• Opini
  • Margaret Thatcher, Wanita Besi dari Inggris

Margaret Thatcher, Wanita Besi dari Inggris

Kedaulatan adalah milik rakyat yang sudah mengatur dirinya sendiri, kata Margaret Thatcher, wanita pertama yang menjabat Perdana Menteri Inggris.

Adrian Aulia Rahman

Penulis merupakan mahasiswa Universitas Padjajaran (Unpad)

Margaret Thatcher (tengah) dan kabinetnya tahun 1981. (Sumber Foto: Instagram Conservativehistory, diunduh Kamis, 19 Mei 2022)

20 Mei 2022


BandungBergerak.idSuatu negara yang berdaulat dan merdeka, eksistensinya akan lebih kuat dan diakui apabila ketahanan ekonomi-politik dan aspek sosialnya kokoh serta yang tidak kalah pentingnya adalah kualitas pemimpin negara tersebut. Pemimpin suatu negara akan secara langsung menjadi simbol atau ikon yang melekat dengan negara tersebut. Kepemimpinan dalam suatu komunitas, termasuk negara, menjadi sangat krusial dan tidak hanya menjadi sesuatu yang simbolik semata, tapi mencakup satu kesatuan tindakan, gagasan, dan kebijakan. Sebagaimana perkataan Napoleon Bonaparte, “Seorang pemimpin adalah penyalur harapan”. Segala harapan dan idealisme orang-orang yang dipimpin secara langsung maupun tidak langsung digantungkan kepada orang yang memimpinnya.

Bicara soal negara dan pemimpin, tentu saja kita akan membicarakan tentang tokoh-tokoh pemimpin besar berpengaruh sepanjang masa peradaban umat manusia. Seorang pemimpin haruslah bergagasan cemerlang dan berpikiran luas juga memiliki keberanian dan berpikiran visioner serta progresif. Selain itu, pemimpin harus serta merta dapat menarik simpati dan gairah orang-orang yang dipimpinnya. Apalah arti seorang pemimpin tanpa orang-orang yang dipimpin? Sebagaimana kata John Quincy Adams, Jika tindakanmu menginspirasi orang lain untuk bermimpi lebih banyak, belajar lebih banyak, berbuat lebih banyak, dan menjadi lebih banyak, kamu adalah seorang pemimpin”. Sebegitu berpengaruhnya seorang pemimpin dan kepemimpinannya.

Tokoh-tokoh dunia yang dikenal sebagai pemimpin besar dengan kehebatan gagasan dan tindakannya memang tidak sedikit, beberapa di antaranya seperti, Nabi besar umat Islam Muhammad SAW, Alexander the Great, Napoleon Bonaparte, Otto von Bismarck Thomas Jefferson, George Washington, Abraham Lincoln, Franklin Delano Roosevelt, Winston Churchill, dan masih sangat banyak. Tokoh-tokoh tadi hanya beberapa contoh tokoh yang dikenal dunia dan tercatat sejarah sebagai pemimpin visioner dan progresif, yang gagasan dan tindakannya berpengaruh terhadap peradaban umat manusia.

Tapi kebanyakan, para pemimpin besar dunia biasanya seorang laki-laki. Kepemimpinan kuat seorang pemimpin perempuan memang cukup jarang tercatat sejarah, tapi bukan berarti tidak ada. Tulisan ini akan mengulas kepemimpinan seorang pemimpin wanita tangguh dan disegani, tiada lain kepemimpinan sang Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, dengan julukan yang melekat padanya yaitu iron lady, wanita besi.

Baca Juga: Dinamika Politik Global Pascaperang Dunia II, Apa yang Sejarah Ajarkan Kepada Kita?
Membaca Perang Ideologi Emmanuel Macron dan Marine Le Pen di Pilpres Prancis
Nilai Juang Kartini di Masa Kini, Kesetaraan Gender dan Menghapus Patriarkisme

Margaret dan Partai Konservatif

Margaret Thatcher memulai perkenalannya dengan dunia politik semasa ia menjadi mahasiswa di Universitas Oxford. Bidang studi yang dipilihnya saat berkuliah strata satu di Oxford adalah kimia, hal ini karena minat dan ketertarikannya terhadap research dan keunggulannya di bidang ilmu tersebut. Dalam menekuni ilmu kimianya tersebut tidak lantas membuat Margaret apatis terhadap dunia perpolitikan, justru dari masa inilah karier politiknya dimulai. Margaret mengawali partisipasi aktifnya dalam politik dengan bergabung bersama Angkatan Muda Konservatif, sebagai salah satu organisasi sayap dari partai besar Inggris, Partai Konservatif.

Keikutsertaannya dalam organisasi politik tersebut memang sudah menjadi tanda yang pasti bahwa Margaret memiliki ketertarikan dan perhatian yang cukup mendalam terhadap persoalan politik Inggris. Tetapi memang, untuk saat itu, ketertarikan atau partisipasi seorang perempuan dalam perpolitikan masih dianggap ‘tidak biasa’ bahkan tabu, karena biasanya tokoh-tokoh politik itu terdiri dari politikus-politikus pria, dan amat jarang sekali seorang politikus bergender wanita untuk masa itu. Partisipasi aktif Margaret di masa mudanya ini sekaligus menjadi salah satu pembatalan bagi yang beranggapan bahwa hanya kaum pria yang bisa dan boleh berkecimpung dalam dunia politik.

Pascastudinya di Oxford, Margaret memiliki ketertarikan terhadap bidang hukum, sehingga memotivasinya untuk mempelajari ilmu hukum. Partisipasinya dalam politik praktis secara langsung adalah pada saat ia menjadi calon anggota legislatif, anggota House of Commons yang dicalonkan Partai Konservatif di daerah pemilihan Finchley dan mengalahkan lawannya dari Partai Buruh dan Partai Liberal. Saat inilah Margaret menaiki jabatan sebagai anggota parlemen Inggris atau House of Commons.

Secara ideologis, Partai Konservatif tentu saja kental akan konservatisme yang selalu menjunjung heroisme Inggris dan penghormatan akan sejarahnya yang tinggi. Partai Konservatif Inggris memang banyak menghasilkan tokoh-tokoh pemimpin hebat yang pernah menjabat kursi kepemimpinan tertinggi yaitu perdana menteri. Beberapa di antaranya seperti Benjamin Disraeli yang gagasannya brilian dan luar biasa bagi kemajuan dan reformasi Toryisme, kemudian ada Winston Churchill sang jenderal angkatan laut yang menjadi salah satu tokoh sentral Perang Dunia dua, ada juga Harold Macmillan tokoh konservatif yang bisa memulihkan kewibawaan Inggris setelah kekalahan Inggris di Suez pada masa Perdana Menteri Anthony Eden. Dan terbukti, Margaret Thatcher menjadi salah satu tokoh dan pemimpin konservatif yang hebat pada saat masa kepemimpinannya, melanjutkan kehebatan tokoh-tokoh tersebut di atas.

Setelah kesuksesannya memenangkan beberapa kali pemilihan anggota House of Commons, pada saat masa kepemimpinan Ted Heath, perdana Menteri Inggris dari partai konservatif, Margaret didaulat menjadi Menteri Pendidikan. Didaulatnya Margaret menjadi Menteri Pendidikan ini, hemat saya adalah karena memang pada saat itu ketokohan Margaret Thatcher dalam lingkaran partai sudah cukup berpengaruh dan dianggap menjadi tokoh potensial di Partai Konservatif. Kemudian kariernya dalam kabinet, setelah menjadi Menteri Pendidikan, ia didaulat menjadi Menteri perindustrian di kabinet bayangan Ted Heath, atas kemenangan lawan mereka yaitu Harold Wilson dari partai buruh. Pada saat menjadi oposisi, Margaret menjadi salah satu tokoh yang paling vokal dalam melontarkan kritiknya terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan partai buruh. Kritiknya terhadap pemerintahan partai buruh, baik saat masa pemerintahan Harold Wilson, maupun penerusnya Jim Callaghan, yang paling saya ingat adalah terkait dengan imunitas berlebihan yang diberikan pemerintah partai buruh terhadap serikat buruh.

Puncak karier Margaret di partai Konservatif adalah saat ia terpilih menjadi ketua partai, pada 1976. Terpilihnya Margaret menjadi ketua Partai Konservatif, menjadikan ia secara langsung pemimpin oposisi dan formatur kabinet bayangan menggantikan Ted Heath. Walaupun memang terpilihnya Margaret ini menjadikan hubungannya dengan Ted Heath merenggang. Tetapi terlepas dari itu, ini adalah sejarah luar biasa, pertama kali seorang perempuan menjadi ketua Partai Konservatif Inggris.

Beberapa waktu setelah ia terpilih menjadi ketua partai, Margaret berpidato di Kensington dengan lontaran kritik tajamnya terhadap komunis Soviet, mengingat saat itu politik dunia sedang berkecamuk dalam pusaran Perang Dingin. Pidatonya ini membuat salah satu media Uni Soviet Krasnaya Zvezda (Bintang Merah) menjulukinya sebagai wanita besi (Iron Lady). Julukan ini sebenarnya adalah sebuah sindiran yang menyamakan Margaret dengan Bismarck sang kanselir besi dari Jerman di abad 19, namun julukan ini melekat pada Margaret dan menjadi penanda kekuatan dan ketangguhannya sebagai pemimpin wanita.

Setelah puncak karirnya sebagai ketua partai, Margaret mencalonkan diri menjadi Perdana Menteri Inggris. Dan keberuntungan berpihak padanya, pada 1979, ia memenangkan pemilihan dan berhasil  menduduki puncak tertinggi kekuasaan Inggris yaitu Perdana Menteri di Downing Street 10. Terpilihnya Margaret menjadi perdana Menteri ini monumental, karena ia menjadi wanita pertama yang menduduki jabatan itu. Sang Wanita besi yang menduduki jabatannya sebagai Perdana Menteri, dan sejarah akan mencatat keperkasaannya dalam memimpin dan sekaligus keberhasilannya menjadi salah satu arsitek runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin.

Kepemimpinan Sang Wanita Besi

Pada saat ia menjadi Perdana Menteri, Margaret Thatcher diwariskan berbagai kompleksitas persoalan yang membelit Inggris, di antaranya inflasi, serikat buruh, pengangguran, masalah Irlandia dan berbagai problematika lainya. Dalam menangani persoalan serikat buruh, memang Margaret sangat tegas dan nonkompromi. Ia terkesan menyimpan rasa antipati terhadap serikat buruh yang selalu bertindak di luar hukum dengan pemogokkan dan pemboikotan yang cukup sering dilakukan. Sehingga pemerintahan konservatif Margaret Thatcher menjadi salah satu pemerintahan yang selalu berseberangan dengan serikat buruh dan ide-ide sosialisme. Sehingga tidak heran, Margaret, oleh beberapa kelompok dianggap sebagai wanita yang ultra kanan atau ultrakonservatif.

Mengenai persoalan ekonomi dan inflasi, Margaret memang terkenal dengan kebijakan privatisasinya dan antiterhadap campur tangan atau intervensi negara yang berlebih terhadap perekonomian. Ia menekankan privatisasi dan liberalisme ekonomi. Sebagaimana perkataannya, “Individu adalah matahari dan negara adalah bulan yang semata-mata meminjam sinarnya”. Hal ini bukti bahwa Margaret menentang keras intervensi negara terhadap ekonomi pasar, dan berusaha menciptakan pasar yang sebebas-bebasnya sebagaimana lazimnya di negara kapitalis. Juga mengenai anggaran, ia bersama kabinetnya membuat kebijakan pemotongan anggaran belanja publik dan pengendalian terhadap jumlah uang beredar yang dikenal dengan monetarisme. Margaret tidak menjalankan doktrin ekonomi Keynesian karena latar ideologis dan pandangannya terhadap ekonomi negara. Margaret juga merupakan salah satu pencetus ide neoliberalisme dengan kebijakan Thatchersimenya.

Persoalan lainnya, pada 1982, terjadi serangan terhadap salah satu wilayah imperium Inggris yaitu pulau Falkland atau pulau Malvinas oleh Argentina. Bueno Aires, di bawah rezim junta militernya, mengklaim Falkland sebagai daerah miliknya secara historis, dan Inggris tidak bisa menerima klaim itu. Sehingga terjadilah perang yang kita kenal dengan perang Falkland. Saat peristiwa ini karier perdana Menteri Margaret Thatcher dipertaruhkan, apabila ia gagal mempertahankan kepulauan Falkland dan Inggris dipecundangi oleh Argentina maka tamatlah riwayatnya. Sehingga ia melobi dukungan Amerika di bawah Presiden Ronald Reagan yang baru terpilih sebagai presiden menggantikan Presiden Carter. Amerika awalnya bimbang, karena Argentina merupakan sekutu strategisnya di Amerika Latin, namun akhirnya dukungan Reagan diberikan kepada Inggris. Dan Inggris keluar sebagai pemenang perang. Hal ini berimplikasi terhadap meningkatnya kepopuleran dan dukungan rakyat terhadap Perdana Menteri Margaret Thatcher.

Margaret dan Reagan membawa Inggris dan Amerika Serikat pada suatu ikatan hubungan yang spesial seperti saat masa perang antara Presiden Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Winston Churchill. Margaret dan Reagan, yang menjadi sahabat karib nan akrab, secara ideologis memiliki kesamaan yaitu konservatif atau kanan. Mengingat Reagan berasal dari partai Republik yang secara ideologis lebih kanan dari partai demokrat yang liberal. Persahabatan Thatcher-Reagan ini membuat koalisi barat dalam Perang Dingin meningkat kuat, dan akhirnya kemenangan kapitalisme dan demokrasi barat tidak terelakan lagi setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991. Persahabatan kedua tokoh ini adalah persahabatan yang luar biasa dan mengikat selamanya. Dan mengenai sikap Thatcher terhadap Eropa, ia termasuk orang yang euroskeptis, ia meragukan korespondensi atau kerja sama yang mengikat secara lembaga antarnegara-negara Eropa. Sikap euroskeptis Thatcher ini bisa dikatakan sebagai awal mula keinginan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa, dan terwujud dengan adanya Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa) pada Januari 2020.

Margaret Thatcher adalah tokoh perempuan kuat yang aktif berpartisipasi dalam dunia politik. Kepemimpinan perempuan bukanlah kepemimpinan yang lemah dan mustahil, Margaret Thatcher buktinya. Kegigihan, sikap visioner dan progresifnya membuat ia patut diteladani, terlepas dari berbagai kontroversi yang ada.

Terakhir, saya ingin mengutip perkataan Margaret tentang kebebasan, “kita berhak untuk bebas, bukan sekedar bebas, melainkan kebebasan yang berdasar hukum”. Sang Wanita besi meninggal pada 8 April 2013 di The Ritz London, London, Inggris.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//