Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (62): Semua Bungkus Makanan dari Daun
Di kampung, bukan plastik yang digunakan sebagai pembungkus. Daun waru jadi pembungkus terasi, sementara daun pisang membungkus segala jenis makanan.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
15 Juni 2022
BandungBergerak.id - Kami tak mengenal nama aslinya. Setelah peristiwa yang mencekam di kampung kami, nama-nama pemilik toko di dekat Alun-alun Pameungpeuk, Garut berubah. Pemilik toko paling timur namanya berganti menjadi Ugin, yang tengah namanya menjadi Ayung, dan yang paling barat namanya menjadi Otong.
Anak-anak paling akrab dengan Si Otong, begitu kami menyebutnya dalam obrolan, tapi tak berani menyebut nama orang memakai kata si saat belanja, karena itu paling tidak sopan. Para pembeli dari Bojong, menyebutnya Néng atau Enéng, baik kepada Si Otong maupun kepada istrinya.
Di toko Si Otong, segala ada. Mulai dari terasi, garam, gula, ikan asin, kenur, tali plastik untuk pancing, minyak tanah, karbit, paku, lempengan timah, kail pancing, hingga biskuit. Pokoknya segala kebutuhan warga di sini tersedia.
Di deretan paling depan dari toko Si Otong, terdapat satu peti terasi merah dan beberapa ikan asing beragam jenis. Alat penyolek terasinya dibuat dari tulang rusuk kerbau yang melengkung. Terasi ditimbang, kemudian dibungkus dengan daun waru, yang tersusun rapi.
Selang beberapa hari, ada yang datang menjual daun waru. Ada beberapa tumpukan daun waru, tingginya sampai 60 sentimeter. Segala belanjaan, seperti terasi, ikan asin, dibungkus dengan daun waru.
Daun waru juga dipakai untuk membungkus peuyeum sampeu, tape singkong. Setelah diolah matang dan diberi ragi, bakal tape singkong itu dibungkus dengan daun waru, lalu disusun dalam keranjang yang besar. Setelah satu hari, tape singkong dijual di pasar atau diedarkan ke warung-warung. Esok harinya, tape singkong itu akan matang, dan daun warunya sedikit mengeras karena mengering.
Selain daun waru, yang paling banyak dipakai menjadi pembungkus adalah daun pisang. Daun pisang yang paling bagus untuk pembungkus, kata Ema, adalah daun cau manggala, yang buah pisangnya berbiji. Ketika sangat muda, pisang jenis ini biasa dipakai menjadi campuran bumbu petis atau rujak uleg. Daun pisangnya lebar dan lebih elastis, sehingga tidak mudah robek.
Di pasar ada yang menjual daun pisang. Daunnya dilipat-lipat. Daun yang robek terkena tiupan angin, atau rusak saat dibersihkan, akan disimpan di lipatan paling dalam. Daun pisang itu dijual per satu lipatan, yang di kampung kami disebut sakompet, satu kompet. Satu lipatan umumnya terdiri dari dua helai daun pisang.
Hampir semua makanan dikemas, dibungkus menggunakan daun pisang. Ketika ada yang akan bepergian jauh, kami akan membuat uras, leupeut, dengan pasangannya gorengan atau rempeyek kacang tanah atau rempeyek teri. Bila ada nasi yang turut dibawa, bungkusnya berupa daun pisang yang sudah dileumpeuh.
Daun pisang didiangkan ke panas api di tungku, lalu nasi disimpan di daun yang sudah disiapkan berlapis dengan arah daun yang berlawanan, lalu digulung membentuk selinder. Kedua ujung daunnya akan diputarkan, lalu ditekan ke bagian dalam sampai ujung nasi sedikit cekung.
Nasi yang dibungkus selinder ini disebut nasi timbel. Nasi timbel akan tahan selama sehari, tetap halus dan pulen. Teman nasi yang awet dan enak adalah dendeng ikan mujair yang terasa asin, manis, asam, dan wangi ketumbar.
Daun pisang dipakai oleh para penjual kupat tahu, penjual bubur lemu, dan penjual makanan kecil lainnya. Hampir semua penjual makanan memakai daun pisan untuk membungkusnya.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (61): Kegembiraan Bermain di Dahan Pohon
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (60): Rujak dan Petis di Pameungpeuk, Ada yang Berbahan Mengkudu dan Kulit Kayu
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (59): Ada Kata-kata yang Hanya Dimengerti oleh Orang Pameungpeuk, Ada Kata-kata yang Berbeda Makna
Tali Bambu
Tali bambu yang sudah dibuat tipis dan halus selebar 0,5 sentimeter dengan panjang 30 sentimeter, banyak digunakan untuk mengikat makanan yang dijualnya. Atau biasa juga digunakan untuk niir, untuk menusuk kerupuk aci menjadi terangkai panjang.
Di warung, kerupuk itu dijual dalam blek, yang bagian depannya memakai kaca, sehingga kerupuk warna putih itu terlihat dari luar dan kerupuknya tidak cepat melempem. Para pembeli akan membuka penutupnya yang menyerupai kubah, lalu memilih kerupuk yang dibelinya. Namun bambu itu bagian bawahnya diikatkan, sehingga kerupuk yang sudah ditusuk di tengah-tengahnya tidak akan lepas. Jarak dari warung ke rumah sangat dekat, paling juga sekitar 75 meter, jadi kerupuk masih tetap rangu, tidak melempem.
Tali bambu juga digunakan juga oleh penjual jambu aer, jambu berwarna merah dengan bentuk yang memanjang. Seperti biasa, satu ujung tali diikatkan agar jambu yang sudah dirangkaikan tidak lepas. Tali bambu itu ditusukkan dari bagian bawah jambu hingga bagian atas dekat tangkainya. Setiap rangkaian ada sepuluh jambu aer. Penjualnya terus membuat rangkaian jambu aer, lalu digantungkan di bambu yang menjadi alat pemikul.
Kami memanfaatkan juga bilah bambu seukuran telunjuk anak-anak. Bambu itu dibelah lagi menjadi empat, tapi bagian atasnya tetap utuh, tidak ikut dipecah menjadi empat bagian. Keempat ujung bambu itu diruncingkan, lalu ditusukan ke tebu yang kulitnya sudah dikupas bersih dan dipotong-potong dengan ukuran 5 sentimeter.
Membawa ikan hasil tangkapan atau belut hasil ngurek di sawah, dilakukan dengan cara diitir. Tali bambu ditusukkan melalui insang ke luar dari mututnya. Ikan tersusun sampai atas bila ikan yang ditiir-nya banyak.
Lain lagi cara membawa ikan besar, yang kami sebut bibit, dengan ukurannya sebesar betis orang dewasa dan panjangnya bisa sampai 40 sentimeter. Kami membungkus ikan tersebut dengan gebog cau, lembaran-lembaran dari batang pisang. Panjangnya disesuaikan dengan panjang ikan, lalu di lipatan di kepalanya diberi lubang kecil agar tali bambu dapat ke luar dari sana, sebagai penjinjingnya. Agar tidak terbuka, diikat bagian atas dan bawahnya dengan tali bambu.
Pada saat belanja, Ema membawa kantong yang dibuat dari kain bermotif bunga-bunga. Abah pandai menjahit, sehingga secara periodic ia mengganti kain kantungnya. Penjinjingnya dua bulatan alumunium sebesar kelingking orang dewasa, diameternya 15 sentimeter.
Sesungguhnya kantunnya itu persegi panjang. Lebarnya 35 sentimeter, tingginya 40 sentimeter. Namun, karena bagian atasnya dimasukkan ke dalam alumunium berbentuk lingkaran, bentuk kantung itu lebih menyempit di bagian atas. Ke dalam kantong itulah semua belanjaan dibawa.