RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (26): Kompleks Cikaso Baru
Warga Kampung Cikaso menolak rencana pemerintah Kota Bandung membangun perumahan di sekitarnya. Pembangunan ini akan memakan lapangan sepak bola.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
20 Juni 2022
BandungBergerak.id - Pada “Daptar Nama Djalan (Petundjuk Peta Bandung)” yang dimuat dalam Pedoman Kota Besar Bandung (1956: 278) saya mendapati “Nama-nama Djalan Baru” yang ada di Kota Bandung.
Nama-nama jalan baru tersebut terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama “Di Tjikaso (Sekitar Djl. Supratman/Djl. Raya Timur)”, kedua “Di Tjipaganti (Sekitar Djl. Eykman/Djl. Tjipaganti)”, dan ketiga “Sekitar Lapang Lodaja (Djl. Buahbatu/Djl. Wajang)”. Karena di sekitar Jalan Cipaganti dan Jalan Buahbatu sudah saya tuliskan sebelumnya, dalam tulisan kali ini saya akan memusatkan perhatian pada nama jalan-jalan baru yang ada di sekitar Cikaso atau Jalan Supratman.
Selengkapnya di sekitar Cikaso ada 13 nama jalan baru, yaitu Djalan Tjidjoho, Djalan Tjihandjuang, Djalan Tjimandjah, Djalan Tjimendong, Djalan Tjipandan, Djalan Tjisadea, Djalan Tjisaga, Djalan Tjisadane, Djalan Tjisebe, Djalan Tjisokan, Djalan Tjitamiang, Djalan Tjitjariang, dan Djalan Tjiwaregu.
Yang menjadi sumber rasa ingin tahu saya sudah barang tentu adalah waktu pertama kali digunakannya nama-nama jalan baru tersebut. Karena meskipun dalam buku Pedoman Kota Besar Bandung dikatakan baru, tetapi seperti halnya nama-nama jalan baru di sekitar Cipaganti dan Buahbatu yang sudah digunakan pada tahun 1953, maka saya kira penggunaan nama-nama jalan di sekitar Cikaso itu juga kayaknya tidak akan berjauhan waktu penggunaannya.
Apa memang demikian? Saya antara lain berlandaskan pada keterangan dalam AID de Preanger-bode edisi 28 Januari 1952, yang antara lain menyatakan pemerintah Kota Bandung sudah mengganggarkan sepuluh juta rupiah untuk membangun perumahan di sekitar Jalan Cipaganti, Karees, Cisitu, Pamoyanan, Muararajeun dan lain-lain. Bahkan, konon selama tahun 1951, Djawatan Gedung-gedung telah membangun 15 rumah di Muararajeun.
Muararajeun sebagaimana kita tahu berada di dekat sekitar Cikaso. Tetapi untuk lebih memastikannya, termasuk kapan mulai digunakannya Jalan Supratman, saya akan menelusuri rekaman koran-koran berbahasa Belanda, terutama dari AID.
Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (23): Pengakuan Kedaulatan dan Perubahan Nama Jalan di Bandung
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (24): Setyabudhi, Lembong, Petunjuk Kota Bandung
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (25): Kompleks Dangdeur dan Kompleks Cipaganti
Plan Cikaso
Dari frekuensi pemberitaan dalam AID, pembangunan rumah di sekitar Jalan Cikaso banyak mengemuka pada tahun 1953. Dari berita-berita yang terkumpul saya mendapatkan istilah Plan Cikaso.
Namun, yang pertama sekaligus menarik perhatian saya adalah berita penolakan warga Kampung Cikaso atas rencana pemerintah Kota Bandung untuk membangun perumahan di sekitarnya. Sebabnya adalah pembangunan tersebut akan memakan lapangan sepak bola di kampung mereka. Berita tersebut mengemuka dalam AID edisi 23 Januari 1953, dengan tajuk “Kampong Tjikaso protesteert” (Kampung Cikaso memprotes) dan “Geen huizen op ons voetbalveld” (Tidak boleh ada perumahan di atas lapangan sepak bola kami).
Dalam berita dikabarkan warga Kampung Cikaso membentuk kepanitiaan demi mencegah lapangan sepak bola, yang dinilai sangat penting bagi warga untuk berolahraga, agar tidak dibangun menjadi perumahan. Panitia itu bahkan sudah melayangkan resolusi kepada wali kota, dewan kota, KMKB Bandung, dan pihak berwenang setempat. Resolusinya ditandatangani D. Harun atas nama dewan kampung dan lebih dari 20 rukun tetangga. Lapangan sepak bolanya ada di Jalan Ciujung.
Tujuh bulan kemudian, penolakan terhadap perwujudan Plan Cikaso masih berlangsung. Ini berdasarkan pemberitaan koran AID edisi 15 Agustus 1953. Di situ dikatakan berdasarkan Plan Cikaso, akan dibangun 40 rumah berharga murah oleh pemerintah Kota Bandung. Namun, kesulitan besar segera menyusul untuk mewujudkannya karena sejumlah kelompok melakukan protes (“Volgens het plan Tjikaso zouden den door de gemeente veertig goedkope volkswoningen worden gebouwd. Er onstond echter weldra een grote moelijkheid bij de uitvoering omdat bepaalde groepen met een protest tevoorschijn kwamen”).
Di samping itu, seiring berjalannya pembangunan, dewan kota tetap memperbincangkan dan mempertimbangkan penamaan sejumlah jalan di Kota Bandung. Dalam AID (2 November 1953), dikabarkan dewan Kota Bandung menyelenggarakan rapat pleno pada Sabtu, 31 Oktober 1953. Dalam rapat tersebut diputuskan untuk mengganti nama Djalan Tjiudjung menjadi Djalan Supratman, dalam rangka memperingati Wage Rudolf Supratman, komponis lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan pada hari tersebut adalah ulang tahun ke-25 lagu Indonesia Raya.
Hasil rapat lainnya usulan Th. W. Korompis untuk mengganti kata “djalan” menjadi “djalan raya” pada Djalan Supratman dan Djalan Diponegoro ditolak. Korompis juga mengusulkan untuk menambahkan kata “Letnan Kolonel” pada Djalan Lembong. Usulan tersebut juga ditolak oleh Wali Kota Bandung R.H. Moh. Enoch yang mengatakan bahwa Djalan Lembang seluruhnya sudah diganti menjadi Djalan Dr. Setyabudhi. Enoch sebaliknya mengusulkan untuk mengganti Gang Nangka menjadi Djalan Siti Maria dan dewan menerima usulan tersebut.
Yang menarik dalam rapat pleno itu juga dibicarakan usulan untuk mengabadikan kelahiran anak kembar empat (Vierling) di Kota Bandung. Dalam koran disebutkan dalam kerangka menghormati kelahiran bayi kembar empat, ada usulan yang dilayangkan oleh dewan eksekutif untuk taman di sekitar Djalan Pamojanan agar diberi nama “Taman Anak Kembar”. Korompis menyatakan masukan bahwa kata “anak kembar” sebenarnya sudah bermakna kembar, sehingga yang diusulkannya adalah kata “anak kembar empat”. Dengan demikian, akhirnya disepakati untuk menggunakan “Taman Anak Kembar Empat”.
Pada akhir minggu pertama Desember 1953, AID kembali melaporkan kemajuan pembangunan di Kota Bandung. Sepanjang yang berkaitan dengan pembangunan perumahan di sekitar Plan Cikaso, dalam berita tanggal 7 Desember 1953 itu disebutkan pemerintah kota berencana untuk membangun sekitar 30 rumah kecil, masing-masing seharga 8.000 rupiah, di Cikaso. Rumah tersebut dimaksudkan untuk para sopir, yang dapat membelinya dengan cara mencicil (“Deze huisjes zullen bestemd zijn voor chauffeurs, die eveneens in termijnen de woningen kunnen kopen”).
Cikaso Baru
Memasuki tahun 1954, dewan Kota Bandung kembali mendiskusikan nama-nama jalan. AID edisi 2 April 1954 melaporkan ihwal anggota dewan Th.W. Korompis, W. Suwarsa Satjawisastra dan Wiranta yang mengusulkan agar Djalan Bungsu, termasuk jalan baru yang menghubungkan Djalan Bungsu dengan Djalan Raya Timur, diberi nama baru Djalan Dr. Ratulangi. Dengan alasan, Dr. Ratulangi adalah mantan anggota dewan Kota Bandung dan tokoh terkemuka dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Anggota dewan lainnya, yaitu N. Sjamsulbahri, R. Ernawan dan Ido Garnida mengusulkan agar Djalan Dago diganti menjadi Djalan Oto Iskandardinata. Kemudian E. Sasmita, H. Ojo Dachlan dan Nogi Amir Hakim menyodorkan keinginan agar Djalan Dago diubah menjadi Djalan Tjokroaminoto, dan Djalan Oto Iskandardinata menggantikan Djalan Tjipaganti. Sementara Ido Garnida, K.M. Shaleh Abdurrachman, Ko Kwat Oen, Wiranta dan Ernawan, maunya Djalan Bandjaran diganti dengan Djalan Toha, yang merujuk kepada almarhum Moh. Toha, pahlawan pada masa revolusi Indonesia.
Tiga bulan kemudian, dalam konferensi yang diselenggarakan di Bandung, Pagujuban Nonoman Sunda mengajukan usulan kepada dewan Kota Bandung untuk mengubah sejumlah nama jalan yang tidak mencerminkan semangat, karakter dan sejarah Bandung (AID, 6 Juli 1954).
Lalu, sejak kapan nama jalan baru di sekitar Cikaso mulai digunakan? Dari pengumuman “Nama-Nama dari Pemenang-Pemenang Saiembara Lalu-Lintas 1954” (dalam AID edisi 20 Desember 1954) saya jadi tahu mulai digunakannya istilah atau nama Djalan Cikaso Baru. Dalam konteks pengumuman itu, ada Rd. Soedra yang beralamat di Djl. Tjikaso Baru V/5 Z3.
Sementara penggunaan nama Djalan Tjitamiang baru saya dapatkan dari pengumuman Wali Kota Bandung Moh. Enoch yang melarang kepada para pedagang kaki lima yang berdagang di “pinggir2 djalan, diatas trottoir 2 dan/atau pada tempat2 lain jang terlarang” (AID, 31 Maret 1955). Di antaranya pedagang kaki lima yang dilarang itu adalah yang berjualan di Djalan Puyuh yang harus pindah ke Djalan Cikaso (Djalan Tjitamiang). Demikian pula yang berjualan di Djalan Raja Timur (Djelekong) harus pindah ke Djalan Tjitamiang.
Kemudian untuk Djalan Tjiwaregu saya temukan pada iklan yang dipasang oleh E. Soetardi yang beralamat di Djl. Tjiwaregu 19 – Tjikasobaru Bandung (AID, 24 November 1955). Ditambah iklan lain tentang Djalan Tjitamiang pada AID edisi 12 Desember 1955. Di situ termaktub iklan yang berjualan onderdil mobil dengan menggunakan alamat “Djl. Tjitamiang 9J (Tjikaso-Baru)”.
Dengan demikian, saya pikir dapat disimpulkan bahwa nama umum untuk kompleks perumahan baru di sekitar Cikaso, saat itu diberi nama Cikaso Baru, bahkan sejak 1954 namanya digunakan sebagai nama-nama jalan baru. Namun, agaknya pada tahun 1955 nama Djalan Cikaso yang menggunakan tambahan bilangan Romawi digantikan dengan nama-nama baru sungai-sungai kecil sebagaimana daftarnya dimasukkan dalam buku Pedoman Kota Besar Bandung (1956).