PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #5: Rintangan Persis di Luar Bandung
Pada awal berdirinya di Bandung, Persatuan Islam (Persis) mendapat tudingan sesat, dicap sebagai Wahabi, hingga disebut agama baru.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
12 Juni 2022
BandungBergerak.id - Sejak Persis berdiri pada tahun 1923, Haji Zamzam dkk. tak pernah berhenti mendapat serangan dari berbagai pihak. Tudingan-tudingan sesat serta dicap sebagai Wahabi atau agama baru, selalu diterima oleh Persis dengan sangat masif.
Meski demikian, para aktivis atau pengurus Persatuan Islam berusaha untuk tetap kokoh menghadapi serangan-serangan tersebut karena mereka memiliki keyakinan yang kuat dengan mengembalikan seluruh prinsipnya kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Mereka, misalnya, melakukan klarifikasi melalui surat kabar Soerapati mengenai fitnah-fitnah yang terus bermunculan.
Dalam koran yang dikelola kaum merah itu, pihak Persis menyatakan bahwa semua anggapan buruk terhadap Persis dikembalikan kepada penafsiran masing-masing. Yang jelas sejak awal kemunculannya Persis tetap menjunjung tinggi ajaran Al-Qur’an dan Hadis, meskipun hal itu dimaknai oleh segelintir orang sebagai sesuatu yang baru.
Seiring berjalannya waktu pihak Persis dirasa perlu untuk memperkenalkan kelompoknya ke daerah-daerah di luar Bandung, di samping menepis sangkaan-sangkaan yang bertolak dengan prinsip Persis itu sendiri. Kendati tidak berjalan dengan mulus, semua fitnah yang diterima mampu dijawab satu per satu melalui dialog bersama tokoh-tokoh Islam atau kalangan kiai yang cukup jauh berada dari kawasan tempat Persis didirikan. Rintangan yang dihadapi juga bermacam-macam, bukan saja datang dari pihak-pihak yang sentimen terhadap Persis, namun juga dari aparat pemerintah yang tidak memuluskan agenda pertemuan seperti diskusi dengan melibatkan para pengurus Persatuan Islam dan tokoh-tokoh setempat.
Dalam Bandera Islam 6 Mei 1926, misalnya, tercatat bahwa empat orang pengurus Persatuan Islam telah melakukan perjalanan dakwah dari Bandung menuju Tasikmalaya. Laporan yang ditulis oleh Sjahboedin Latief sebagai catatan perjalanan itu menyebutkan keempat orang pengurus Persis yang bergerak menuju Tasikmalaya itu antara lain Haji Zamzam, Ahmad Hassan, Asep Abdullah dan Ashari. Setibanya di sana, keempat orang tersebut harus mendapat izin terlebih dulu dari sang Bupati. Setelah berkomunikasi lebih jauh, akhirnya mereka diizinkan berada di Tasik asal tidak membahas urusan agama.
Tempat pertama yang dituju oleh Haji Zamzam dkk. ialah rumah Haji Soedjai Kiai Kudang. Konon, Haji Soedjai ini dianggap sebagai tokoh keagamaan yang berpengaruh, bahkan telah diklaim sebagai orang saleh yang mempunyai banyak murid. Kunjungan Haji Zamzam dkk. ke rumah Haji Soedjai tentu bukan tanpa sebab. Selain untuk memperkenalkan Persis sebagai kelompok Islam yang lahir di Bandung, juga ingin mengklarifikasi tudingan-tudingan yang dialamatkan kepada Persis sendiri (Bandera Islam 6 Mei 1926). Bahkan keempat orang dari pengurus Persis ini pun sudah siap bila kunjungan ini disertai fitnah-fitnah yang mustahil bisa dibantah.
Meski sudah mendapat izin, namun izin itu ternyata bukanlah izin yang kuat. Karena pada kenyataannya Haji Zamzam dkk. harus membicarakan perkara agama. Akhirnya, empat orang itu harus pergi meninggalkan Tasikmalaya menuju Manonjaya. Di situlah, mereka bertemu dengan R.H. Adjhoeri dan menggelar pertemuan dengan sembilan orang lainnya termasuk kelimanya dari kalangan kiai. Dalam pertemuan ini pihak Persis bertukar pandangan dengan para tokoh itu untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Persis. Dua poin yang disampaikan oleh R.H. Adjhoeri dalam diskusi ini yaitu: pertama, seseorang yang sangat paham tentang ajaran Islam akan cocok dengan prinsip Persatuan Islam. Kedua, beberapa kiai sebetulnya akan datang ke Bandung untuk mendebat Persatuan Islam dalam acara musyawarah Persatuan Pemimpin Islam. Namun setelah Haji Zamzam dkk. menjelaskan prinsip Persis secara umum, kalangan kiai itu pun urung untuk pergi ke Bandung lantaran sudah sepakat dengan prinsip Persis (Bandera Islam 6 Mei 1926).
Baca Juga: PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #2: Serangan terhadap Persis
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #3: Perseteruan Persis dengan Perkumpulan Permufakatan Islam
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #4: Persis Menjawab Tudingan
Dihalangi Polisi
Usai pertemuan dengan para tokoh Islam itu keempat pengurus dari Persis tersebut harus kembali ke Tasikmalaya tepat menjelang malam. Pada pukul 19.00 Haji Zamzam dkk. memutuskan untuk beristirahat di sebuah penginapan dan mendapat sepucuk surat undangan yang akan digelar di sebuah langgar. Pergilah keempat orang ini menuju undangan itu. Tetapi, meski sudah banyak orang yang hadir, acara itu terpaksa tidak digelar karena dilarang oleh polisi. Merasa perlu untuk menyampaikan prinsip dan tujuan Persatuan Islam, Haji Zamzam dkk. berupaya untuk mengadakan openbare vergadering (pertemuan terbuka) pada hari berikutnya. Langkah pertama ialah memperoleh izin dari pemerintah. Setelah usaha untuk berkomunikasi dengan pemerintah, akhirnya perizinan pun berhasil didapat (Bandera Islam 6 Mei 1926).
Langkah selanjutnya untuk menggelar pertemuan itu yakni, menentukan tempat dan membuat pamplet acara. Semua tokoh yang terlibat dalam kegiatan itu sepakat untuk mengadakan di Gedung Bioskop Galunggung setelah mendapat izin dari Asisten Residen. Tepat di hari pertemuan itu berlangsung, ribuan orang sudah menunggu di gedung Bioskop Galunggung. Namun sebelum kegiatan ini dibuka, sang pemilik bioskop tiba-tiba membatalkan perizinan sehingga acara tidak dapat dilanjutkan. Para tokoh termasuk keempat orang dari pengurus Persis pun kemudian menemui H. Toha untuk melanjutkan pembicaraan yang sempat dibatalkan itu. Pembicaraan tersebut berlangsung di penginapan sementara para pengurus Persis. Di sana Haji Zamzam dkk. mendapat berbagai pertanyaaan terkait tudingan seputar pelarangan salawat, memberikan sedekah mayit, dan mengharamkan ziarah kubur (Bandera Islam 6 Mei 1926).
Dengan berbagai pertanyaan itu, pihak Persatuan Islam yang diwakili oleh keempat tokohnya tentu berhak menyangkal tuduhan-tuduhan yang sudah muncul sebelumnya. Mula-mula Haji Zamzam dkk. menjelaskan bahwa Persis tidak melarang apa yang telah dilakukan mayoritas orang muslim kala itu, melainkan menetapkan Sunnah Nabi disertai keyakinan atas dalil-dalil yang sudah dibaca dan dikaji berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Mendengar penjelasan dari pengurus Persis tersebut, H. Toha merasa cocok dengan prinsip yang diyakini oleh Persatuan Islam. Kendati terdapat beberapa hal yang tidak searah seperti pembahasan ushali, karena H. Toha mesti meninjau ulang terhadap kitab-kitab yang dibacanya (Bandera Islam 6 Mei 1926).
Catatan perjalan yang diberi judul, Perdjalanan di Priangan yang ditulis oleh Sjaboedin Latief ini dimuat bersambung dalam edisi selanjutnya. Pada Bandera Islam 10 Mei 1926 Sjahboedin Latief mula-mula merangkum berbagai kejadian yang sudah ditulis sebelumnya. Lalu kali ini ia sangat menyayangkan kondisi umat muslim di Hindia Belanda yang banyak berselisih paham.
Keadaan seperti itu, menurut Lutfie, akan terus meruncing dan menimbulkan permusuhan antarsesama umat Muhammad bila tidak dihadirkan penjelasan dari pihak yang dianggapnya sebagai kelompok yang berbeda paham. Meskipun pembatalan openbare vergadering yang dibubarkan oleh aparat polisi sangat disayangkan oleh Sjahboedin Lutfie, namun redaktur Bandera Islam ini pun mendapat secercah cahaya karena berhasil menggelar pembicaraan di rumah R.H. Adjhoeri dan bertemu juga dengan H. Toha. Pembicaraan itu merupakan upaya yang membuahkan hasil untuk meyakinkan masyarakat muslim atas tudingan yang disematkan kepada kelompok Persatuan Islam sebelumnya.
“Menilik kabar berita jang sampai kepada kita dan mengingat lagi akan banjaknja fitnah tersiar atas haloean baroe itoe, nistjaja gampang timboel perselisihan diantara pihak jang bermoela tadi dengan pihak jang mentjotjoki haloean baroe itoe. Gampang tergoda keamanan dan ketenteraman kedoea pihak itoe, oleh hal jang remeh-temeh sadja! Tapi daripada pertemoean keempat bestuur PI (Persatoean Islam) itoe dengan kijahi-kijahi jang diroemah R.H. Adjhoeri dan dengan H. Toha tadi njatalah terang benderang, jang segala sebab akan moedah tergodanja keamanan dan damai dalam pergaoelan kedoea pihak itoe gampang hilangnja” (Bandera Islam 10 Mei 1926).