Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (59): Ada Kata-kata yang Hanya Dimengerti oleh Orang Pameungpeuk, Ada Kata-kata yang Berbeda Makna
Kata bodég, yang bermakna jelek, hanya dimengerti oleh orang Pameungpeuk. Diucapkan di luar desa, boleh jadi orang-orang tidak akan paham maksudnya.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
25 Mei 2022
BandungBergerak.id - Ada kata-kata yang hanya dimengerti oleh orang Pameungpeuk, Garut, saat itu, dan tidak dipahami oleh orang di luar Pameungpeuk. Contohnya kata bodég, yang mempunyai makna jelek. Bila orang Pameungpeuk mengucapkan kata bodég di luar Desa Pameungpeuk, boleh jadi orang tidak akan paham maksudnya.
Namun orang Pameungpeuk mengetahui kata lain yang juga bermakna jelek, seperti kata: goté, goreng, awon, atau butut, kebalikan dari kata alus atau saé, yang bermakna bagus.
Layeus, langlayeuseun, berarti anak yang lemas karena kurang makan atau kelaparan. Bila sudah parah tingkat kelaparannya, makan seadanya, biasanya perut anak-anak itu menjadi kembung, menjadi buncit. Tatapan matanya kosong penuh harap, dan rambutnya menipis berwarna kemerahan, kemudian rontok. Kepalanya menjadi botak.
Linggih, bermakna duduk. Namun, ungkapan dihaturanan linggih, bermakna mengundang. Saya sering disuruh oleh Ema untuk mengundang beberapa belas orang laki-laki dewasa yang ditokohkan di kampung kami untuk menghadiri selamatan yang diadakan di rumah. Ema mendiktekan kalimatnya. Saya tidak menulisnya, cukup diingat saja karena kalimatnya pendek: “Dihaturanan linggih, enjing ba’da asar. Bade salametan” (Mengundang untuk hadir besok setelah asar, ada syukuran). Saya berkeliling dari rumah ke rumah, setelah menyebutkan punten, permisi, setelah yang punya rumah membuka pintu, lalu saya mengucapkan undangan selamatan itu.
Musapir, disebut juga baramaén, adalah orang yang meminta-minta. Ada beberapa cara yang biasa mereka lakukan. Ada yang berdiam di gerbang pasar, ada yang berkeliling di dalam pasar mendatangi para pedagang, ada juga yang berjalan dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung, atau hanya berjalan di sepanjang jalan, menanti derma dari masyarakat yang dilewatinya. Bila didatangi baramaén, tapi belum berkenan untuk memberi, orang itu akan mengatakan pursabén, yang bermakna penolakan atau tidak memberi. Orang yang baramaén itu akan pergi, menuju orang-orang lainnya.
Kata pursabén bisa juga digunakan oleh orang tua kepada anaknya yang terus meminta mainan atau meminta uang kepada ibunya, walau sudah mendapatkan penolakan, karena mainan itu dianggapnya belum dibutuhkan, tidak penting sekali, atau karena memang orang tua itu sedang tidak mempunyai uang. Orang tua itu akan mengatakan, “Teu beunang dipersabenan!”, tidak bisa dibilang tidak ada, karena anaknya terus meminta sambil memelas, bahkan sambil menangis.
Ngarorotek adalah istilah untuk mencari kayu bakar yang berupa ranting-ranting berukuran kecil. Berbeda dengan ngala suluh, mencari kayu bakar, yang diambilnya kayu atau dahan yang berukuran sebesar lengan atau lebih. Bila yang ditemukan dahan yang berukuran lebih besar, akan dibelah terlebih dahulu dengan patik, kampak berukuran lebih besar dengan gagang yang lebih panjang. Umumnya digunakan untuk membelah kayu besar menjadi bagian-bagian yang ukurannya sudah lazim. Umumnya panjang satu meter, lebar 5 jari, dan tebalnya 2-3 jari.
Réhé. Saat kecil, kami hanya mengetahui arti tunggal untuk kata réhé, yaitu sepi, tiada suara berisik. Misalnya, bila sudah lewat magrib dan menjelang isya, suasana di kampung kami sudah réhé, sudah sepi. Tak terdengar lagi teriakan anak-anak yang sedang bermain, seperti di siang hari.
Di luar kampung kami, kata réhé, bermakna cunihin, teu uyahan, yang bermakna orang yang tidak disukai oleh kebanyakan anak perempuan. Ketidaksukaan anak-anak perempuan itu beralasan karena anak itu biasa mengganggu dengan cara-cara yang tidak pantas, bahkan sedikit kotor. Baik kata-katanyanya, gestur tubuh, maupun perilakunya.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (58): Nyaba ke Garut
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (57): Kosakata Bahasa Sunda yang Mulai Jarang Dipakai
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (56): Menjelang Lebaran, Daki Dibersihkan dengan Gemuk Mesin Jahit
Tulak dan Beberapa Maknanya
Tulak bermakna kunci dari dalam rumah untuk menahan pintu agar tidak terbuka. Umumnya tulak itu berupa kayu dengan ukuran panjang 20 sentimeter, lebar 3 sentimeter, dan tebal 2 sentimeter. Tulak dikuatkan dengan paku yang ditancapkan di tengah-tengah bilah kayu tersebut. Lubang paku itu ukurannya lebih besar dari besar pakunya, sehingga bilah kayu atau tulak itu dapat diputar dengan mudah. Tulak dipaku ke kusen. Saat pintu ditutup, tulak diputar ke arah pintu sehingga dapat menahan pintu tidak terbuka.
Ada beragam tulak yang biasa dipakai di kampung kami. Ada juga tulak yang panjang, lebih panjang sedikit dari lebar kusen. Bentuknya berupa bilah kayu selebar 3-4 sentimeter, tebalnya 2 sentimeter. Dipasang menahan seluruh lebar pintu, ditahan oleh penyangga yang bagian atasnya terbuka, dipaku di kedua tiang kusen. Tentu ini jauh lebih kuat menahan pintu sehingga tidak mudah dibuka. Dalam keadaan darurat, bilah kayu tulak ini berguna menjadi senjata pemukul bila ada pencuri masuk rumah yang membobol atap.
Kata tulak bermakna lain. Misalnya bila ada rumah yang sudah miring akan roboh, rumah itu didorong dengan bambu sampai tegak kembali, kemudian batang bambu yang kuat dijadikan sebagai tulak, sebagai penahan agar rumah itu tidak kembali miring. Bisa juga batang bambu itu menjadi tulak, menjadi penyangga pohon pisang yang miring karena tandan pisang yang berat. Dengan ditulak batang bambu, pohon pisang itu tidak roboh sebelum pisangnya matang.
Bisa juga kata tulak, digunakan dalam nulak cangkéng. Tangannya seperti sedang menyangga pinggang, seolah-olah tubuhnya miring, dan dengan ditulak ia menjadi tegak.