuami, anak angkat Ibu Inggit) hadir didampingi seorang pria tinggi besar, yang kemudian saya kenal sebagai Pak Tito Zeni, putra Ibu Omi. Sebagian halaman ditutupi tenda dan kursi-kursi.
Tahun 2013-an, ketika saya membuka toko buku di Baltos, seorang pelanggan buku mengajak beranjangsana ke rumah bersejarah itu. Katanya banyak perubahan di sana, terutama sejak 23 Desember 2010 diresmikan menjadi Rumah Bersejarah Inggit Garnasih. Sugi, saya panggil namanya, adalah mahasiswa ITB semester akhir yang memberikan juga saya salinan rapot Bung Karno yang ia dapat dari arsip di kampusnya. Salinan itu amatlah berharga bagi saya sebagai dokumen peran Bu Inggit di tahun-tahun ketika menjadi pendamping hidup Bung Karno semasa kuliah di TH (Technische Hoogerschool, kini ITB).
Saya menerima tawaran Sugi untuk berkunjung ke rumah bersejarah di Jalan Inggit Garnasih No.8 itu. Batu penggilasan jamu sebagai alat produksi jamu saya temui di sana. Selebihnya foto-foto berpigura digantung di dinding. Rumah yang dipugar itu kabarnya juga merupakan bentuk baru, dari asalnya yang masih rumah panggung. Tahun 1950-an, rumah panggung berubah sama sekali menjadi rumah yang bisa pembaca lihat saat ini. Saat itu Kang Jajang sebagai pengelola menerima kami dengan sangat ramah dan memberi penjelasan informatif.
Setahun kemudian saya berkesempatan berziarah ke makam Ibu Inggit di TPU Porib Caringin, lokasi jalan masuknya ada di belakang jajaran Pasar Induk Caringin. Saat itu saya masih ingat Perpustakaan Kota Bandung berada di pertigaan jalan, sebelum dipindahkan ke Jalan Seram. Tak jauh dari sana juga, ada pusat gudang buku grup Kompas Gramedia yang di tahun 2016-an membuat acara Cuci Gudang murah meriah.
Ibu Inggit wafat pada usia 96 tahun, pada tanggal 13 April 1984. Di sebelah kanan makamnya, bersemayam juga Ratna Djuami dan Asmara Hadi. Abah Oneng Rohimat yang menjaga makam Ibu, sangat ramah menyambut saya, Erline, dan Lely. Setelah pamit kepada Abah, kami berencana untuk membuat komunitas Api Bandung yang salah satu programnya mengangkat nilai-nilai kemandirian Ibu Inggit.
Baca Juga: https://bandungbergerak.id/article/detail/2135/memorabilia-buku-30-bekerja-paruh-waktu-di-kios-kaos-mahanagari
MEMORABILIA BUKU (30): Bekerja Paruh Waktu di Kios Kaos Mahanagari
MEMORABILIA BUKU (31): Bertumbuk Bertumbuk Bertumbuh: Memperingati 11 Tahun Sahabat Museum KAA
Pengumpulan data tentang Ibu Inggit
Penelusuran informasi seputar Ibu Inggit, asalnya bermula dari penemuan dokumen keluarga yang saya dapatkan waktu berburu buku. Hobi berburu buku makin menggebu terutama saat saya membuka toko buku di Baltos. Saat itulah saya mendapatkan salinan dokumen berupa buku tipis seukuran HVS bersampul warna merah yang berjudul Ibu Inggit Garnasih Gambar Wanoja Sunda (Terbitan Khusus, 1995).
Buku yang serupa fotokopian itu menjadi tonggak saya makin terus berburu khazanah tokoh Inggit Garnasih. Seperti mestakung (alam semesta mendukung), Tuhan memberikan jalan pada saya menemukan satu demi satu informasi mulai dari kliping, buku, komunitas pegiat sejarah, hingga intens bertemu Pak Tito (cucu Bu Inggit). Kliping dari koran dan majalah saya dapatkan juga dari Malang dan Yogyakarta. Kang Jusair, Iiw, dan Mas Rony Widayanto saat itu turut membantu menginformasikan temuan koran dan majalah itu.
Bulan Cinta Ibu Inggit Garnasih
Seusai nonaktif di Sahabat Museum KAA tahun 2012, saya mulai memfokuskan berniaga buku di Baltos. Untuk meneruskan aktivitas spirit Bandung, saya turut mendirikan komunitas Api Bandung bersama beberapa kawan. Sekira tahun 2013, komunitas ini lahir dan mengusung nilai-nilai kesejarahan dan kemandirian. Termasuk di antaranya mengangkat sosok Ibu Inggit Garnasih.
Namun di tahun 2015, keterlibatan saya mulai berkurang. Selain karena adanya perbedaan orientasi dan teknis pengelolaan di dalam komunitas tersebut, kesibukan saya di toko buku akibat menurunnya pendapatan toko; membuat saya tak terlalu banyak berkecimpung mengikuti setiap agenda komunitas Api Bandung. Tahun 2016, saya mulai mundur teratur dari komunitas tersebut.
Termasuk ketika pencanangan Bulan Cinta Ibu Inggit Garnasih di bulan Februari 2015, saya tidak melibatkan diri di dalamnya. Namun saya tetap mengikuti perkembangannya dari media cetak maupun daring. Bulan Cinta ini digagas dan diselenggarakan oleh komunitas Lokra, kemudian dideklarasikan oleh 8 komunitas yaitu Kawaya Seniman Bandung, Masyarakat Pencak Silat Indonesia, Lingkung Seni Reak Tibelat, Bumi Adat Gotrabimekas, Komunitas Kibaraya, Komunitas Nyusur Histori, Komunitas Api Bandung, dan BEM Fisip Unpad.
Dari konfirmasi via obrolan daring dengan Gatot Gunawan yang saat itu menjadi ketua penyelenggara, ia membenarkan pencanangan Bulan Cinta tersebut. Pelbagai kegiatan digelar di tahun pertama, di antaranya adalah pameran foto dan barang peninggalan Ibu Inggit Garnasih. Hingga tahun ini, Bulan Cinta Ibu Inggit Garnasih sudah menginjak tahun kedelapan dengan beragam kegiatan dan dinamika suka-duka penyelenggaraannya.
Buku Bu Inggit yang langka
Hingga tahun 2017-an, saya masih sering menemukan buku karya Ramadhan KH yang menjadi buku babon publik untuk mengenal Ibu Inggit. Dikemas dalam bentuk roman, penulis berhasil memberikan gambaran utuh tokoh ceritanya. Para jurnalis sering sekali mengutip penggalan kisah Ibu Inggit dari buku ini. Alhasil, buku ini sebetulnya masuk kategori buku laris manis. Sampai terakhir beredar, setidaknya buku ini sudah dicetak ulang oleh 3 penerbit. Sinar Harapan (cetakan pertama 1981 – cetakan ketiga, 1988), Kiblat Buku Utama (2004), dan Bentang (2014).
Di tahun setelah pendeklarasian Bulan Cinta Ibu Inggit Garnasih (2015), terasa sekali konsumen yang datang ke toko menanyakan buku roman itu. Saya lantas menghubungi Kang Agus Geisha dari distribusi Mizan, dan beruntung sekali masih tersedia stok belasan eksemplar. Saya borong. Dan tak butuh waktu lama buku itu ludes terjual.
Sedangkan buku lain, yang menjadi andalan adalah buku Biografi Inggit Garnasih yang diangkat dari skipsi Reni Nuryanti. Buku yang terbit tahun 2007, sudah langka juga di pasaran.
Kelangkaan buku ini berefek pada beredarnya buku bajakan dan mahalnya harga jual buku lawas Kuantar ke Gerbang terutama cetakan ke-1 (kisaran harga mulai dari 100 ribuan).
Inisiatif menyusun buku Kliping Ibu Inggit
Inisiatif menyusun buku mengenai Ibu Inggit karena beberapa hal. Pertama, hasil ngumpulkan pustaka/kliping Ibu Inggit sejak tahun 2013. Kedua, makin langkanya buku yang mengangkat sosok Ibu Inggit Garnasih, termasuk terakhir penerbitan buku karya Reni Nuryanti, belum ada lagi referensi baru terutama untuk gen-Z. Dan ketiga, berniat menerbitkan buku dengan konsep kliping sebagai alternatif pengayaan referensi.
Seteleh Penerbit MenaraAPI menerbitkan Pohon Buku di Bandung, saya akhirnya mencetak buku yang disusun dari pelbagai kliping koran dan majalah. Penyusunan dilakukan secara intensif mulai dari bulan Oktober 2019 secara mandiri dari bahan-bahan yang ada.
Buku yang awalnya akan diberi judul Inggit Ganarsih dalam Sorotan Berita, pada akhirnya diubah menjadi Kisah-kisah Istimewa Inggit Garnasih dan pada tanggal 17-27 Februari 2020 prapesannya dibuka. Pada acara Bulan Cinta Ibu Inggit Ganarsih ke-6, saya mendapat kesempatan diundang hadir oleh komunitas Lokra dan bertemu Pak Tito kembali setelah sekian lama tak berjumpa, sekaligus mengenalkan buku kliping tersebut.
Dua bulan kemudian, isolasi pandemi diberlakukan. Seluruh pameran buku dihentikan. Era tutup-buka katup wirausaha saya berlakukan untuk bertahan hidup. Penjualan buku melalui pameran ke pameran dan penjualan daring tak bisa lagi diharapkan. Saya mencoba membuka katup usaha penerbitan. Buku kliping Ibu Inggit ini menjadi tonggak bagi saya di masa pandemi, secara mandiri dan otodidak untuk menerbitkan buku-buku lainnya. Salambuku!
Berikut ini senarai pustaka seputar Ibu Inggit Garnasih yang berhasil penulis kumpulkan:
- Bung Karno Penyambung Lidah Rakjat Indonesia (Cindy Adams, PT Gunung Agung, 1966);
- Inggit Garnasih, Tempatnya dalam Perjuangan Indonesia Merdeka (Edi S. Ekadjati, dalam antologi Nusa, Bangsa, dan Bahasa; 1995);
- Bung Karno…! Perginya Seorang Kekasih Suamiku & Kebanggaanku (Erka, CV Aneka Semarang, 1978);
- Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Inggit Garnasih dengan Bung Karno (Ramadhan KH, Sinar Harapan, 1981, 1988; Kiblat Buku Utama, 2004; Bentang, 2014);
- Biografi Inggit Garnasih, Perempuan dalam Hidup Sukarno (Reni Nuryanti, Ombak, 2007);
- Ibu Inggit Garnasih Gambar Wanoja Sunda (Terbitan Khusus, 1995);
- Kajian Tentang Perjuangan Inggit Garnasih (Nina Herlina Lubis, Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, 2008);
- Kisah Cinta Inggit & Bung Karno (Lily Martin, PT Pijar Fandra Gemilang, 1992);
- M. Hanafi Menggugat (Edition Montblanc, 1998);
- Bung Karno dalam Pengasingan di Bengkulu (M. Ali Chanafiah, Aksara Press, 2004);
- Jejak Soekarno di Bandung (1921-1934) (Her Suganda, Penerbit Buku Kompas, 2015);
- Bung Karno Maestro Monte Carlo (Agus Setiyanto, Ombak, 2006).