• Berita
  • Gerilya Dua Penyair di Kampus-kampus Jawa Barat

Gerilya Dua Penyair di Kampus-kampus Jawa Barat

Yudhistira ANM Massardi dan Acep Zamzam Noor bergerilya di kampus-kampus Jawa Barat. Total ada 7 kampus yang mereka singgahi sambil membaca puisi.

Dua penyair, Yudhistira ANM Massardi dan Acep Zamzam Noor, menggelar Safari Sastra Tujuh Kampus – Unpar, Kamis (9/6/2022). (Sumber: Youtube Unpar)*

Penulis Iman Herdiana10 Juni 2022


BandungBergerak.idDua penyair, Yudhistira ANM Massardi dan Acep Zamzam Noor bergerilya di kampus-kampus Jawa Barat. Total ada 7 kampus yang mereka singgahi sambil membaca dan mendiskusikan puisi. Keduanya mengajak, terutama pada para dosen, agar meluangkan waktu sejenak menikmati sastra.

Selama ini para dosen dan mahasiswa mungkin menjalani rutinitas sehari-hari yang padat, mengejar nilai, membuat tugas, menulis jurnal ilmiah, atau bagi kalangan universitas sibuk mengejar akreditasi, menggaet mahasiswa sebanyak-banyaknya.

Kehidupan terus bergerak seolah tanpa henti. Di saat yang sama, ada wahana untuk menghentikan itu semua sejenak, yaitu puisi atau sastra. Dengan puisi, aktivitas manusia yang amat sibuk mendapatkan remnya. Puisi mengajak pemaknaan terhadap aktivitas itu.

Kegiatan manusia yang sangat sibuk tergambar dalam puisi Yudhistira ANM Massardi saat membacakan salah satu puisi dalam buku Kumpulan Sajak Sikat Gigi berjudul Tak Sempat yang ditulisnya tahun 1975. 

Tak sempat

Pemburu tak sempat menembak

Pencopet tak sempat mencuri

Pelaut tak sempat berlayar

Pelacur tak sempat makmur

Sungguh genting

Yudhistira ANM Massardi mengatakan, Unpar menjadi kampus ketujuh dalam lawatan bertajuk “Safari Sastra Tujuh Kampus – Unpar”, Kamis (9/6/2022). Sebelumnya, Massardi bersama Acep Zamzam Noor menjalankan acara serupa di kampus di Tasikmalaya, kemudian ke Unisba, UPI, UIN SGD Bandung, Unpad.

Melalui “Safari Sastra Tujuh Kampus – Unpar”, ia dan Acep ingin mengompori nyali literasi di kampus-kampus yang ambruk karena dilanda pandemi. Ada dua sasaran dari program ini, yaitu para dosen dan mahasiswa. Diharapkan mereka mau menulis atau mengapresiasi sastra, di sela kegiatan rutinitas mereka. 

“Kualitas literasi bangsa kita begitu parahnya, tidak pernah bisa menulis dan membaca. Banyak penelitian bahwa tingkat baca kita rendah, oplah buku-buku sedikit sekali,” katanya.

Fenomena tersebut ironis mengingat Indonesia memiliki banyak guru, dosen, dan mahasiswa. Sebagai gambaran, Indonesia memiliki sedikitnya 3 juta guru. Jika dari jumlah itu satu guru saja membeli karya sastra maka sudah menghasilkan mega bestseller

“Kuncinya pada guru dan dosen agar mereka menjadi motor pergerakan literasi,” katanya. 

Baca Juga: Duit 1,4 Miliar Rupiah APBD Kota Bandung untuk Belanja Jasa Tenaga Ahli
PAYUNG HITAM #1: Suara-suara Baru di Pekan Penghilangan Paksa
Salah Arah Pembangunan akan Menuai Bencana di Bandung Selatan

Tugas Penyair

Acep Zamzam Noor juga membacakan beberapa puisinya, salah satuya berjudul “Tugas Penyair” yang ia tulis 2018: 

Puisi menugaskanmu untuk selalu siaga 

Mengamati setiap gerak angin dan getar udara 

Yang sering kali tak pernah tersimak telinga 

Puisi menugaskanmu untuk selalu terjaga 

Memaknai setiap putik daun dan bulir embun 

Yang terkadang luput dari tangkapan mata

Puisi menugaskanmu untuk selalu peka 

Mendengar kata-kata yang tak diucapkan mulut 

Namun getarannya langsung menembus dada

Acep mengakui bahwa selama ini pergerakan puisi tidak terlihat. Muncul juga tuntutan agar penyair menciptakan puisi-puisi yang kontekstual, tidak larut dalam permainan bahasa, sehingga mampu memaknai isu-isu yang konstekstual, seperti politik identitas, benturan ideology, pemanasan global, dan lain-lain.

Dengan demikian, tugas penyair tidak lagi mengamati putik bunga dan bulir embun, menangkap suara yang tidak diucapkan mulut tapi getarannya sampai ke dada. Namun dengan nada satir, Acep menyatakan bahwa sulit bagi puisi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia.

Ada istilah seni untuk seni dan puisi untuk puisi. Mengacu pada istilah ini, tidak mungkin puisi bisa menyelesaikan atau memaknai isu-isu yang dihadapi manusia, pemanasan global misalnya.

“Puisi seperti pemilu, tidak menyelesaikan masalah. Pemilu itu tidak menyelesaikan masalah, dengan uang penyelenggaraan yang besar sekali. Jadi puisi seperti pilkada, tidak menyelesaikan masalah,” katanya.

Acara “Safari Sastra Tujuh Kampus – Unpar”itu dibuka Rektor Unpar Mangadar Situmorang, kemudian dimeriahkan musik akustik yang dibawakan musikus Adew Habtsa, performance art, dan pembacaan puisi oleh para penyair.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//