• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG #52: Nevi Aryani, Pengabdian Seorang Guru Honorer

CERITA ORANG BANDUNG #52: Nevi Aryani, Pengabdian Seorang Guru Honorer

Sama seperti Oemar Bakrie yang berhasil mencetak orang-orang seperti BJ Habibie, Nevi Aryani telah mengabdi pada negara sebagai guru honorer sejak 18 tahun lalu.

Nevi Aryani (50), guru PAI di Sekolah Dasar Negeri 243 Cicabe, Jatihandap, Kota Bandung, Jumat (10/6/2022). Sudah 18 tahun Nevi mengabdi sebagai guru honorer. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau13 Juni 2022


BandungBergerak.id“Jadi guru jujur mengabdi memang makan ati,” demikian selirik lagu Guru Oemar Bakrie dari Iwan Fals, dalam album Sarjana Muda yang dirilis 1981, yang ceritanya masih relevan menggambarkan kehidupan guru honorer saat ini, salah satunya Nevi Aryani (50).

Sama seperti Oemar Bakrie yang berhasil mencetak orang-orang seperti BJ Habibie, Nevi Aryani telah mengabdi pada negara sebagai guru honorer sejak 18 tahun lalu, sehingga sudah kenyang menyicip asam garamnya dunia pendidikan. Anak-anak didiknya banyak yang diterima di sekolah favorit, termasuk kuliah di perguruan tinggi elit seperti ITB. Tetapi kesejahteraan Nevi dan guru-guru honorer lainnya tidak ke mana-mana, honornya sangat kecil dibandingkan dengan jasanya.

Ketika ditemui BandungBergerak.id, pada Jumat (10/6/2022) siang di ruang kelas Sekolah Dasar Negeri 243 Cicabe, Jatihandap, Kota Bandung, yang lengang, wajah Nevi Aryani masih tampak lembap oleh air wudu. Ia baru selesai melaksanakan ibadah salat duhur.

Dengan ramah, Nevi bercerita bahwa ia senang bisa menjadi bagian dari perkembangan anak didiknya. Meski sekolahnya masih berada di Kota Bandung, para siswanya kerap kali merasa tidak percaya diri jika mendaftar untuk melanjutkan sekolah ke sekolah favorit di pusat kota.

Maklum, SDN 243 Cicabe hanya satu dari ribuan SD di Kota Bandung yang semua lulusannya sama-sama ingin diterima ke SMP tujuan mereka. Namun Nevi selalu membesarhan hati anak-anak didiknya, agar mereka mau berjuang dan percaya diri.

“Bisa mengajar dan membimbing, kalau misal ketemu mereka (ada siswa yang menyampaikan) bu aku di ITB. Itu senengnya kalau mendengar mereka sukses. Tujuannya ke situ,” ucap Nevi.

“Ya karena yang tadinya ngak jadi guru, akhirnya sekarang jadi guru, kenikmatannya bisa membimbing anak-anak selain anak di rumah, ya anak didik di sekolah  di sini. Itu aja kebanggaannya,” ungkapnya.

Pekan ini, sekolah tempat Nevi mengabdi tengah dalam pekan Penilaian Aktir Tahun (PAT). Semua guru, termasuk Nevi, bertugas memberikan penilaian akhir sebelum pembagian rapot yang dijadwalkan pada akhir bulan.

Nevi merupakan salah satu guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Ia mengajar untuk kelas 1 dan kelas 2, total ada sekira delapan kelas yang ia ajar, dari Senin hingga Kamis, tiap pekannya. Pada pagi hari ia mengajar kelas satu, lalu pada siang hari ia mengajar di kelas dua. Jadwal ini sudah ia dilakukan sejak setahun lebih.

Ketika ditanya mengenai rencana pemerintah akan menghapuskan tenaga honorer, Nevi sempat terdiam. Lalu, ia kembali menyampaikan betapa harapan terbesarnya kepada pemerintah agar nasib para guru honorer bisa benar-benar diperhatikan. Guru-guru honorer yang telah lama mengabdi agar menjadi priortas dan dapat diperhatikan.

Banyak guru honorer sepuh yang masa pengabdiannya tak lama lagi akan berakhir. Banyak dari mereka yang memaksakan diri mengikuti tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), demi memperbaiki taraf hidupnya yang memprihatinkan.

Masa pengabdian Nevi sendiri tinggal 10 tahun lagi. Ia berharap agar pemerintah memberikan penghargaan terhadap para guru honorer, tentu tak hanya untuk dirinya.

“Kepada pemerintah kalau bisa perhatkanlah guru-guru yang sudah mengabdi lama, mereka kan istilahnya bagamana hari tuanya menikmati bakti dia, selama dia bekerja, mengabdi. Itu nggak akan lama kan,” ungkapnya.

“Intinya mah penghargaan terhadap guru honorer jadi perhatikanlah yang sudah lama mengabdi. Jangan sampai kecewa. Toh kita juga nggak akan lama, nggak akan lama menikmatinya paling apalagi P3K sistemnya kontrak, 5 tahun sudah,” tambah Nevi.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (49): Bi Mimin, Kuli Perawat Makam di TPU Pandu
CERITA ORANG BANDUNG (50): Bu Indawati, Pedagang Minuman di Alun-alun Bandung yang Terjebak PPKM
CERITA ORANG BANDUNG (51): Impian Aat Maslahat di Kantin SDN 166 Ciateul

Honor Guru Honorer 25 Ribu Rupiah

“Sukanya terhiburlah dengan anak-anak. Kalau kita ngajar, kalau lihat anak-anak, terus kebersamaan dengan guru-guru lain, ya itu jadi senang,“ ungkap Nevi, ketika ditanya suka duka menjadi guru honorer.

Hampir 18 tahun sudah Nevi Aryani mengabdikan diri menjadi guru honorer di SDN 243 Cicabe, Jatihandap, Kota Bandung. Dulunya, SDN 243 Cicabe terdiri dari tiga sekolah dasar yang digabung, Sekolah Dasar Jatihandap, Sekolah Dasar Cicabe 1, Sekolah Dasar Cicabe 2.

Mulanya, Nevi mengabdi di SD Jatihandap. Kala itu, ia terpaksa menerima tawaran kepala sekolah yang meminta agar ia mau mulai mengajar. Karena tak sampai hati selalu menolak, dengan niat ingin membantu, akhirnya diterimalah tawaran tersebut.

Masih lekat dalam ingatannya, saat itu sekira Oktober 2004, ia mulai bertugas memegang kelas 2. Mengajar sekaligus menjadi guru wali kelas. Sebagai lulusan sarjana PAI Universitas Islam Bandung, ia bisa menyalurkan ilmunya kepada para siswanya.

Sebagai guru tenaga honorer yang diperbantukan, tentu gaji yang didapat tak seberapa. Awal-awal, ia mendapat bayaran per bulan seharga 25 ribu rupiah. Ketika itu belum ada dana bantuan opersional sekolah (BOS). Gaji para guru tenaga yang diperbantukan didapat dari iuran para siswa.

Kerap kali, jika iuran belum terkumpul, bayaran terhadap gaji para guru honorer dibayarkan terlebih dulu memakai dana pribadi ibunya Nevi yang juga merupakan salah satu guru di SD Jatihandap yang dipercaya sebagai bendahara sekolah.

Honornya naik sangat pelan. Dari 25 ribu rupiah, naik menjadi 75 ribu rupiah, kemudian naik menjadi 100 ribu rupiah, lalu menjadi 150 ribu rupiah per bulan. Semenjak ada dana BOS, honornya kini 1 juta rupiah lebih sedikit.

Tahun 2019, pemerinta daerah memberikan bantuan kepada tenaga guru honorer dengan larat pendidikan setara sarjana. Mereka mendapat bantuan 3 juta rupiah, mendekti upah minimum regional kota. Upah itu adalah salah satu program honorarium peningkatan mutu (HPM) yang berasal dari APBD Kota Bandung.

Belasan tahun menjadi guru honorer, tentu Nevi sudah terbiasa menyicip asam garamnya. Beberapa kali ia juga merasakan ketidakadilan yang dilakukan oleh pejabat di lingkungan sekolah terhadap dirinya. Misalnya, ia merasaka kebijakan kepala sekolahnya yang kini telah pindah tugas.

Januari 2021 lalu, ia tak lagi menjadi wali kelas siswa, dan mulai dipindahkan untuk menjadi guru PAI. Hal yang membuatnya kecewa, kepala sekolah tak melakukan diskusi terlebih dahulu. Yang membuatnya kerepotan, ia telah terdaftar di data pokok pendidikan (Dapodik) Kemendikbud sebagai guru wali kelas. Dan itu tak mudah untuk diubah. Namun, ia tetap menerima keputusan itu, meski pahit.

Berkali-kali Ikut CPNS

Nevi bukannya tak pernah berusaha mengikut tes CPNS. Setiap ada seleksi calon pegawai negeri, ia selalu mengikutinya. Namun, belum berhasil. Meski begitu, ia tak pernah merasa sedih, ia hanya menganggap bahwa memang belum waktu dan rejekinya.

Tahun 2021 lalu, sekolahnya hanya mendapat jatah satu P3K. Sayangnya pihak sekolah tak memprioritaskan Nevi untuk mengikuti P3K. Semestinya sekolah memprioritaskan Nevi yang sudah belasan tahun mengabdi menjadi guru honorer. Namun, ia hanya bisa ikhlas dan menerima dengan kebijakan sekolah.

“Mungkin rejeki ibu belum, itu saja sih. Ibu positive thinking saja, mungkin bukan rejeki,” katanya.

Ikhlas Mengabdi

Kini, Nevi tak banyak menuntut, ia hanya ingin menjalankan tugasnya sebagai guru dengan ikhlas. Tujuannya sekarang tak lagi berpatokan pada persoalan dunia. Memang ia masih ada satu orang anak lagi yang masih kuliah untuk dibiayai, namun ia tak merasa keberatan. Anak sulungnya sudah lulus sarjana. Paling tidak sedikit bisa membantu keluarga. Suaminya karyawan swasta di salah satu perusahaan farmasi telah lama terkena PHK, karena persoalan umur.

Meski sempat was-was mendengar adanya informasi bahwa pegawai honorer di lingkungan pemerintahan akan dihapuskan, ia tetap berharap pemerintah mau memperhatikan tenaga honorer.

“Jadi isitlahnya mah ridho lillahi taala, ihklas. Tujuan ibu sekarang mah, karena ibu patokannya udah istilahnya mah mengejar dunia ngak begitu, karena anak sudah pada beres, tinggal satu lagi,” ungkapnya,

Nevi tumbuh dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia dilahirkan di daerah Bali, kala orang tuanya harus bertugas di sana. Ibunya seorang PNS guru, sedangkan ayahnya adalah PNS dari aparat TNI. Beberapa tahun di Bali, setelah itu keluarganya dipindahtugaskan di Flores, NTT, dalam masa perang Timor Timor.

Nevi sendiri merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Salah satu adiknya meninggal di Flores. Lalu ketika ibunya mengandung adiknya yang bungsu, barulah ia dan sang ibu ke Bandung. Kedua orang tuanya merupakan warga asli Garut.

Tumbuh dan besar di keluarga yang menghabiskan waktu mengabdi kepada negara, perasaan pengabdian itu pun tumbuh dalam dirinya. Ia kini menjalani kehidupannya, sepenuhnya mengabdi untuk dunia pendidikan.

Padahal dulunya ia sebenarnya tidak bercita-cita menjadi guru. Profesi ini kemudian menjadi kebanggaannya, terlepas dari minimnya kesejahteraan yang diraih.

“Ya karena yang tadinya nggak jadi guru, akhirnya sekarang jadi guru. Kenikmatannya bisa membimbing anak-anak selain anak di rumah, ya anak didik di sekolah di sini. Itu saja kebanggaannya,” ungkapnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//