Mengulik Buku Trocoh, Masa Lalu tak Pernah Usang di Pasar Rayat II
Diskusi buku Trocoh yang ditulis Budi Warsito bagian dari rangkaian acara pada Pasar Rayat II yang dilaksanakan di Kantin The Panas Dalam, Jalan Ambon 8A, Bandung.
Penulis Reza Khoerul Iman4 Juli 2022
BandungBergerak.id - Setiap orang pada hakikatnya memiliki memoarnya masing-masing. Kenangan ini tidak hanya melulu soal peristiwa di masa kecil, tapi juga dapat dipantik oleh benda-benda pribadi atau peninggalan yang memiliki kaitan dengan masa lalu. Bisa juga terkait dengan sejumlah tempat di kampung halaman, dan hal-hal lainnya.
Salah satu tempat yang tidak akan habis dikisahkan adalah Kota Bandung yang memiliki banyak tempat-tempat pelesiran di setiap sudut kotanya. Orang akan setuju bahwa banyak tempat di Bandung yang menyimpan kenangan personal di masa lalu.
Selain hal itu, sejumlah pasar antik seperti Astana Anyar, Cilaki, Cihapit, dan lain-lain bagi kalangan tertentu juga menjadi pemantik kenangan itu. Tempat-tempat itu pula yang membuat Budi Warsito menuliskan buku bertajuk Trocoh.
Buku Trocoh membahas beragam hal yang menarik minat penulisnya, seperti film seluloid, serangga, buah-buahan, musik, dan sejumlah kisah lainnya yang mungkin dianggap tidak penting bagi orang lain tetapi amat membekas bagi penulis.
“Buku ini awalnya berasal dari postingan-potingan di blog saya, caption IG, status di FB, atau postingan yang khasnya di warnet. Dulu 20 tahun lalu saya suka menuliskannya di warnet yang ada di Sulanjana. Kemudian ada yang mendorong saya agar tulisan-tulisan yang berceceran di medsos itu supaya dikumpulkan untuk dijadikan buku,” ungkap Budi Warsito, pada diskusi di Kantin The Panas Dalam, Sabtu (07/03/2022) malam.
Budi Warsito memang mengakui selalu menuliskan kisah-kisah unik yang ada sangkut pautnya dengan memoar-memoar di masa lalu. Deni Rachman, pemiliki LawangBuku yang menjadi moderator diskusi, mengenal Budi sebagai sosok yang gemar pelesiran di pasar-pasar barang antik, kemudian ketika menemukan satu benda yang ada sangkut paut dengan dirinya di masa lalu, secara tidak langsung Budi selalu memiliki narasi yang terus menerus mengucur untuk dikisahkan.
Demikianlah buku tersebut diberi tajuk Trocoh yang dalam bahasa Jawa berarti bocor. Budi menjelaskan bahwa memang ketika menuliskan kisah-kisah tersebut ia merasakan seperti tulisannya bocor, terus menetes keluar tidak pernah habis. Ia menyebut postingan paling tertuanya itu pada tahun 2005, sementara yang terbaru ada di tahun 2020.
Meski mencantumkan banyak kisah yang dianggap tidak penting, pemilik kafe dan perpustakaan Kineruku berharap kumpulan dari tulisannya yang berceceran itu setidaknya ada yang bisa diambil manfaatnya atau memberikan dampak kepada orang yang sudah membacanya.
Ia yakin kisah-kisah setiap orang di masa lalu itu tidak pernah usang, selalu ada saja yang bisa diceritakan dan diambil petikannya meskipun rentang usia sudah sangat jauh dengan masa lalu yang diceritakan itu.
“Saya yakin mesti beberapa orang menilai kisah yang tercantum itu tidak penting, pasti bagi beberapa orang lainnya ada yang berguna dan dapat diambil bagi orang lain. Seperti saya yang pernah melihat tulisan seorang teman yang dianggapnya tidak penting, tapi menurut saya itu penting,” ucap Budi Warsito.
Baca Juga: Bernostalgia di Pasar Rakyat The Panas Dalam
Mengenang Seluk Beluk Perbukuan Era 1990 di Pasar Rayat
Lapak Komunitas Pasar Gratis Bandung Dibubarkan Satpol PP
Pasar Rasa yang Tersimpan II
Diskusi buku Trocoh bagian dari rangkaian acara pada Pasar Rayat II yang digelar 1 - 3 Juli 2022, di Kantin The Panas Dalam, Jalan Ambon 8A, Bandung. Secara konsep, Pasar Rayat II tidak jauh berbeda dengan Pasar Rayat I, yaitu menampilkan pameran buku, kaset, dan barang antik lainnya.
Pasar Rayat II juga menjalin kolaborasi dan silaturahmi dengan para pelapak buku, kaset, dan barang antik, serta memantik memoar para pengunjung ketika melihat barang-barang lawasan.
Seperti halnya yang dikatakan Gery, pemilik lapak kaset Post Gery Record, bahwa Pasar Rayat II ini menjadi medium baginya untuk semakin memperbanyak relasi dengan berkolaborasi, memperluas segmen konsumen, dan menjalin silaturahmi dengan para pelapak lainnya. Selain itu ia menilai barang miliknya sudah cukup mewakili untuk memantik momoar para pengunjung.
“Saya senang Pasar Rayat ini dapat menjadi wadah berkumpulnya antarsesama penjual, sesama pembeli, dan sesama pegiat yang memiliki hobi yang sama. Kemudian konsep dari Pasar Rayat itu kan pasar rasa yang tersimpan, di mana barang-barang yang ada di sini itu pasti memantik memoar para pengunjung tentang masa lalu, dan menurut saya kaset sudah sangat mewakili itu,” tutur Gery, kepada BandungBergerak.id
Para pelapak buku pun merasakan hal tidak jauh berbeda dengan para pelapak lainnya. Namun menurut Deni Rachman, konsep Pasar Rayat yang mesti memantik memori antara para pengunjung dan buku, belum sepenuhnya terwakili. Sebab tidak terhitung banyak orang yang memiliki kaitan memoar dengan buku.
“Sebetulnya yang paling mewakili konsep Pasar Rayat di lapak saya itu kartu wartet itu. Waktu pengunjung melihat kartu itu langsung ingat masa lalu, dulu pernah main kartu wartet sama kawan-kawannya. Terus paling kalau buku, yang cukup mewakili itu buku komik anak, karena dulu masih sering beredar buku komik anak. Selebihnya sih, belum,” ucap Deni.
Deni menilai kaitan buku dengan memoar pribadi orang pada masa lalunya masih belum terhitung banyak. Tapi ada juga orang yang memiliki kaitan erat antara satu buku dan memoar masa lalunya, seperti para orang tua yang menanyakan buku Bandoeng Tempo Doeloe karena ingin membaca dan mengingat-ngingat kembali masa remajanya bersama Bandung tempo dulu, atau mantan aktivis yang pada masa perkuliahannya dulu sering membaca buku yang ada di lapakan Deni.
Pegiat literasi yang akrab disapa Deni Lawang tersebut menanggapi positif pada gelaran Pasar Rayat yang kedua ini, karena gelaran yang kedua ini sudah memenuhi beberapa aspek seperti kolaboratif, literasi, dan berkelanjutan. Hal ini diakui koordinator acara Pasar Rayat, Ucup Anfa, karena berkaca pada gelaran sebelumnya masih ada beberapa yang bolong hingga pada gelaran kedua ini ada beberapa tambahan yang berbeda.
“Untuk Pasar Rayat yang kedua ini dari segi segmen acara ditambahkan, Mas. Seperti ada acara diskusi bersama bintang tamu seperti Ojel (Ojel Sansan Yusandi, penulis) atau Budi Warshito, kemudian juga ditambahkan acara musik,” ungkap Ucup.
Harapan para pelapak, Pasar Rayat dapat mempertahankan aspek kontinuitasnya, semakin tersebar luas dan memberi warna baru untuk geliat dunia literasi dan seni di Kota Bandung, setelah Kota Bandung dikoyak habis-habisan oleh pagebluk Covid-19.