MEMORABILIA BUKU (35): Bekerja Paruh Waktu di Perpustakaan Balepustaka (2007-2009)
Balepustaka di gedung Pastoral, Bandung, menjadi percontohan bagi perpustakaan Salman (Salman Reading Corner) dan Perpustakaan Dekranasda Jabar.
Deni Rachman
Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.
13 Maret 2022
BandungBergerak.id - Tanggal 1 Maret perpustakaan ini berusia 20 tahun. Balepustaka namanya, mengingatkan saya pada nama satu penerbit klasik pelat merah Balai Pustaka. Secara resmi, perpustakaan ini didirikan bersamaan dengan dibangunnya gedung Pastoral Bandung, dan dua tahun berikutnya, yaitu pada 31 Maret 2004, Balepustaka mulai dibuka untuk umum.
Saya boleh menyebut perpustakaan yang satu ini perpustakaan spesial. Suasana yang adem dan nyaman membuat saya betah berlama-lama untuk sekadar membaca buku. Karena saya mendaftar anggota di sana, saya juga diperbolehkan mengakses internet secara gratis. Di tahun 2000-an, untuk berinternet ria rata-rata harus bayar di warnet (warung internet).
Koleksi bukunya saat itu kira-kira ada ribuan buku. Tak hanya buku tematik Katolik, perpustakaan ini juga memiliki buku kategori lainnya seperti buku sastra, manajemen, sejarah, sospol, buku-buku referensi. Koleksi buku Pramoedya Ananta Toer terbitan Hasta Mitra dan Lentera Dipantara, saya lihat cukup lengkap tersedia di rak buku sastra. Dan tak hanya buku, di sana juga ada CD film, bundel aneka majalah, dan koran harian (Pikiran Rakyat dan Kompas, yang dipajang di samping meja pustakawan).
Lokasi perpustakaannya di Jalan Jawa No. 6, di lantai 2 gedung Pastoral. Awalnya ada rasa sungkan karena saya masuk ke dalam satu gedung milik umat Katolik, sementara saya seorang muslim. Saya disapa dengan ramah oleh resepsionis perempuan dan dipersilakan untuk naik melalui tangga jika hendak berkunjung ke Balepustaka. Saya lalu menaiki tangga kayu yang berkelok. Tangga yang dilalui itu berada tepat di atas kepala sang resepsionis.
Sampai di lantai dua, ada kelokan tangga lagi ke arah kanan menuju ke lantai 3. Sedangkan saya berbelok ke kiri, menuju pintu masuk perpustakaan. Saya lihat di dinding samping pintu masuk, terpampang majalah dinding berbahan serbuk kayu. Di sana tertera daftar koleksi buku baru di bulan itu dan pengumuman jam buka-tutup perpustakaan.
“Punten, selamat pagi,” sapa saya mengucapkan salam.
“Mangga, pagi,” jawab seseorang berjilbab yang tengah duduk di samping kanan pintu masuk.
Ia mempersilakan saya mengisi daftar pengunjung perpustakaan. Agak heran juga, di gedung milik Katolik ini rupanya pustakawannya seorang muslimah. Perlahan-lahan rasa sungkan tadi mulai sirna. Kami berkenalan. Puji Wiranti, sang pustakawan itu merupakan alumnus jurusan Perpustakaan Unpad.
Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (32): Kisah Buku dan Bulan Cinta Inggit Garnasih
MEMORABILIA BUKU (33): Melapak Buku di Hari Bahasa Ibu Internasional
MEMORABILIA BUKU (34): Bekerja Paruh Waktu di Majalah Matabaca
Mengenal Perpustakaan Balepustaka dari Poster
Pagi itu tahun 2004-an, masih dalam rangka mengurus skripsi, saya tiba di kampus melalui jalur pintu gerbang selatan Unpad Jatinangor. Saya melalui gang kecil yang dibatasi dinding tembok tinggi, melewati toko buku Nalar. Pemilik toko buku itu Kang Hikmat Gumelar dan istrinya, Teh Mona Sylviana. Di seberang tembok, berjajar aneka jajanan mulai ketoprak hingga minuman kemasan.
Karena ada keperluan menelepon seorang kawan, saya langsung berjalan ke arah pos satpam. Sesaat setelah saya memasukkan koin ke telepon umum, pandangan mata saya tertuju pada satu poster ukuran A3 yang ditempel di kaca pos satpam.
“Telah dibuka perpustakaan Balepustaka”, begitu kira-kira kalimat yang saya ingat dari isi poster itu. Di sana tertera alamat, nomor telepon, dan layanan perpustakaannya. Timbul rasa kagum, boleh jadi sepanjang hidup saya baru perpustakaan inilah yang mempromosikan dirinya melalui poster. ‘Niat pisan, ini perpus,’ gumam saya dalam hati.
Saya baru bisa menyambangi perpustakaan ‘berposter’ ini sekira tahun 2005-an, setelah saya selesai merampungkan skripsi. Ada banyak alasan saya kemudian betah dan lebih rajin ke perpustakaan ini ketimbang ke perpustakaan daerah nun jauh di sana, di Jalan Soekarno Hatta, atau ke perpustakaan kota di Jalan Pelajar Pejuang 45. Saya yang tinggal di sekitaran Dago Elos, lebih memilih ke Jalan Jawa.
Rupanya Puji tak sekadar mengelola layanan standar perpustakaan, namun ia juga menghidupkan kultur literasi di sana. Setahu saya, saat itu sudah ada komunitas menulis bernama Kameo yang rutin menyelenggarakan pertemuan di Balepustaka. Tepatnya di ruang film, mereka berkumpul membahas materi kepenulisan. Peserta komunitas notabene anggota perpustakaan Balepustaka. Puji mewadahi partisipasi anggota perpustakaan dengan kegiatan-kegiatan literasi.
Oh ya, perpustakaan ini ukurannya tak terlalu besar. Ada 3 ruangan. Setengah gedungnya merupakan ruang utama yang menyimpan koleksi, yang bisa dipinjamkan. Seperempat lagi menjadi ruang referensi, koleksi di ruangan ini dilarang dipinjamkan. Seperempat lagi adalah ruang pemutaran film. Di ruang pemutaran film inilah komunitas menulis, lalu komunitas MyCinema besutan Kang Tobing Jr., dan panitia Hari Buku Sedunia 2009-2010 berkumpul. Sedangkan di luar perpustakaan, ada 3 ruangan lagi yang sering dipakai untuk kegiatan lokakarya, seminar, dan pemutaran film. Khusus ruangan seminar dan pemutaran film di lantai 3, fasilitasnya sudah mirip seperti di dalam bioskop.
Kerja Paruh Waktu Menjadi Honorer Admin Pustakawan
Tahun 2007, penjualan buku mulai mengalami penurunan omzet. Saya mencoba meluaskan usaha termasuk mencari lubang penghasilan lainnya di luar penjualan buku, di samping menimba pengalaman dari aktivitas di luar distribusi buku. Agen literasi Dipan Senja yang dibentuk bersama tiga kawan lainnya (Wiku, Shadan, dan Okie) mencoba terus bergiat membuat workshop dan menerbitkan buku. Seperti di Memorabilia Buku (30) dan Memorabilia Buku (34) sebelumnya, saya bekerja paruh waktu di Mahanagari dan majalah Matabaca. Pilihan kerja lainnya, yaitu menjadi honorer admin pustakawan di Perpustakaan Balepustaka.
Saat itu Wiku Baskoro, rekan satu usaha di LawangBuku Distributor, lebih dahulu berkegiatan di Balepustaka. Saya pun diajak untuk menyelenggarakan kegiatan literasi di sana. Beberapa kegiatan workshop buku di Balepustaka diselenggarakan oleh Dipan Senja. Shadan dan Okie sudah tak lagi aktif, tinggalah saya berdua bersama Wiku melaksanakan workshop demi workshop.
Di tengah penyelenggaraan kegiatan literasi itulah, saya mencoba melamar bekerja paruh waktu di Balepustaka. Puji memberi keputusan beberapa hari kemudian: saya diterima bekerja. Pembagian tugas kerja, jadwal jam kerja, dan aturan tak tertulis disampaikan oleh Puji. Salah satu wewenang penuh, yaitu saya diberi kesempatan mengelola kegiatan literasi dengan sokongan dana dari perpustakaan.
Saya tak ingat persis berapa jumlah honor per bulan saat itu, namun lebih kecil dari honor menulis (beberapa artikel) di Matabaca dan lebih besar dari kerja paruh waktu di Mahanagari. Yang terpenting, semua pekerjaan paruh waktu itu saya lakoni dengan suka cita sembari mendapat pengalaman baru di luar berjualan buku dan mempertahankan usaha distribusi buku. Kerja paruh waktu itu adalah pilihan hidup paling realistis yang bisa saya jalani saat itu.
Keseharian sebagai Honorer
Rutinitas saya sebagai honorer saat itu, yaitu mengusahakan hadir lebih awal dari Puji guna membereskan 3 ruangan dan buku-buku bekas bacaan pemustaka di hari sebelumnya. Untuk pekerjaan membersihkan, menyapu, mengepel sudah dilakukan oleh Kang Maman, bagian layanan kebersihan. Saya membukakan jendela-jendela kayu besar di ruangan referensi dan ruang film. Sesaat jendela dibukakan, angin segar masuk, mata saya melihat bendera merah putih berkibar, serta terlihat dari atas lalu-lalang orang di seberang gedung Pastoral yang mengurus SIM. Saya jadi terkenang ingatan masa kecil saya saat menjaga perpustakaan sekolah dasar inpres dulu yang tak terurus, dan kini tak menyangka bisa kembali merasakan aroma buku di antara rak-rak buku dan pemustaka.
Hari demi hari saya jalani dengan banyak memperhatikan aktivitas Puji sebagai pustakawan. Secara praktis saya benar-benar belajar otodidak. Saya mengamati mulai ia membuat list belanja buku bulanan, menerima stok baru buku-buku/koran/CD film, menginput judul, melabeli, dan menyampul buku. Sedangkan untuk pemustaka, Puji memberikan layanan pendaftaran anggota baru, peminjaman-pengembalian buku, memotokopi buku referensi sesuai pesanan pemustaka, menyortir buku rusak, memberikan denda bagi pemustaka yang terlambat mengembalikan buku.
Sumber dana perpustakaan ini yang saya tahu berasal dari manajemen pastoral, dari uang pendaftaran, dan dari denda anggota. Setiap pemustaka yang terlambat mengembalikan buku dikenai denda 500 Rupiah per hari. Biaya pendaftaran anggota baru sebesar Rp 25 ribu. Dari data Maret 2004, jumlah anggota sudah terdaftar sebanyak 695 orang dan pada Mei 2011 bertambah menjadi 1.093 orang. Koleksinya saat ini berjumlah 11.228 buah buku dan 891 buah koleksi VCD.
Kegiatan favorit pemustaka, yaitu mengakses internet gratis, meminjam buku-buku sastra, dan meminjam VCD film. Pemustaka boleh mengajukan buku pilihannya supaya di awal bulan nanti bisa tersedia di rak buku. Bagi pemustaka, Puji sudah menyiapkan lembaran isian pilihan buku di meja peminjaman. Saat itu, buku-buku novel teenlit maupun chick lit termasuk yang paling sering dipinjam.
Setiap hari menjelang siang, kecuali hari Minggu, seluruh karyawan kepastoran akan naik ke lantai 3 untuk makan bersama di salah satu ruangan yang disiapkan sebagai dapur dan meja makan besar. Menu lengkap dengan gizi Bintang 4 disajikan. Kerupuk, teh atau kopi selalu tersedia. Dengan sistem prasmanan, menu dijajarkan di meja yang menempel ke dinding berjendela, sementara posisi kami duduk berada di tengah ruangan dengan meja berbentuk huruf O. Di sela-sela makan, saya turut melibatkan diri dalam obrolan santai. Sesekali ada guyonan dan tawa dari para karyawan. Pak Endar Suhendar yang saya tahu saat itu sebagai pimpinan, turut duduk makan bersama. Sesekali ia bertanya kepada saya perihal perkembangan perbukuan.
Keguyuban itu terbangun secara alamiah. Selama saya bekerja di sana, tak pernah ada perlakuan diskriminatif yang bersifat SARA. Untuk urusan ibadah bagi kami yang muslim, tak pernah ada turut campur dan saling menyinggung. Setiap Jumat atau ibadah harian, saya melaksanakan salat di masjid Asy Syuhada di Polrestabes (Jalan Nias) atau di masjid gedung PU samping kanan gedung Pastoral. Menjelang lebaran Idul Fitri tiba, pihak manajemen pun tak luput memberikan THR.
Mengenal Bacaan Freemasonry
Di awal kerja honorer, saya perlahan membaca buku-buku seputar perpustakaan. Bacaan itu saya dapat langsung dari Puji (termasuk salinan buku panduan menyusun Sistem Klasifikasi Dewey), dari rak buku perpustakaan, maupun dari hasil perburuan buku-buku bekas di Cikapundung atau di Dewi Sartika.
Dengan berlimpahnya bahan bacaan di sekeliling tempat saya bekerja paruh waktu, entah kenapa saya tertarik pada satu topik khusus freemasonry. Awalnya saya mencoba membaca novel Warisan Templar/The Templar Legacy (Steve Berry, Gramedia Pustaka Utama). Setelah tamat, saya mencoba mencari kata kunci freemasonry di pencarian buku. Alhasil, ada beberapa buku dan majalah. Mungkin dari situlah saya mulai doyan mengoleksi buku-buku yang terkait freemason. Satu keseruan tersendiri, meskipun akhirnya saya melepas juga sebagian besar koleksi tematik itu di kemudian hari.
Mengenal para Rohaniwan dan Merajut Simpul Literasi
Karena aktivitas harian bersinggungan dengan pelayanan komisi-komisi di dalam Keuskupan, saya akhirnya bisa berkenalan dengan para suster, bruder, romo, dan para relawan jaringan pergerakan buruh dan feminisme. Humoris dan ramah, itulah kesan yang saya tangkap dari pergaulan dan obrolan saya sehari-hari di sana.
Sedangkan di komunitas literasi, saya akhirnya bisa berkenalan dengan para pustakawan dari pelbagai instansi perpustakaan, termasuk saya mengenal adanya Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Beberapa workshop aplikasi perpustakaan saya ikuti, memenuhi undangan komunitas perpustakaan. Di tahun-tahun itu juga, saya sempat membaca draft UU perpustakaan yang kemudian disahkan oleh Presiden SBY menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Balepustaka juga menjadi simpul para pegiat buku seperti penulis, penerbit, dan pembaca. Dalam beberapa kegiatan literasi di sana, turut hadir pembicara dari beberapa penerbit seperti Pustaka Hidayah, Jalasutra, Mizan, Ultimus, Grasindo, dan Salamadani. Para penulis/dosen yang berkenan hadir menjadi pembicara di antaranya ada Anjar, Adenita, Anwar Holid, Kurniasih, Hermawan Aksan, Bambang Sugiharto, Yasraf Amir Piliang, Evi Sri Rezeki, Indari Mastuti, Budhiana Kartawijaya, Acep Iwan Saidi, Alfathri Adlin, dan Roy Voragen.
Balepustaka setahu saya juga menjadi percontohan perpustakaan khusus bagi perpustakaan Salman (Salman Reading Corner) dan Perpustakaan Dekranasda Jabar. Salim Rusli yang merupakan pengurus YPM Salman sekaligus pustakawan, beberapa kali beranjangsana ke Balepustaka. Ia pernah bercerita kepada saya perintisan Salman Reading Corner sangat terinspirasi dari Balepustaka.
Saya pun turut mempraktikkan pengalaman di Balepustaka ini ketika diajak mendirikan Perpustakaan Dekranasda Jabar di Jalan Dago. Untuk menangani sesuai vak keilmuan, saya membuka lowongan kerja bagi pustakawan. Sistem pelayanan dan pola kegiatan literasinya mencontoh Balepustaka.
Di tahun-tahun terakhir kerja paruh waktu yaitu di antara tahun 2009-2010, saya mulai aktif di perintisan komunitas Museum Konperensi Asia-Afrika. Hari Buku Sedunia yang bersekretariat di Balepustaka, merupakan momentum terakhir keterlibatan saya di Balepustaka. Sejak itu saya jadi jarang berkunjung ke Balepustaka. Tahun 2018-an, saya mendapat kabar Balepustaka pindah lokasi ke gedung baru di Jalan Moh. Ramdan N0. 18.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Wiku, Nita, Neneng, Novi, Noel, Didin, Azmi, Bigman, Ratna, Adew, dan seluruh relawan panitia kegiatan literasi di Balepustaka. Hampir seluruhnya relawan ini adalah anggota perpustakaan Balepustaka. Salam solidaritas pustaka! Salambuku!