• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (56): Menjelang Lebaran, Daki Dibersihkan dengan Gemuk Mesin Jahit

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (56): Menjelang Lebaran, Daki Dibersihkan dengan Gemuk Mesin Jahit

Untuk membersihkan daki di belakang telinga dan tengkuk saya, Ema menggunakan kain bekas yang ditetesi minyak gemuk. Aromanya tidak begitu enak dan membuat pusing.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Pada tahun 1960-an awal di Pameungpeuk, Garut, tidak ada tradisi makan ketupat di hari lebaran di keluarga penulis. Yang jadi menu andalan adalah ikan mas bumbung kuning. (Foto: T. Bachtiar)

27 April 2022


BandungBergerak.id - Kebiasaan anak-anak mandi di Leuwi Kuning saat puasa tiba-tiba menjadi langka. Menjadi sekali saja dalam sehari. Umumnya hanya mandi sore hari menjelang ngabuburit. Padahal, semula, berenang saat puasa itu bisa dua kali bahkan tiga kali sehari.

Pada saat mengalun ke arah sasakbeusi, anak-anak berharap ada gelombang air yang menerpa muka, dan ada air yang masuk ke mulut secara tidak sengaja. Namun, ada juga yang menyelam, lalu sengaja minum sampai kenyang. Saat bulan pusa, udara di Pameungpeuk, Garut, terasa kering dan panas. Itulah yang menyebabkan, anak-anak yang sudah tak kuat menahan rasa haus, segera mencebur ke Ci Palebuh agar terasa lebih adem, dan bisa minum sambil menyelam.

Namun, sejak di masjid pagi itu anak-anak ramai membicarakan bahwa kentut di dalam air itu bikin batal puasa, maka anak-anak menjadi sangat berhati-hati kalau berenang. Kalau terasa ingin kentut, segera naik ke darat, dan berdiam untuk beberapa saat di hamparan pasir hitam kecoklatan. Anak-anak sangat percaya larangan itu karena yang mengucapkannya adalah akang yang biasa mengajar ngaji. Kalau yang sudah diajarkan ajengan, ada bagian yang lupa.

Saya bisa berjam-jam mandi di Leuwi Kuning, tapi jarang memakai sabun dan tidak pernah ngaruru, membersihkan daki, debu yang bercampur keringat, yang kemudian menempel di tubuh. Mandi benar-benar asal basah saja. Jadinya, daki menempel kuat, mengerak, terutama di telinga bagian belakang dan tengkuk. Daki di kedua bagian inilah yang secara rutin dibersihkan oleh Ema, terutama beberapa hari sebelum lebaran.

Di rumah, ada mesin jahit Singer yang dirawat dengan baik agar mesinnya dapat berfungsi dengan baik. Mesin jahitnya selalu ditetesi gemuk, terutama bagian-bagian mesin yang selalu bergerak. Gemuk itu pelumas buatan sendiri, berupa campuran minyak kelapa dan minyak tanah, dalam porsi yang pas walau tidak memakai takaran. Bagi saya, aromanya tidak begitu enak.

Abah dan Ema mempunyai gemuk karena selain bertani di sawah dan di huma, mereka juga mempunyai keahlian menjahit. Bahkan Abah bisa menjahit bedahan atau jas, dengan sangat rapi sehingga terpakai oleh para tokoh masyarakat Pameungpeuk. Meski ymumnya warga menjahit baju dan celana, selalu ada yang membuat jas walaupun tak banyak jumlahnya.

Sedangkan Ema pandai membuat kebaya. Pola kebayanya dibuat dari kertas payung warna krem yang tebal. Kertas untuk membuat payung kertas seperti di Tasikmalaya. Walau sudah bertahun-tahun digulung, beberapa kali dibuka-gulung setiap tahunnya, dijiplak, pola dari kertas payung itu tidak sobek.

Yang digunakan oleh Ema untuk menghilangkan daki di tubuh saya adalah kain bekas atau sisa potongan kain jahitan. Setelah ditetesi gemuk, minyak mesin jahit, sampai sedikit basah, kain dioleskan di tempat daki yang mengerak. Minyak dibiarkan beberapa saat agar meresap ke dalam daki, hingga mengembang. Setelah dakinya sudah luduh, mudah digosok, Ema tinggal menggosok, dan semua daki langsung berpindah ke potongan kain.

Waktu membersihkan daki rasanya lama sekali. Aroma gemuk masih ada yang menempel di belakang telinga, aromanya tidak enak, dan membuat sedikit pusing. Agar minyak mesin jahit itu hilang dari belakang telinga, begitu beres, saya langsung berenang lagi di Leuwi Kuning.  

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (55): Proses Panjang Menanam Padi di Sawah
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (54): Beragam Jenis Makanan Berbahan Dasar Singkong
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (53): Abah Ikut Mengangkut Kerangka Paus Biru yang Mati Terdampar di Teluk Cilauteureun

Hadiah Baju Lebaran, Bugis, dan Ikan Mas Bumbu Kuning

Ema hanya membersihkan daki yang mengerak di belakang telinga dan tengkuk, yang susah dibersihkan sendiri. Untuk daki yang mengerak di betis dan lengan, Ema hanya menyuruh untuk membersihkannya. Agar saya semangat membersihkan daki, Ema menjanjikan akan membelikan baju dan celana sebagai hadiah puasa, yang akan dipakai pada hari lebaran.

Betapa senangnya saya akan dibelikan baju lebaran! Seperti umumnya anak-anak di kampung kami, saya hanya dibelikan baju setahun sekali pada saat lebaran. Meski ada juga yang dibelikan baju pada perayaan 17 Agustus, dan pada saat perayaan samen, kenaikan kelas, anak-anak jarang memakaianya karena takut tidak naik kelas.

Karena puasanya tamat, Ema menghadiahi kami baju lebaran dan teman nasi yang enak-enak. Apalagi sehari menjelang lebaran, saya benar-benar tidak main ke luar rumah. Di rumah banyak makanan. Ini yang membuat saya bahagia. Bisa makan sepuasnya. Semua enak.

Sore harinya, sekitar jam 16-an, Ema membuat bugis dari tepung ketan yang sudah dicampur air daun suji yang warnanya hijau pastel. Tepung ketan itu kemudian diaduk-aduk, ditekan-tekan, lama-lama menjadi adonan yang pekat, lekat sekali. Adonan ini dipotong-potong kecil seukuran satu ruas jempol kaki, lalu dipipihkan. Di atasnya disimpan entén, lalu ditutup kembali hingga rapi, tidak ada yang bolong. Entén itu kelapa parud yang dicampur gula merah, lalu dipanaskan di atas hawu, tungku sampai menyatu, warnanya berubah menjadi merah-coklat gula kawung.

Tak ada bugis yang menandingin rasa bugis buatan Ema. Daun pisangnya selalu diolesi minyak keletik, minyak kelapa buatan sendiri, sehingga ketika daun pembungkusnya dibuka saat akan dimakan, tak ada sedikitpun bugis yang lengket di daun.

Setelah bugis matang, pada malam lebaran itu Ema selalu membuat kue apem. Apemnya warna merah muda. Sekitar pukul 19.00, apem mulai dikukus. Ketika ada yang matang, apem panas itu saya ambil satu, lalu pergi, dan ketika kukusan kedua diangkat, saya segera mengambilnya lagi dengan cepat.

Pada tahun 1960-an awal, di keluarga kami tidak ada tradisi lebaran makan kupat, ketupat. Keluarga kami makan nasi biasa. Selain masakan yang menjadi hantaran, Ema selalu membuat masakan ikan mas bibit, ikan sebesar betis orang dewasa, yang dimasak dengan bumbu kuning yang gurih. Enak sekali!

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//