• Berita
  • Memperkuat Persekutuan Media Alternatif Independen dalam Gamang Demokrasi yang Menggerus Kebebasan Pers

Memperkuat Persekutuan Media Alternatif Independen dalam Gamang Demokrasi yang Menggerus Kebebasan Pers

Kemunculan media-media alternatif independen, yang bukan hanya di Jakarta, berperan penting dalam usaha menjaga demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.

Salah satu aksi dalam peringatan Hari Pers Sedunia (World Press Freedom Day) 2015 yang digelar AJI Bandung bersama seniman di Jalan Dago, Bandung, Minggu (3/5/2015) siang. (Foto: Iqbal Kusumadirezza/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana21 Mei 2022


BandungBergerak.idSejumlah media kecil yang meniatkan diri menjadi media alternatif berkumpul memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) 2022 di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, Jakarta, Sabtu (21/5/2022). Tanggal ini bertepatan dengan momen penting yang menjadi tapal batas bagi demokrasi di Indonesia, yakni jatuhnya rezim otoriter Orde Baru pada 21 Mei 1998 silam. Mereka menyuarakan pentingnya kolaborasi untuk mengawal demokrasi. 

Total ada 12 media alternatif yang hadir, termasuk Project Multatuli sebagai tuan rumah. Ke-11media lainnya adalah Balebengong, BandungBergerak, Bincang Perempuan, Betahita, Ekuatorial, Floresa, Konde, Remotivi, Serat, Sinar Pidie, dan Suara Kita. Setiap media memiliki kekhasan masing-masing, mulai dari pemrioritasan isu lingkungan, perempuan, hingga praktik jurnalisme mendalam serta pelibatan warga. 

Ke-12 media ini disebut media kecil karena struktur organisasi mereka kecil. Disebut alternatif, karena mereka menyajikan berita yang berkaitan dengan kepentingan publik dengan tetap menempuh jalur independen.

Demokrasi menjadi tema sentral acara yang digagas Project Multatuli tersebut. Dan iklim demokrasi di Indonesia saat ini sedang mengalami jalan mundur dibandingkan dengan yang diamanatkan reformasi 1998. Merosotnya demokrasi terutama terlihat dari terancamnya kebebasan pers karena semakin kuatnya oligarki.

"Dead Press Society: Gerilya Media Mungil Bersekutu untuk Menjaga Demokrasi", demikian tema lengkap peringatan Hari Pers Sedunia ini. Dead Press Society -- bentuk satir dari film Dead Poets Society – merupakan sindiran bagi mereka yang mengira bahwa pers telah mati di tangan penguasa atau oligarki. Sebuah pengingat bahwa kebebasan pers adalah mimpi yang belum dan harus selesai, dan ia ada di tangan jurnalisnya sendiri untuk mewujudkannya.

Acara yang bertepatan dengan 1 tahun Project Multatuli itu dibuka Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Lambert Grijns. Menurutnya demokrasi dan kebebasan pers menjadi perhatian negerinya. Terlebih saat ini Belanda bersama Kanada memimpin Koalisi Kebebasan Media.

Lambert Grijns melihat kemunculan media-media alternatif seperti Project Multatuli cs berperan penting dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Kemunculan mereka terjadi di saat banyak media besar yang dikuasi pemodal, penguasa atau figur-figur partai politik.

Situasi media arus utama itu berdampak pada orientasi pemberitaan. Kebanyakan orientasi media mainstream di Indonesia sangat jakartasentris dan kurang menjangkau daerah-daerah di luar pulau Jawa. Lahirnya media alternatif yang mengengkat isu-isu yang dipinggirkan oleh media arus utama menjadi angin segar bagi masyarakat yang sering kali terabaikan dalam lanskap nasional.

“Namun di siis lain kita juga harus jujur dan membuka mata akan keterbatasan yang mungkin dimiliki small journalism. Media kecil mungkin memiliki independensi yang lebih besar ketimbang media mainstream, baik dari segi isu yang diangkat maupun angle pelaporannya. Namun tidak dapat dipungkiri media kecil memiliki kapasitas yang lebih terbatas dalam melaksanakan tugas kesehariannya,” kata Lambert Grijns.

Realitas itu membuat media-media alternatif memerlukan kehati-hatian ekstra dalam menjalankan kerja jurnalistiknya. Bahkan tidak sedikit dari media-media alternatif yang tidak terdaftar di Dewan Pers. Tahun 2021, ada hampir 1.700 perusahaan media yang terdaftar di Dewan Pers. Jumlah itu hanya segelintir saja dari total media yang ada di Indonesia.

Hal ini akan berdampak pada perlindungan terhadap media alternatif maupun jurnalisnya. Posisi mereka menjadi sangat rentan jika ada pihak yang memperkarakan berita yang mereka hasilkan.

Masalah hubungan media alternatif dengan Dewan Pers ini menjadi perhatian serius dalam rangkaian peringatan Hari Pers Sedunia ini. “Melalui acara ini diharapkan bisa membantu menjembatani hubungan tersebut,” katanya.

Lambert juga menyinggung pentingnya kolaborasi sesama media alternatif. Persekutuan ini bukan hanya di bidang peliputan, namun juga untuk saling melindungi. Dan persekutuan inilah yang kini sedang ditempuh Project Multatuli. Project Multatuli dinilai aktif memberdayakan media lokal dalam mengangkat isu demokrasi, HAM, keadilan, lingkungan hidup, dan kesetaraan.

Baca Juga: Catatan 24 Tahun Reformasi
Balada Komik RA Kosasih di Toko Buku Maranatha
Deklarasi Bandung Kota Angklung semoga Bukan Simbol Semata

Jalur Terjal Menjadi Independen

Suramnya industri media yang dikuasai penguasa dan pemilik modal memunculkan media-media alternatif seperti Project Multatuli cs. Para jurnalis yang bekerja di media-media alternatif kebanyakan sebelumnya pernah bekerja di media mainstream.

Evi Mariani, pemimpin umum Project Multatuli, misalnya, merupakan mantan jurnalis The Jakarta Post, media berbahasa Inggris yang gulung tikar karena disrupsi. Evi kemudian memutuskan menjadi pengusaha media dengan mendirikan Project Multatuli.

“Tahun lalu memutuskan jadi pengusaha agar saya tetap menjadi jurnalis,” katanya.

Sebagai pengusaha, ia harus melakukan pengecekan keuangan, memutar otak, mengendus pendapatan agar para jurnalis yang tergabung dengan Project Multatuli tetap bisa bekerja secara independen, memegang kode etik jurnalistik.

Namun di era sekarang tetap menempuh jalur independen amatlah sulit. Bahkan untuk bertahan menjadi jurnalis pun sulit. Kesulitan itu terjadi dua kali lipat bagi jurnalis perempuan yang bertugas dibayangi kekerasan berbasis gender, fisik atau digital, tanpa jaminan dari pihak mana pun.

Bahkan Project Multatuli telah mengalami serangan digital ketika memberitakan korban kasus kekerasan seksual yang tidak ditanggapi oleh kepolisian. Akibatnya, situs Project Multatuli tak bisa diakses dan kanal Youtube mitra Project Multatuli, Suara Kita, dibajak.

Project Multatuli tidak sendirian. Rekan sesama media alternatif lainnya banyak mengalami ancaman serupa. Di jalur terjal independen itu mereka juga dirundung pertanyaan tentang kelangsungan hidup mereka, selain mempertanyakan masa depan demokrasi. Pertanyaan ini berusaha dijawab dengan membentuk persekutuan antara media-media alternatif.

“Maka hari ini saya lantang meminta siapa pun untuk membantu kami, kalau bisa dana, terutama untuk liputan independen yang melayani publik. Dengan bersekutu kami lebih kuat,” katanya.

Ke-12 media dalam persekutuan ini ialah Project Multatuli, Bale Bengong, BandungBergerak.id, Bincang Perempuan, Betahita, Ekuatorial, Floresia, Konde.co, Remotivi, Serat.id, Sinarpidie.co, SuaraKita.

Ancaman Kebebasan Pers Global

Meski sebagai ketua Koalisi Kebebasan Media, Lambert Grijns menyatakan bukan berarti Belanda terdepan dan terbaik dalam hal kebebasan pers. Bahkan indeks kebebasan pers Belanda kini turun menjadi 28. Salah satu alasan kemerosotan ini terjadi karena adanya beberapa kekerasan terhadap jurnlis.

Tahun 2021, seorang jurnalis investigasi di Belanda terbunuh karena menyelidiki praktik kejahatan terorganisir. Selain itu, Belanda kini harus lebih konsens lagi pada perlindungan jurnalis baik secara fisik maupun digital.

Kekerasan terhadap pers dari ranah digital dinilai sebagai bentuk ancaman baru terhadap kebebasan pers. Bahkan ancaman ini bersifat global, bukan hanya dialami Belanda dan Indonesia saja. “Mayoritas di ruangan ini tahu kebebasan pers menjadi masalah pelik tahun ini,” katanya.

Ancaman digital berdampak besar pada psikologis korban. Sementara itu, ancaman fisik bukan berarti mereda. Data UNESCO menunjukkan bahwa setiap 5 hari ada jurnalis yang terbunuh sebagai akibat langsung dari pekerjaan mereka, yaitu membuat berita dan informasi bagi kepentingan publik.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//