Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (57): Kosakata Bahasa Sunda yang Mulai Jarang Dipakai
Ada sekian banyak kosakata Bahasa Sunda yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari warga Pameungpeuk. Garut pada tahun 1965-1970. Sekarang banyak yang hilang.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
11 Mei 2022
BandungBergerak.id - Ada banyak kosakata yang masih dipakai masyarakat, termasuk anak-anak, secara produktif antara tahun 1965 sampai tahun 1970 di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Sayangnya, kosakata yang dulu banyak digunakan dalam kegiatan sehari-hari itu hari ini sudah jarang ditemui.
Abrag, ukuran sesuatu yang besar dan kasar. Misalnya keratan atau rajangan tembakau yang lebih lebar dari ukuran biasa.
Balangsiar, barangsiar, mencari rezeki. Misalnya, ketika di rumah sudah tidak memiliki apa-apa lagi, terutama sudah tidak memiliki bahan pokok yang bisa dimakan, seperti beras, jagung, atau singkong, maka seorang yang bertanggung jawab di dalam kelarga itu akan ke luar rumah, akan pergi mencari rezeki, yang dalam bahasa Sunda disebut balangsiar atau barangsiar. Ia akan pergi ke dalam hutan untuk mencari umbi-umbian, sayuran, jamur, dll, atau ke tempat lain untuk mencari bahan makanan agar keluarga bisa makan. Atau bisa juga menjadi buruh, atau pun apapun yang dapat menghasilkan uang atau beras.
Bedahan, kata lain untuk menyebus jas. Walau pun sangat jarang di kampong kami yang membuat bedahan, tapi orang-orang tertentu mempunyai jas. Abah, penjahit yang pandai membuat bedahan. Karena enak dipakainya, maka yang akan membuat jas, pasti pergi ke Abah.
Begung, begang, keadaan tubuh yang kurus, sehingga tulang punggungnya menjadi sedikit melengkung ke depan. Pada saat itu, bila ada orang yang begung bukan karena penyakit TBC, maka ia dalam keadaan kekurangan asupan makanan.
Beuteungkoreseun, untuk menggambarkan keadaan anak yang mudah lapar. Sangat mungkin, keadaan ini karena asupan makanan pada saat itu yang kurang memenuhi standar kecukupan gizi. Misalnya, asupan makanannya hanya didominasi karbohidrat, kurang asupan protein, sehingga anak-anak menjadi cepat lapar.
Bungkul, penyakit, bisul yang keras dan sakit, karena infeksi di dalamnya belum sampai bernanah. Banyak anak-anak yang tidak bisa bermain, apalagi bila bungkulnya berada di pantat. Duduk sudah, berjalan susah, dan sakitnya kinta ampun, sehingga berjalan pun gerakannya menjadi tidak wajar. Oleh karena itu lebih baik berdiam di rumah.
Caahdengdeng, banjir bandang., untuk menggambarkan sungai yang besar di sana, yang meluar melebihi kebiasaan pada saat banjir setelah hujan. Pada saat caahdengdeng, banyak pohon di pinggir sungai yang rebah, terangkat hingga akarnya, kemudian hanyut. Banyak sawah yang berada di pinggir sungai terendam banjir, bahkan ada yang longsor.
Caliweura, kata ini menggambarkan anak-anak dalam suasana yang ribut, banyak guyon melebihi biasanya, misalnya, pada malam hari, atau di tempat tertentu, apalagi di tempat yang dianggap sanget.
Congé, penyakit infeksi di dalam telinga, bahkan pada tingkatan yang sudah parah, dari dalam telinganya itu keluar nanah dan berbau busuk.
Angir, diangir, ada juga yang menyebut dicumplang, keramas. Sesungguhnya, anak-anak saat berenang di Ci Palebuh itu menyelam berpuluh kali, sehingga rabutnya basah. Tapi anak-anak tidak menyebutnya diangir atau keramas. Tapi kalau sengaja untuk mandi lalu rambutnya dibasahi dan digosok-gosok, bagi disebut diangir.
Polka, dipolka, atau diparas, dicukur. Saat itu ada dua kategori tukang cukur. Pertama yang berdiam di tempat, seperti di depan pasar Pameungpeuk, pinggir sungai di bawah pohon cemara dan di Cigodeg, ada juga tukang cukup yang berkeliling kampong sambil membawa kursi lipat dari kayu, yang tempat duduknya dari deklit atau kain terpal yang tebal, yang biasa dipakai penutup truk si Ugin.
Éwateun, jerawat, bisul kecil-kecil di muka, berisi lemak. Bila ada anak yang lebih tua usianya, lalu di pipi atau di dahinya ada éwateun, teman-temannya akan ribut, dan dikata-katai sedang begér, sedang puber.
Kalingsir, penyakit bisul keras yang besar, terasa sangat sakit. Umumnya diderita oleh orangtua, sebab anak-anak sepermainan belum ada yang menderita kalingsir.
Kamprét, sebutan untuk baju koko di kampung kami. Umumnya dipakai baik oleh anak-anak maupun orang dewasa pada saat akan pergi ke masjid. Warnanya tak ada pilihan lain selain putih.
Kareseban, datangbulan atau menstruasi.
Kerepus, ketu, péci, kopiah, biasanya dipakai saat ke masjid, dibuat dari beludru hitam. Anak-anak jarang memakai kopiah, kecuali pada saat anak itu disunat.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (56): Menjelang Lebaran, Daki Dibersihkan dengan Gemuk Mesin Jahit
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (55): Proses Panjang Menanam Padi di Sawah
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (54): Beragam Jenis Makanan Berbahan Dasar Singkong
Dari Sebutan Laki-laki hingga Bisul di Bibir Mata
Ki atau kai, sebutan kepada laki-laki. Ema, misalnya, masih menyebut seorang laki-laki dewasa itu dengan menambahkan kata ki atau kai di depan namanya. Seperti Kai Ihin, atau Ki Ihin.
Mitembeyan, memulai memanen padi, baik di huma atau pun di sawah.
Nguyang, keadaan ekonomi seseorang yang sudah dalam keadaan kekurangan bahan makanan, terutama beras. Ia akan pergi ke orang-orang yang dianggapnya mampu, dengan membawa hasil bumi seadanya yang dia miliki, dengan harapan ia diberi beras atau uang.
Rodek, luka bernanah dan busuk (karena infeksi), terutama diderita anak-anak, karena tidak bersih saat mandi, sehingga kulit kepalanya menjadi rodek.
Salatri, keadaan seseorang yang belum sarapan atau makanpagi, sehingga lemas, berkeringat, menguap.
Sieur, merupakan salah satu jenis tungau yang umumnya menyerang ayam yang sedang mengeram. Kalau menurunkan anak ayam yang baru menetas ke tanah, harus hati-hati, karena induk ayam yang baru mengerami anaknya akan diserang gurem yang gatal. Biasanya Ema akan menyimpan satu ranting dan daun jeruk di sarang tersebut.
Tingarkalongeun, keadaan kejiwaan anak yang terlalu dikerasi oleh orangtuanya, sehingga bila di sekolah lebih banyak melongonya dari pada mengerjakan sesuatu. Atau keadaan kejiwaan anak yang menjadi “bandel” tak menurut lagi.
Tongo, kutu yang sangat kecil. Kalau anak-anak bermain dan duduk di tanah kering berdebu, suka ada yang digigit tongo, terutama bagian kemaluannya.
Tukung, potongan rambut yang pendek. Anak perempuan saat itu umumnya berambut panjang, dikepang dua. Bila ada anak perempuan yang berambut pendek, kadang dikatai seperti anak burung.
Turuwisen, bintitan, bisul kecil yang ada di bibir mata. Anak-anak pasti ribut kalau ada temannya yang bintitan. Langsung menuduhnya sudah mengintip seseorang di dalam rumah. Karena mengintip itulah matanya kelilipan kapur bakar dari dinding rumah yang dibuat dari anyaman bambu.
Masih ada kosakata lainnya yang pada saat itu produktif digunakan, namun belakangan ini sudah jarang diucapkan, diganti dengan kata baru yang berasal dari bahasa Indonesia, bahasa daerah lain, atau dengan istilah dari bahasa asing.