Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (53): Abah Ikut Mengangkut Kerangka Paus Biru yang Mati Terdampar di Teluk Cilauteureun
“Kalau tiga truk milik Si Ugin diurutkan ke belakang saling menempel, masih lebih panjang paus biru itu. Perlu empat atau lima truk lagi," kata Ibu Guru.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
6 April 2022
BandungBergerak.id - Walaupun berupa teluk, Teluk Cilauteureun, Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat, memiliki ombak yang masih tinggi dan besar. Di gulungan ombak itulah kami, anak-anak kampung, sering berenang. Bila terlihat gelombang datang beruntun, lalu meninggi, sebelum gelombang itu memecah di pantai dangkal, saya segera berenang masuk, menyelam ke dalam lengkungan gelombang itu.
Secepat kilat, anak-anak sudah berada di alunan gelombang sebelum gelombang itu memecah dengan suaranyanya yang berdebur keras. Kami tidak pernah dihantam ombak atau terseret hingga ke pinggir pantai berbalut pasir.
Bermain berayun-ayun di atas gelombang memang enak untuk beristirahat, namun tidak seru. Kami pun menghanyutkan diri di belakang gelombang yang baru saja memecah. Anak-anak terseret ke arah pantai, namun tertahan oleh arus balik yang membawa pasir.
Ema menceritakan pengalaman Abah memancing atau menjala ikan di pantai. Katanya, kami harus berhati-hati bila ada lambak, istilah setempat untuk menyebut arus yang datang dari samping. Jangan masuk ke daerah itu, karena kami akan tersedot terbawa hanyut ke tengah laut.
Bosan berenang, kami berjemur sambil membuat bangunan menyerupai candi dari pasir basah yang diteteskan dari atas. Begitu terus bergantian. Capai berenang, istirahat di pantai, kadang sambil mengubur diri dengan pasir yang hangat. Hanya bagian kepala yang terlihat.
Kami berhenti berenang kalau pada saat berdiri tidak terlihat lagi bayangan. Itu pantangan bagi anak-anak untuk bermain. Apalagi kalau sedang berenang, kami harus segera mengakhirinya, lalu memakai baju.
Kami berlindung dari terik matahari di bawah pohon peuteuyselong, petai cina, sambil memakan bijinya yang sudah tua. Kulit buahnya dibuka, dimasukkan ke dalam mulut, lalu ditarik dengan sedikit ditahan oleh gigi dan bibir, sehingga seluruh bijinya berjatuhan di rongga mulut. Biji petai cina itu terus kami makan, sampai hidung tak kuat lagi mencium aroma baunya.
Di sumur dekat tempat perahu nelayan mendarat, kami minum air sumur sepuasnya, sebelum berjalan pulang sejauh enam kilometer, dengan dipanggang terik matahari. Kami berjalan beriringan di bahu jalan yang ditumbuhi rumput yang selalu dipotong rapi dengan parang panjang oleh Mang Ica dan Mang Endik. Tak kuat lagi kami menginjak jalan aspal yang meleleh kepanasan.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (52): Di Huma, Abah dan Ema Menanam Padi, Jagung, dan Singkong secara Tumpangsari
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (51): Berharap Kaya dengan Mengabdi Siluman Anjing, Siluman Bagong, Siluman Ular, Buta Ijo, atau Kesrek Seumur Hidup
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (50): Ragam Makanan Berbahan Dasar Beras Ketan, dari Opak, Bugis, hingga Calangaren
Paus Biru, dari Cilauteureun ke Bogor
Ema pernah bercerita bahwa di Teluk Cilauteureun pernah terdampar seekor paus yang sangat besar. Menurut cerita Abah, seperti dituturkan ulang oleh Ema, Abah ikut menjadi rombongan yang mengangkut kerangka paus. Tidak banyak yang diceritakan bagaimana mengangkut kerangka paus itu: apakah Abah ikut mendorong pedati pengangkut kerangka paus itu? Kalau ikut, sampai daerah mana ia turut mendorongnya?
Tentang seberapa besar paus itu, Ema menuturkan ulang keterangan dari Abah. Katanya, mulut pausnya sangat besar. Bila dibuka, mulutnya bisa dimasuki bangku segi empat untuk duduk 6-8 orang. Saat paus ditemukan tahun 1916, Ema belum lahir, tapi Abah sudah berusia 24 tahun, sudah berkeluarga dengan tiga orang anak. Istri Abah yang pertama wafat, lalu menikah dengan Ema pada tahun 1936 atau 1937, pada saat Ema berusia 12 tahun.
Pada suatu hari, Bu Guru pernah menjelaskan bahwa kerangka paus itu disusun dalam banyak pedati. Tidak mudah untuk membawanya ke Bogor. Kerangka paus seberat 64 ton itu diangkut selama 44 hari.
Suatu hari, secara sangat sepintas, Ibu Guru juga bercerita tentang kerangka paus biru ini. Katanya, paus itu bukan ikan, tapi mamalia. Rasanya aneh, bagaimana mungkin hewan yang berada di dalam air, di dalam laut, bukan ikan. Namun saya tidak pernah bertanya tentang ini. Bahkan setelah dewasa, setelah membaca bahwa paus itu benar mamalia, saya masih sering keliru menyebutnya ikan paus.
Menurut Bu Guru, paus biru itu mati terdampar di Teluk Cilauteureun pada tahun 1916. Panjang pausnya mencapai 33 meter, dengan bobot utuh 181 ton. Tidak banyak lagi keterangan yang diberikan Bu Guru tentang paus yang terdampar di tempat kami berenang itu. Namun katanya, kerangka paus itu disimpan di Museum Zoologi yang berada di Kota Bogor.
Bu Guru membandingkan paus biru itu dengan panjang truk. Katanya: “Kalau tiga truk milik Si Ugin diurutkan ke belakang saling menempel, masih lebih panjang paus biru. Perlu empat atau lima truk lagi, baru panjangnya menyamai panjang paus biru itu.”
Tak terbayangkan besarnya paus biru. Kami membayangkan paus biru itu sebesar sekolah kami. Dari bawah pohon nangka dekat gerbang sekolah, bangunan sekolah terlihat panjang dan tinggi. Sebesar itulah paus biru yang terdampar di Teluk Cilauteureun.
Setiap hari Sabtu, semua anak diwajibkan untuk berceritera di depan kelas. Kami boleh bercerita apa saja yang terjadi selama seminggu ke belakang. Sebelum mulai, Ibu Guru menjelaskan tentang paus biru yang terdampar mati di Teluk Cilauteureun. Katanya, paus berwarna kelabu kebiruan itu merupakan mamalia terbesar yang pernah ada di bumi.
Setelah itu, baru anak-anak bergiliran bercerita. Seringkali, ceritanya sama dengan apa yang diceritakan seminggu yang lalu.