• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (55): Proses Panjang Menanam Padi di Sawah

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (55): Proses Panjang Menanam Padi di Sawah

Menanam padi di sawah merupakan sebuah proses yang panjang yang dihayati petani. Dari mencangkul, menyebar benih, menanam, hingga kelak memanennya.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Ngalalandak, menyiangi padi, ngarambet dikerjakan dengan menggunakan alat berupa papan yang bagian bawahnya diberi jajaran paku, berfungsi untuk mecerabut rumput yang mengganggu pertumbuhan padi di sawah. (Foto: T. Bachtiar)

21 April 2022


BandungBergerak.id - Masih gelap, Abah dan Ema sudah berangkat, kalau tidak ke huma di Penclutgede, ya, pasti ke sawah di Cikuda. Selalu ada hal yang dikerjalan di kedua tempat itu. Irama musim bertani, baik di huma atau pun di sawah, sudah dirasakannya. Ritmenya sudah sejiwa. Kapan harus mulai mencangkul, kapan harus mulai menebar benih, kapan harus sudah tandur, dan seterusnya.

Penanggalan, usia padi, dan rasa dalam bertani, akan berpengaruh pada jadwal dalam siklus menanam padi di sawah. Sepertinya Abah sudah merasakan suatu kenyamanan selama bertahun-tahun tentang jenis padi apa yang paling sesuai antara perasaan dan kenyataan, yang dibuktikan dengan hasil panen.

Panen sudah lewat. Ketika hasil panen sudah rapih ditumpuk di dalam leuit atau goah, proses bertani dimulai kembali. Diawali dengan mopok galeng. Mopok galeng adalah kerja melapisi pematang sawah dengan tanah atau lumpur sawah yang hitam. Bila berbatasan dengan sawah orang lain, mopok galeng dilakukan oleh kedua belah pihak, sehingga besar pematang tetap ukurannya, tak semakin bergeser ke salah satu pemilik sawah. Abah dan Ema termasuk sangat hati-hati dalam urusan batas lahannya.

“Mengambil lahan orang lain itu, walau pun lebarnya sangat tipis, tapi, bila dihitung sampai ke dalam bumi, seberat itulah yang harus ditanggung di akhirat nanti. Kuatkah mendapat kalungan tanah sampai di kedalaman bumi?” tutur Abah.

Setelah lumpur sawah menempel di pematang, kaki kiri menahan kuat, tangan kiri berpegangan ke doran, gagang cangkul, kaki kananya tak henti menginjak-injak lumpur agar menempel dengan kuat di tebing pematang, sampai terlihat licin dan rapi.

Setelah mopok galeng selesai, proses berikutnya adalah mencangkul, membalikkan tanah yang berjerami dengan cangkul hingga terkubur rata. Di sawah yang luas dan datar, proses mencangkul digantikan dengan kerbau yang menarik wuluku. Pekerjaannya disebut ngawuluku.

Berbarengan dengan mencangkul sawah secara keseluruhan, Abah mendahulukan membuat pabinihan, tempat membenihkan padi di petakan kecil. Setelah tanahnya gembur dan rata, ditaburlah benih padi yang akan ditanam pada musim itu.

Benih dipilihkan dari padi yang dipanen pada musim tanam tahun itu. Butiran-butiran padi yang sudah kering dimasukkan ke dalam karung goni. Jumlahnya sesuai dengan luas lahan yang akan ditanami. Karung berisi benih padi itu diikat dengan kuat, lalu direndam, karungnya ditindih dengan batu besar dan diikat ke batang kelapa selama dua malam.

Butiran-butiran padi yang sudah berkecambah pendek inilah yang ditebar di pabinihan. Jenis padi dengan batang jerami yang tinggi, nasinya akan tercium wangi, berasa, dan pulen. Beberapa jenis padi yang masih teringat, yaitu bagigal, jambon, demol, mangar, ceré, dan ketan endo.

Setelah mencangkul, Abah dan Ema sudah mengetahui, kapan ngangler dilaksanakan. Kalau dikerjakan menggunakan kerbau yang menarik garu, dengan sisir dibuat dari kayu yang sangat kuat, disebut ngagaru. Ngangler dilakukan untuk menghancurkan, membalikkan kembali tanah, dan menghaluskan tanah hasil mencangkul beberapa waktu yang lalu. Selama itulah jerami dan rumput yang ditimbun tanah saat mencangkul sudah membusuk, sehingga perlu dibalikkan kembali, lalu dicacah dengan cangkul, diinjak-injak sampai halus.  

Aliran air ke petakan-petakan sawah itu diatur agar tidak menggenang sawah yang sudah diangler. Setelah ngangler, bila masih ada rumput yang mengambang, atau masih ada bagian dari petakan sawah itu yang belum rata, dilakukanlah ngagonan. Untuk meratakan lumpur sawah itu, ada yang membuat alat dari bilah kayu selebar 15 sentimeter, panjangnya 1,25 meter, dipasang gagang untuk menarik dan mendorong.

Ada juga yang memanfaatkan batang pisang yang besar dan berat sepanjang 1,50 meter. Di kedua ujung batang pisang itu ditancapkan pasak bambu. Tali dari kulit pohon waru diikatkan, diselendangkan di pundak, lalu ditarik dari ujung ke ujung petakan. Pekerjaan ini ada yang menyebutnya ngaleot, membuat permukaan tanah sawah benar-benar rata, licin. Petakan sawah yang sudah dileot tidak dialiri air karena esok hari akan tandur, menanam benih padi di petakan yang sudah bersih.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (54): Beragam Jenis Makanan Berbahan Dasar Singkong
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (53): Abah Ikut Mengangkut Kerangka Paus Biru yang Mati Terdampar di Teluk Cilauteureun
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (52): Di Huma, Abah dan Ema Menanam Padi, Jagung, dan Singkong secara Tumpangsari

Dari Tandur ke Panen

Setelah benih ditebar di pabinihan mencapai umur benih 21 hari sampai 25 hari, benih itu sudah cukup untuk ditandur. Maka dilaksanakanlah babut. Benih itu dicabuti, jangan sampai putus, lalu diikat dengan tali dari tangkai merang padi. Benih padi yang sudah diikat itu, daun bagian atasnya akan dipotong dengan golok. Lalu diangkut menuju petakan yang akan ditandur.

Walau pun pabinihan itu bersebelahan dengan petakan yang akan ditandur, kita tidak boleh melemparkan ikatan benih itu dari pabinihan. Saya tak sempat bertanya mengapa tidak boleh.

Pagi-pagi sekali, ketika yang lain sedang babut, ada yang bertugas mencaplak. Fungsinya membuat garis-garis di petakan yang akan ditandur. Alatnya dinamai caplakan. Bilah papan kayu yang lebarnya 10 sentimeter, panjang 1,5-2 meter, yang sudah dipasangi papan setengah lingkaran, dengan jarak yang sudah ditentukan, sesuai dengan lalandak, untuk membersihkan rumput nantinya. Bilah papan itu diberi tongkat untuk menariknya.

Caplakan harus ditarik dengan hati-hati, agar meninggalkan jejak garis yang lurus. Setelah beres ke arah panjang petakan, caplakan ditarik ke arah lebarnya, membentuk jejak berupa garis-garis yang saling memotong. Di titik-titik potong itulah padi ditancapkan. Bila ada kelebihan benih, mereka akan ditancapkan dalam ukuran 2-3 kali dari yang biasa, berguna untuk cadangan, bila ada padi yang mati, sehingga harus diganti.

Setelah beberapa hari, akan terlihat pucuk padi yang baru mulai tumbuh. Namun ada juga yang mati. Ketika kami mengontrol airnya, benih padi yang mati itu segera digantikan.

Setelah dapuran paré, rumpun padi membesar hijau, dan rumput di sawah mulai terlihat. Agar tidak mengganggu pertumbuhannya, padi harus disiangi, dirambet. Ngarambet, menyiangi padi ini dilaksanakan 2 kali. Menyiangi yang pertama, disebut ngarambet munggaran, dan ngarambet mindo, menyiangi yang kedua kalinya. Waktunya diatur sesuai dengan kecepatan rumput tumbuh di antara rumpun padi.

Pertumbuhan padi semakin bagus. Rumpun padinya tumbuh subur. Padi terus meninggi, membesar, disebut gedé pare. Setelah itu menjadi reuneuh, batang padi terlihat mengembung, hamil, berisi padi yang sebentar lagi akan lahir, akan ke luar. Warnanya putih, belum berisi.

Menyambut kehamilan dan kelahiran padi, Abah dan Ema harus segera dilakukan nyacar geleng, membabad, membersihkan pematang sawah agar selamat tak ada gangguan hama. Selang beberapa hari, akan terlihat padi yang telah lahir, tapi belum semuanya, baru satu dua saja. Disebut celetu, cel di dieu, cel di ditu. Keluar di sini, keluar di situ.   

Bila padi telah lahir merata di petakan itu disebut rampak. Bulir padi semakin berisi, sudah harayhay. Warna padi sudah mulai sedikit menguning, sudah harus dijaga dari serbuan burung.

Musim panen telah tiba. Inilah kegembiraan bagi petani dan mereka yang akan membantu menuai padi dengan étém, ani-ani.

Di saung sawah, saya meniup tatarompetan, terompet-terompetan yang dibuat dari batang jerami yang lentur. Saya membuat beragam jenis tatarompetan. Ada yang batang jeraminya panjang, lalu dibuat lubang-lubang kecil dengan ani-ani yang saya pinjam saat para petani beristirahat makan siang. Bentuknya menyerupai seruling, yang lubangnya dapat ditutup buka dengan jari.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//