Selama Pagebluk, Layanan Pengaduan Nonpemerintah terkait Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Lebih Siap Diakses
Selama pagebluk Covid-19, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) paling menonjol terjadi di masyarakat.
Penulis Iman Herdiana28 Maret 2022
BandungBergerak.id - Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat selama pagebluk Covid-19, lembaha nonpemerintah yang menangani layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan lebih banyak diakses masyarakat ketimbang layanan yang diselenggarakan pemerintah.
Menurut Komnas Perempuan, hal itu menunjukkan bahwa lembaga layanan nonpemerintah atau lembaga layanan dari masyarakat sipil pada masa pandemi ini lebih bisa menyesuaikan diri menghadapi perubahan sistem layanan yang ada, serta memiliki fleksibilitas waktu dalam pelayanan.
“Sebagai contoh di masa pandemik, pengadilan agama membatasi layanannya, serta membatasi proses persidangan,” kata Komnas Perempuan, dikutip dari laporan Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020, Senin (28/3/2022).
Dalam laporan bertajuk “Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekersan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19” itu, Komnas Perempuan membeberkan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus.
Data tersebut dihimpun dari 3 sumber yakni, Dari PN/Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus; dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus; dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) – unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan langsung korban – sebanyak 2.389 kasus, dengan catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus di antaranya adalah kasus tidak berbasis gender atau memberikan informasi.
Komnas Perempuan mengungkap jumlah kasus pada tahun 2020 turun sebesar 31 persen. Turunnya jumlah kasus tidak dapat dikatakan sebagai berkurangnya kasus kekerasan terhadap perempuan. Sejalan dengan hasil survei Komnas Perempuan tentang dinamika kekerasan terhadap perempuan di masa pandemik, penurunan jumlah kasus dikarenakan korban tidak berani melapor karena dekat dengan pelaku selama masa pandemi (PSBB).
“Korban cenderung mengadu pada keluarga atau diam; persoalan literasi teknologi; dan model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi (belum beradaptasi merubah pengaduan menjadi online),” terangnya.
KDRT Kasus Paling Menonjol
Dari 8.234 kasus yang dihimpun Komnas Perempuan dari lembaga layanan, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di ranah pribadi atau privat, yaitu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan relasi personal, yaitu sebanyak 79 persen (6.480 kasus). Di antaranya terdapat kekerasan terhadap istri menempati peringkat pertama 3.221 kasus (49 persen), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20 persen) yang menempati posisi kedua.
Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (14 peresn), sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
“Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya,” kata Komnas Perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan berikutnya adalah di ranah komunitas/publik sebesar 21 oerseb (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55 persen) yang terdiri dari dari pencabulan (166 kasus), perkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181 kasus), persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan dan kekerasan seksual lain.
Berikutnya kekerasan terhadap perempuan di ranah dengan pelaku negara, kasus-kasus yang dilaporkan sejumlah 23 kasus (0.1 persen). Data berasal dari LSM sebanyak 20 kasus, WCC 2 kasus dan 1 kasus dari UPPA (unit di kepolisian). Kekerasan di ranah negara antara lain adalah kasus perempuan berhadapan dengan hukum (6 kasus), kasus kekerasan terkait penggusuran 2 kasus, kasus kebijakan diskriminatif 2 kasus, kasus dalam konteks tahanan dan serupa tahanan 10 kasus serta 1 kasus dengan pelaku pejabat publik.
Baca Juga: Perjuangan Panjang Menghapus Tabu Kejahatan Seksual di Kampus
Raibnya Bunga-bunga Patrakomala di Stilasi Bandung Lautan Api
Arsip sebagai Medium Pergerakan
Pola Baru yang Cukup Ekstrem
Komnas Perempuan menggambarkan beragam spektrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2020 dan terdapat kasus-kasus tertinggi dalam pola baru yang cukup ekstrem, di antaranya, meningkatnya angka dispensasi pernikahan (perkawinan anak) sebesar 3 kali lipat yang tidak terpengaruh oleh situasi pandemi, yaitu dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik sebesar 64.211 kasus di tahun 2020.
Demikian pula angka kasus kekerasan berbasis gender siber (ruang online/daring) atau disingkat KBGS yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan yiatu dari 241 kasus pada tahun 2019 naik menjadi 940 kasus di tahun 2020.
Hal yang sama dari laporan lembaga layanan, pada tahun 2019 terdapat 126 kasus, di tahun 2020 naik menjadi 510 kasus. Meningkatnya angka kasus kekerasan berbasis gender di ruang online/daring (KBGO) sepatutnya menjadi perhatian serius semua pihak.
Namun Komnas Perempuan juga mencatat ada hal yang berbeda dengan kasus inses. Meskipun jauh menurun di tahun 2020 yaitu sebesar 215 kasus, (tahun lalu 822 kasus), tetap perlu menjadi perhatian besar karena secara berturut-turut muncul sejak tahun 2016. Sebelumnya, Komnas Perempuan menyatkaan tidak ada catatan untuk kasus inses ini.
“Perhatian tersebut diperlukan melihat pelaku inses terbesar adalah ayah kandung sebesar 165 orang,” katanya.
Kasus inses adalah kekerasan seksual yang berat, di mana korban akan mengalami ketidakberdayaan karena harus berhadapan dengan ayah atau keluarga sendiri, kekhawatiran menyebabkan perpecahan perkawinan/konflik, sehingga umumnya baru diketahui setelah inses berlangsung lama atau terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki. Kerentanan perempuan menjadi korban inses, akan semakin berlapis ketika mereka berusia anak atau penyandang disabilitas yang memiliki hambatan untuk mengkomunikasikan apa yang telah terjadi terhadapnya.
Demikian pula dengan marital rape sebesar 57 kasus yang menurun dibanding tahun lalu yang mencapai 100 kasus. Kondisi ini boleh jadi disebabkan oleh pandemi Covid-19, di mana korban dalam lingkungan keluarga sulit melaporkan dikarenakan kebijakan pembatasan sosial berskala besar menyebabkan korban dan pelaku sama-sama berada di rumah, dan kesulitan melakukan pengaduan dan mengakses layanan.
Catatan Komnas Perempuan
Dari laporan tersebut, Komnas Perempuan menyampaikan beberapa catatan penting untuk ditindaklanjuti. Pertama, masih banyak yang diselesaikan dengan jalur nonhukum, termasuk oleh lembaga layanan pendampingan hukum.
Kedua, dalam hal sistem rujukan yang diterapkan Komnas Perempuan, permintaan terbanyak dari korban adalah pentingnya bantuan hukum, bantuan psikis, medis dan rumah aman. Ketiga, sumberdaya terendah di lembaga layanan adalah psikolog, dan tenaga medis serta polisi perempuan.
Ketiga, menjadi hal yang sangat penting bagi proses Catatan Tahunan Tentang Kekerasan terhadap penanganan korban, yang ditemukan jumlahnya sangatlah kurang.
Sementara dalam hal fasilitas, paling minim adalah ruang khusus pemeriksaan serta rumah aman. Keduanya sangat dibutuhkan korban yang membutuhkan privasi dan penyelamatan diri dalam proses penanganan korban.
Tahun 2020 meskipun tercatat terjadi penurunan pengaduan korban ke berbagai Lembaga Layanan di masa pandemik dengan sejumlah kendala sistem dan pembatasan sosial, Komnas Perempuan justru menerima kenaikan pengaduan langsung yaitu sebesar 2.389 kasus dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 1.419 kasus. Sehingga dapat dikatakan terdapat peningkatan pengaduan 970 kasus di tahun 2020.