• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (61): Kegembiraan Bermain di Dahan Pohon

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (61): Kegembiraan Bermain di Dahan Pohon

Di kampung, batang dan dahan pohon menjadi tempat bermain yang menyenangkan. Pohon jambu batu yang kuat dan lentur menjadi favorit anak-anak.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Dahan pohon jambu batu, yang kuat dan lentur, menjadi favorit bagi anak-anak untuk bermain. (Ilustrasi: T. Bachtiar)

8 Juni 2022


BandungBergerak.id - Tidak semua pohon yang ada di sekitar rumah, kami panjat. Kami sudah mengenali kekuatan dan kelenturan dahan pohon. Kami tahu betul, ada dahan pohon yang mudah patah, sehingga sangat membahayakan kalau kami panjat. Contohnya pohon kersen, dengan bunganya yang putih, berdaun hijau lunak, dan buahnya bulat sebesar ujung jari. Warna buahnya merah dengan rasa yang manis. Buah inilah yang menjadi daya tarik bagi kami.

Begitu melihat pohon kersen, langsung kami tengadah, melihat ke seluruh ranting pohon. Bila ada buahnya yang sudah merah, ujung rantingnya ditarik terus sampai buah merahnya dapat dijangkau. Satu, dua, tiga, empat, lima buah kersen kami petik dari satu tarikan. Kadang buah-buah itu langsung kami makan, namun bila jumlahnya sangat melimpah, hasil petikannya dimasukkan ke dalam saku baju.

Kersen itu tumbuh dengan subur di halaman, di pinggir tegalan, atau di sempadan sungai. Karena pangkal dahan pohon ini mudah patah, anak-anak sangat hati-hati memanjat. Dua hal yang kami lakukan, pijakan harus benar-benar di dahan yang diperkirakan kuat menahan beban tubuh. Bila pijakan kaki di dahan yang kecil, tangan kami harus memegang dahan lainnya yang diperkirakan kuat menahan beban tubuh. Bila dahan yang dipijak itu patah, kami masih bisa bergelantungan. Kecuali bila dahan yang dipegang itu ikut patah juga, ya kami tercebur ke sungai.

Ada pohon lainnya yang rantingnya mudah patah, yaitu pohon ceremai. Kami tidak berani memanjat pohon ini sampai di ujung dahan untuk memetik buahnya. Oleh kerena itu seringnya pohon ceremai kami goyang-goyang dengan cara menghentakkan kaki ke pohon ceremai. Kalau goyangannya sampai di ujung dahan, buah ceremai akan berjatuhan.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (60): Rujak dan Petis di Pameungpeuk, Ada yang Berbahan Mengkudu dan Kulit Kayu
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (59): Ada Kata-kata yang Hanya Dimengerti oleh Orang Pameungpeuk, Ada Kata-kata yang Berbeda Makna
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (58): Nyaba ke Garut

Berayun di Pohon Jambu Batu

Sedangkan pohon yang kuat dan sangat lentur adalah pohon jambu batu. Pohon ini termasuk yang paling sering kami panjat sampai ranting yang paling kecil. Di pohon inilah kami eundeuk-eundeukan, berayun-ayun di dahan. Bila pohon jambu itu berada di pinggir sungai, kami memilih dahan yang mengarah ke atas sungai.

Bila dahannya cukup besar, yang duduk di dahan itu bisa lebih dari dua orang. Namun bila dahannya kecil, setiap dahan hanya diduduki oleh satu orang saja.

Bila anak-anak sudah mendapatkan posisi duduk yang nyaman, tangan sudah memegang dahan, dahan itu akan dihentak-hentakkan ke bawah agar dahan itu berayun balik ke atas. Bila dahannya sangat kuat, tubuh kami hentakkan ke bawah kemudian dahannya mengayun ke atas. Semakin kuat hentakannya, semakin kuat pula daya lenting ke atas. Itulah yang membuat kami senang.

Bila sudah capai, anak-anak beristirahat sejenak sambil memetik buah jambu yang masih mentah, tapi sudah ada rasa sedikit masam. Selesai menghabiskan satu atau dua jambu batu, kami mengayun-ayunkan kembali dahan itu sampai melenting karena berat oleh beban.

Terkadang kami bernyanyi sambil mengayun-ayunkan dahan jambu batu. Anak-anak bergembira, bernyanyi sesuai irama ayunan dahan:

Eundeuk-eundeukkan lagoni
Meunang peucang sahiji

Leupas deui ku aki
Beunang deui ku nini.

Eundeuk-eundeukkan lagoni
Meunang peucang sahiji

Leupas deui ku nini
Beunang deui ku aki.

(Bergoyang-goyang lagoni
Dapat kancil seekor

Lepas lagi oleh kakek
Ditangkap lagi oleh nenek. 

Bergoyang-goyang lagoni
Dapat kancil seekor

Lepas lagi oleh nenek
Ditangkap lagi oleh kakek.)

Begitu kami terus menyanyikan lagu yang tiada berujung, berulang-ulang sampai merasa bosan. Terkadang terdengar suara berdebur. Oh, ada satu orang yang jatuh tercebur ke sungai! Bajunya basah, tapi ia akan segera memanjat kembali ke pohon, dan mencari dahan yang diperkirakan membuatnya lebih nyaman. 

Bila sudah puas dengan permainan eundeuk-eundeukan, kami menceburkan diri ke sungai. Baju dan celama sudah dibuka di atas pohon, lalu dipintal-pintal, dilemparkan ke dekat pangkal pohon, sekitar satu atau dua meter dari pinggir sungai.

Kami mengalun di sungai di belakang rumah, sampai batu besar yang berdekatan dengan jembatan bambu yang menuju Leuwi Kuning. Jaraknya tidak jauh, mungkin hanya 75 meter saja. Di sana ada batu besar, ukurannya cukup tinggi, namun ada bagian sisi batu yang sedikit pecah, sehingga kami dapat memegang tonjolan tipis dan menginjakkan kaki di sana, lalu memanjat batu itu sampai di puncaknya. Bagian atasnya agak datar, lebarnya 1,5 x 1,5 meter. Dari sanalah kami berloncatan ke sungai yang tidak terlalu dalam.

Bagian atas batu besar ini terkadang dipakai untuk menggilas cucian. Sabun cap tangan digosok-gogokkan ke bagian pakaian yang paling kotor, lalu ujung pakaian dipegang kuat, lalu digilas, digosok-gogok, hingga bagian yang kotor luntur, dan bau keringat hilang. Bekas sabun cuci itu menempel kuat di atas batu, sehingga menjadi putih dan tidak hilang walau berkali-kali diterjang banjir.

Puas berloncatan, kami naik ke sempadan sungai, sekitar 2,5 meter tingginya, melewati jalan setapak di pinggir kebun. Hanya sebentar saja, kami sudah sampai di dekat pohon jambu batu yang tadi dipakai eundeuk-eundeukan. Pakaian kami masih ada di sana. Kami langsung memakainya dalam keadaan badan yang masih basah.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//