• Opini
  • Penyelesaian Hak Anak yang Ditelantarkan Orang Tua Pascaperceraian

Penyelesaian Hak Anak yang Ditelantarkan Orang Tua Pascaperceraian

Setiap anak baik yang masih berada dalam sebuah rumah tangga maupun yang tidak, tetap mendapat hak yang sama. Mereka tetap harus mendapat kasih sayang.

Shakila Felicia

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Warga mengurus berbagai perkara di Pengadilan Agama Bandung, Jawa Barat, termasuk gugatan cerai, Rabu (19/5/2021). Tren gugatan cerai meningkat saat masuki masa pandemi Covid-19 dengan faktor penyebab paling tinggi berupa perselisihan dan pertengkaran. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

28 Juni 2022


BandungBergerak.id Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahagia dan kekal ini rupanya tidak selalu berlaku bagi seluruh keluarga. Banyak pasangan yang memilih untuk berpisah. Tidak semua pasangan berujung perceraian, namun tidak sedikit juga kasus perceraian yang sudah terjadi di Indonesia.

Perceraian dapat terjadi karena tidak adanya jalan keluar dari masalah-masalah keluarga yang bermacam-macam. Sehingga salah satu atau kedua pihak mengupayakan melepas ikatan suami istri dengan beragam alasan, mulai dari masalah finansial, kekerasan rumah tangga, ketidakcocokan, bahkan kehadiran pihak ketiga, dan masih banyak lagi [Nibras, Shinta, et al. Cerai Gugat: Telaah Penyebab Perceraian Pada Keluarga di Indonesia (Jakarta Timur: Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora, Vol.6 No.1, 2021, hlm 12].

Perceraian merupakan pemutusan ikatan perkawinan dengan pihak yang masih hidup. Dalam hukum negara ini dikenal cerai talak yang dilakukan oleh pihak laki-laki beragama Islam dan cerai gugat. Di Indonesia, cerai gugat bisa diajukan baik dari pihak perempuan yang beragama Islam dan yang bukan beragama Islam, dan pihak laki-laki di luar agama Islam.

Akibat dari perceraian adalah tidak adanya lagi hubungan hukum sebagai suami dan istri sejak pendaftaraan perceraian terdaftar dalam pencatatan kantor oleh pegawai pencatat, dikecualikan bagi orang yang memeluk agama Islam dianggap terjadi perceraian saat jatuhnya putusan pengadilan.

Perceraian tidak memutuskan hubungan anak dengan orang tuanya dan kewajibannya sebagai orang tua. Hal tersebut diatur dalam Pasal 34 ayat (2) PP No.9/1975. Kebutuhan anak untuk tetap mendapat kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya tidak akan hilang. Orang tua diwajibkan untuk mendidik bahkan mengurus anak-anak mereka sebaik mungkin.

Bahkan dalam Pasal 47 Undang-Undang No.1/1974 ditegaskan anak di bawah umur 18 tahun atau belum menikah akan selalu di bawah penguasaan orang tuanya kecuali dicabut kekuasaannya oleh putusan hakim. Tetap saja, meskipun sudah ada hukum yang mengatur mengenai hal tersebut masih ada orang tua pascaperceraian yang tidak melakukan kewajibannya sebagaimana harusnya. Anak dibiarkan telantar begitu saja terkena dampak negatif dari perceraian kedua orang tuanya.

Penyelesaian dari kasus per kasus mengenai penelantaran anak biasanya diadili dengan dasar Pasal 77 huruf b Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 yang di dalamnya mengatur seseorang yang dengan sadar menelantarkan anak hingga sang anak merasakan sakit baik secara fisik dan psikis dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.

Hal itu terlihat dari salah satu Putusan Hakim No.447/PID.Sus/2014/PN.Bil di mana salah satu kasus penelantaran anak oleh Ahmad Soleh bin Sariyali dinyatakan bersalah dengan pidana penjara selama 6 bulan. Yang tergugat Ahmad ini semenjak perceraian tidak memenuhi kewajibannya sebagai ayah dari sang anak [Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bangil (2014)]. 

Yang bersangkutan juga diharuskan membayar denda kepada penggugat beirisi nafkah Madliyah, Nafkah Iddah, Mut’ah dan Nafkah 1 orang anak. Untuk pembayaran denda kepada penggugat terdapat perbedaan pada masing-masing kasusnya. Setiap kasus memiliki masalah yang berbeda-beda. Sehingga sulit untuk mendapat jawaban yang pasti mengenai putusan hakim pada setiap kasus penelantaran anak pasca perceraian. Orang yang berhak melakukan penuntutan ialah pihak ibu/ayah sang anak, saksi, maupun anak itu sendiri.

Baca Juga: Data Kasus Kekerasan terhadap Anak Perempuan di Indonesia pada Ranah Keluarga 2004-2020, Anjlok di Tahun Pandemi Akibat Kurangnya Laporan
Selama Pagebluk, Layanan Pengaduan Nonpemerintah terkait Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Lebih Siap Diakses
Data Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2008-2020, Melonjak di Tahun Pandemi

Kasus di Pengadilan

Contoh kasus perceraian dan anak ini dimuat dalam berita bertajuk ‘Diduga Telantarkan Anak Sejak Cerai, Ayah di Salatiga Digugat Rp 6,7 miliar oleh 2 Anaknya’ [Rachamawati. (2021). Kompas.com, 19 Desember 2021)]. Kasus ini merupakan kasus penggugatan yang dilakukan oleh kedua anak asal Salatiga kepada ayahnya sendiri karena melalaikan kewajibannya. Kedua anak ini mengatakan memutuskan untuk putus sekolah karena kelalaian sang ayah memberikan biaya hidup.

Gugatan mereka terdaftar dengan nomor 102/Pdt.G/2021/PN/Slt. Menurut kuasa hukum sang ayah, Mohammad Sofyan berkata bahwa kedua anak ini mengajukan tuntuan secara materiil 1,725 miliar Rupiah dan immaterial 5 miliar Rupiah ditotalkan menjadi 6,7 miliar Rupiah.

Meskipun begitu sang ayah membantah dan berkata bahwa segala yang diungkapkan oleh kedua anaknya merupakan rekayasa belaka. Sang ayah membeberkan segala bantahan dari segala ungkapan yang disebutkan kedua anaknya. Mulai dari sang ayah yang tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai pemberi biaya hidup kedua anaknya hingga pemenuhan sang ayah akan permintaan-permintaan dari sang anak.

Hal tersebut bila masuk ke pengadilan tentu harus diperiksa bukti-bukti disertai dengan saksi-saksi yang bisa menjadi dasar hukuman dan peniadaan hukuman bagi tergugat. Barulah setelah ditinjau satu per satu, hakim bisa memberikan putusan.

Selain diselesaikan melewati pengadilan, kedua belah pihak menginginkan komitmen secara kekeluargaan dalam penyelesainnya sehingga dilakukan juga mediasi. Proses mediasi disaksikan oleh Hakim Mediator PN Salatiga Anggi Maha Cakhri SH [Erik. (2021). “Ayah di Salatiga Digugat Rp.6,7 Miliar oleh 2 Anaknya : Diduga Telantarkan Anak Sejak Cerai” Tribunnews.com, 18 Desember 2021]. Berarti dalam dunia praktek atau kenyataannya, tidak selalu masalah penyelesaian mengenai hak anak ini diselesaikan melalui media pengadilan. Mediasi juga dapat dilakukan.

Perceraian Seharusnya Tidak Mengorbankan Anak

Bila ditarik secara garis besar, setiap anak baik yang masih berada dalam sebuah rumah tangga maupun yang tidak akan tetap mendapat hak yang sama. Mereka tetap harus mendapat kasih sayang yang sama beserta dengan segala hal yang dibutuhkan anak. Mereka berhak diperlakukan secara manusiawi sebagaimana diharuskan.

Semua anak mengingkan kedua orang tuanya akur dan harmonis. Namun bukan tidak mungkin sebuah perkawinan akan berujung perpisahan. Tidak ada satu anak pun yang berharap keadaan berubah setelah pisahnya kedua orang tua. Mereka tetap ingin mendapat perhatian dan tetap menghabiskan waktu dengan kedua orang tuanya.

Namun akibat dari perceraian tersebut sang anak bisa tetap dalam penguasaan kedua orang tuanya secara bergantian hari sesuai kesepakatan bersama atau hanya dalam penguasaan salah satu dari orang tuanya. Mengenai hak penguasaan anak seperti itulah, hakim akan memberi putusan. Setelah pemberian hak asuh tersebut, tidak semua orang tua melakukan kewajibannya dengan baik bahkan banyak di antaranya melalaikan hal tersebut hingga membuat sang anak menderita entah secara fisik atau psikis.

Maka dari itu, penuntutan dapat dilakukan. Dengan begitu hakim akan memberi putusan entah berupa pidana penjara ataupun hanya sekadar biaya denda tergantung setiap kasusnya. Kasus tersebut bisa diselesaikan juga secara mediasi yaitu mencari jalan tengah terbaik untuk kedua belah pihak. Proses mediasi tersebut pastinya tetap mendapat pengawasan dari pihak tertentu.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//