• Opini
  • Dinamika Politik Global Pascaperang Dunia II, Apa yang Sejarah Ajarkan Kepada Kita?

Dinamika Politik Global Pascaperang Dunia II, Apa yang Sejarah Ajarkan Kepada Kita?

Hubungan Amerika Serikat dan Uni Soviet sempat mesra pascaperang dunia II. Lantas mereka saling curiga dalam Perang Dingin yang nyaris berubah menjadi perang nuklir.

Adrian Aulia Rahman

Penulis merupakan mahasiswa Universitas Padjajaran (Unpad)

Pameran foto bersejarah di Ereveld Pandu atau Makam Kehormatan Belanda di Bandung, Senin (7/3/2022). Pameran foto ini menampilkan foto permakaman kembali sekitar 4.000 korban perang rentang waktu 1941-1949. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

4 Mei 2022


BandungBergerak.idSejarah selalu menjadi guru terbaik yang mengajarkan kita tentang kegemilangan dan kemuraman di masa lalu. Orang yang tidak belajar dari sejarah akan menjadi orang yang merugi dan berpeluang besar mengulang kekeliruan sebagaimana peristiwa di masa lampau. Thomas Jefferson, salah satu founding father Amerika Serikat, menyatakan dalam Notes of Virginia, “Sejarah, dengan memperkenalkan mereka pada masa lalu, akan memungkinkan mereka untuk menilai masa depan; itu akan membantu mereka mengetahui pengalaman zaman-zaman lain dan negara-negara lain.” Pernyataan Jefferson tersebut menegaskan akan pentingnya sejarah dalam membentuk persepsi kita tentang masa lampau, masa kini dan masa depan.

Saya selalu tertarik dengan peristiwa-peristiwa sejarah, yang tentu saja membawa implikasi besar bagi kehidupan kita di masa kini. Ketertarikan saya pada sejarah terutama menyangkut peristiwa sosial-politik yang penuh dengan dinamika. Peristiwa besar di abad ke-20, di mana dua perang dunia yang maha hebat terjadi dalam kurun waktu tersebut, telah banyak memberikan pelajaran berharga kepada kita menyangkut persoalan sosio-politik dan kompleksitasnya. Dua perang besar tersebut telah merubah peta politik dunia dengan sedemikian rupa, dan menciptakan peta baru bagi geopolitik dan geoekonomi di seluruh belahan dunia.

Saya tidak akan membahas mengenai perang dunia baik pertama maupun kedua, namun dalam tulisan kali ini saya akan sedikit mengulas dan beropini tentang bagaimana kompleksnya dan berdinamikanya situasi politik dunia pascaperang dunia II. Setelah kubu sekutu yang terdiri dari Big Three (Amerika, Inggris, Uni Soviet) memenangkan perang, baik di fron Eropa maupun di fron Asia-Pasifik, sejarah dunia memasuki periode baru yang oleh Walter Lippman disebut dengan Cold War (Perang Dingin). Periode perang dingin yang begitu tajam membelah atau mempolarisasi politik dunia menjadi dua kubu utama yakni, blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet, telah begitu signifikan mengubah sejarah dan dinamika politik di berbagai negara di dunia.

Ketertarikan saya terhadap dinamika politik dunia pascaperang ini bersumber dari beberapa bacaan atau literatur yang pernah dan sedang saya baca. Bacaan tersebut di antaranya buku karya sejarawan Robert Gellately dengan judul Lenin, Stalin dan Hitler: Era Bencana Sosial, kemudian buku yang berisi pemikiran seorang intelektual Amerika Noam Chomsky yang berjudul How the World Works, serta buku yang tidak kalah luar biasa karya dua ilmuwan politik terkemuka Richard W. Mansbach dan Kirsten L. Raffety yang berjudul Perang Dingin: Seri Pengantar Politik Global. Tiga buku tersebut yang saya jadikan sebagai sumber referensi dalam tulisan saya kali ini, walaupun tentu saja masih sangat kurang memadai dari segi kuantitas bahan bacaan saya, tapi hal itu tidak menghalangi saya untuk menulis dan beropini sehingga jadilah tulisan ini.

Baca Juga: Membaca Perang Ideologi Emmanuel Macron dan Marine Le Pen di Pilpres Prancis
Dampak Invasi Rusia ke Ukraina pada Perekonomian Indonesia
Nilai Juang Kartini di Masa Kini, Kesetaraan Gender dan Menghapus Patriarkisme

Monumen KNIL di Ereveld Pandu, Makam Kehormatan Belanda di Bandung, Senin (7/3/2022). Dari 7 ereveld yang ada di Indonesia, hanya ada satu Monumen KNIL di Ereveld Pandu. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Monumen KNIL di Ereveld Pandu, Makam Kehormatan Belanda di Bandung, Senin (7/3/2022). Dari 7 ereveld yang ada di Indonesia, hanya ada satu Monumen KNIL di Ereveld Pandu. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Sekutu yang Menjadi Seteru: Politik Dunia yang Terpolarisasi

Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, pada 5 Maret 1946, berpidato di Westminster College, di Fulton Missouri. Pidato Churchill tersebut menjadi salah satu pidato bersejarah yang dikenal dengan “Pidato Tirai Besi” yang menandai awal mula polarisasi politik dunia pascaperang dunia. Isi pidato tersebut merupakan sebuah bentuk peringatan Churchill akan ancaman ekspansionisme Uni Soviet yang semakin melonjak kekuasaan dan dominasi pengaruhnya terutama di Eropa Timur. Penggalan pidato Churchill tersebut adalah, “Dari Stettin di Baltik sampai Trieste di Adriatik sebuah tirai besi turun membelah benua ini (Eropa).” Tirai besi yang dimaksud Churchill tentu saja kekuasaan komunisme Uni Soviet.

Pascakekalahan fasisme dunia, Jerman, Jepang dan Italia, di Perang Dunia II, kekuasaan dunia berada dalam genggaman para pemenang perang atau dikenal dengan pihak sekutu. Sekutu yang terdiri dari Amerika, Inggris dan Uni Soviet (Big Three) dalam periode perang sempat beberapa kali melakukan pembicaraan yang pada intinya membahas bagaimana membangun dan merencanakan dunia pascaperang. Mulai dari Konferensi Teheran (1943), Konferensi Yalta (1945), dan terakhir Konferensi Potsdam (1945). Konferensi-konferensi tersebut masih menunjukkan ‘kemesraan’ hubungan ketiga negara, walaupun kecurigaan selalu menyelimuti di antara ketiganya.

Semakin lama Uni Soviet dianggap semakin memperlihatkan sikap ekspansionismenya terutama di Eropa Timur, sehingga apabila dibiarkan maka hegemoninya akan menghapus kebebasan dan demokrasi di seluruh Eropa dan dunia. Untuk membendung pengaruh Uni Soviet, Presiden Truman segera menyatakan komitmennya dalam membantu ‘dunia bebas’ untuk terhindar dari pengaruh totalitarianisme komunis dalam pidatonya di depan kongres pada 12 Maret 1947. Pidato tersebut lebih dikenal dengan Truman Doctrine (Doktrin Truman). Pidato Presiden Truman ini menjadi salah satu latar belakang kebijakan pembendungan (Containment Policy) Amerika di masa Perang Dingin. Salah satu wujud Truman Doctrine ini adalah pemberian bantuan dana ekonomi militer sebesar 400 juta dolar kepada Yunani dan Turki.

Lebih jauh lagi Amerika Serikat membentuk berbagai kerja sama aliansi dalam meneruskan kebijakan antikomunisnya. Pada 1947 Amerika membentuk Inter-American Treaty of Mutual Assistance atau Rio Treaty dengan anggota 21 negara yang berisi perjanjian saling membantu antarnegara Amerika; Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) dengan 12 anggota di awal pendiriannya pada 1949; Perjanjian ANZUS (Australia, New Zealand, United States Security Treaty) pada 1951; Organisasi Pertahanan Tengah (Central Treaty Organization/CENTO) pada 1954; dan Organisasi Pertahanan Asia Tenggara (Southeast Asia Treaty Organization/SEATO) pada 1954. Organisasi-organisasi tersebut merupakan bentuk pengejawantahan Containment Policy Amerika Serikat di beberapa kawasan di seluruh dunia. Untuk menandingi itu semua, Uni Soviet membentuk Pakta Warsawa pada tahun 1955 yang beranggotakan negara-negara aliansi timur dengan ideologi komunisnya.

Polarisasi dan konfrontasi politik Amerika dan Uni Soviet semakin menajam dan mengkhawatirkan seluruh dunia jika Perang Dunia III akan meletus. Namun menariknya, dalam periode perang dingin ini tidak pernah ada konfrontasi langsung satu lawan satu antara Amerika dan Uni Soviet, yang ada hanyalah intervensi politis militer kedua negara besar tersebut di beberapa negara proksi sehingga timbulah istilah perang proksi (proxy war). Beberapa perang proksi yang melibatkan intervensi Amerika dan Soviet di antaranya Perang Korea (1950-1953), Perang Vietnam (1955-1975) dan beberapa konflik domestik seperti di Laos, Kongo dan Kamboja. Tidak bisa terbayangkan apabila kedua negara adidaya tersebut berkonfrontasi secara langsung, mungkin periode sejarah umat manusia akan berakhir dengan perang nuklir yang terjadi.

Di tengah polarisasi yang kian tajam, kekuatan alternatif (alternative power) muncul untuk ‘menengahi’ konflik timur dan barat yang kian mengkhawatirkan. Kekuatan tersebut muncul dari negara-negara dunia ketiga yang pengejawantahannya dapat kita lihat dari diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika (1955), Gerakan Non-Blok (1961), Pembentukan ASEAN (1967). Tiga contoh kekuatan alternatif tersebut merupakan bentuk upaya untuk menyeimbangkan dunia agar tidak tersentralisasi dalam satu kekuatan blok manapun baik blok barat yang dipimpin Amerika dan blok timur yang dipimpin Uni Soviet. Karena sejatinya politik yang terpolarisasi hanya menciptakan rasa takut dan ancaman bagi masyarakat dunia.

Periode perang dingin Amerika-Soviet ini berakhir dengan runtuhnya kekuasaan komunisme di Eropa Timur dan Uni Soviet di akhir tahun 1980-an dan awal 1990. Krisis otoritarianisme komunis sejatinya diawali oleh pecahnya komunisme internasional antara Uni Soviet dan China. Hubungan Sino-Soviet merenggang sejak pidato Nikita Khrushchev di kongres ke-20 Partai Komunis Uni Soviet pada 25 Februari 1956. Dari sanalah rasa saling curiga kedua negara muncul, hal ini sejalan juga dengan ambisi Mao Zedong untuk menjadikan China sebagai penguasa Komintern menggantikan Uni Soviet mantan mentornya.

Krisis komunisme memuncak pada akhir tahun 80-an dan awal 90-an, ditandai dengan beberapa indikator, mulai dari stagnasi pertumbuhan ekonomi Uni Soviet, revolusi liberal di negara-negara sekutu Uni Soviet (Eropa Timur), runtuhnya tembok Berlin dan reunifikasi Jerman, serta isu etno-nasionalisme di negara-negara bagian Uni Soviet yang menginginkan kemerdekaannya. Runtuhnya Uni Soviet pada Desember 1991 dilatarbelakangi oleh disintegrasi dan ketidakpercayaan serta kebijakan Glasnost dan Perestroika Mikhail Gorbachev yang tidak terencana dengan baik dan malah menjadi penyebab utama runtuhnya imperium komunisme yang berdiri sejak revolusi komunis 1917. Hal ini secara langsung menandai berakhirnya rivalitas liberalis-kapitalis barat dengan komunisme timur, dengan kata lain perang dingin telah berakhir.

Foto bersejarah yang dipamerkan di Ereveld Pandu atau Makam Kehormatan Belanda di Bandung, Senin (7/3/2022). (Foto:  Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Foto bersejarah yang dipamerkan di Ereveld Pandu atau Makam Kehormatan Belanda di Bandung, Senin (7/3/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Sejarah Dinamika Politik Global PascaPerang Dunia II dan Pelajaran Berharganya

Pelajaran yang dapat kita ambil, hemat saya adalah, perlunya kita memahami bagaimana pola politik dunia yang tidak pernah berhenti pada suatu keadaan atau kepastian tertentu atau dalam arti politik global niscaya terus berdinamika. Dinamisnya politik dunia, yang contoh nyatanya adalah politik pascaperang dunia II, membuat kita Indonesia sebagai negara yang memiliki kedaulatan penuh harus cermat dalam menjalin kerja sama dan persekutuan internasional, yang tentu saja didasari oleh asas politik luar negeri bebas dan aktif.

Sebagaimana ungkapan yang sering kita dengar, di dalam politik tidak ada kawan maupun lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa, pragmatisme dalam politik internasional memang tidak ada salahnya dan justru kita dituntut untuk menjadi pragmatis. Namun yang harus menjadi catatan, pragmatisme kita tidaklah bertentangan dengan komitmen kita terhadap hak asasi manusia, kedaulatan negara, pasifisme dan perdamaian universal. Bebas dan aktif bukanlah berarti Indonesia menjadi negara yang pasif atau ‘cari aman’ dalam pergaulan politik dunia, justru prinsip bebas dan aktif menuntut Indonesia untuk menjadi negara yang berperan besar dalam berbagai keputusan-keputusan internasional, sehingga eksistensi Indonesia akan semakin terpandang dan berwibawa.

Dinamika politik global pascaperang dunia II memberikan pelajaran kepada kita bahwa seorang sekutu pun berpeluang besar menjadi seteru karena suatu kepentingan nasional. Dan darinya kita belajar bahwa sentralisasi kekuasaan di dalam genggaman satu negara sudah tidak lagi relevan di era yang dewasa kini memasuki era yang kita sebut globalisasi. Masyarakat dunia yang kian melebur dalam suatu bentuk kosmopolitanisme, harus pula dikelola dalam kesetaraan atau egalitarianisme dan menghapuskan kesenjangan. Kekuasaan di satu negara hanya akan melahirkan monopoli dan dominasi hegemoni yang merugikan pihak yang lebih inferior.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//