• Opini
  • Mengubah Limbah Minyak Goreng dan Cangkang Telur Menjadi Biodiesel

Mengubah Limbah Minyak Goreng dan Cangkang Telur Menjadi Biodiesel

Minyak goreng bekas bisa diolah menjadi biodiesel yang memiliki nilai ekonomi. Pengolahan bisa dilakukan dengan katalis dari cangkang telur.

Steven Valentino

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Pedagang gorengan di Bandung, Rabu (19/2/2022). Limbah minyak goreng atau jelantah bisa diolah kembali menjadi biodiesel. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

28 Juli 2022


BandungBergerak.idLimbah minyak goreng yang disebut jelantah sangat mencemari lingkungan. Jika limbah minyak goreng dibuang ke lautan atau permukaan air, maka limbah akan menumpuk pada permukaan air. Penumpukan jelantah akan menyebabkan oksigen tidak dapat larut dalam air yang akan menganggu kelangsungan hidup makhluk hidup di dalamnya.

Terdapat banyak cara untuk menangani limbah minyak goreng, salah satunya adalah dengan mengubah limbah minyak goreng menjadi produk biodiesel. Limbah minyak goreng merupakan senyawa asam lemak yang memiliki rantai sangat panjang, namun dengan melalui reaksi transesterifikasi dengan methanol, rantai panjang pada senyawa asam lemak akan tergantikan membentuk senyawa mono-alkyl ester yang memiliki viskositas dan titik didih lebih rendah sehingga dapat digunakan sebagai biodiesel.

Pada reaksi transesterifikasi dapat digunakan katalis CaO yang dapat diperoleh dari kalsinasi CaCO3. Senyawa CaCO3 sangat mudah diperoleh karena dapat berasal dari cangkang telur. Sehingga strategi penanganan limbah minyak goreng dengan katalis kalsium oksida mikropartikel merupakan solusi yang tepat.

Metode yang digunakan untuk menangani limbah minyak goreng dengan katalis kalsium oksida mikropartikel adalah dengan mengubah minyak goreng bekas menjadi biodiesel yang memiliki nilai ekonomi. Dengan mengubah minyak goreng bekas menjadi biodiesel yang memiliki nilai jual tentu dampaknya terhadap lingkungan dapat dikurangi dan juga dapat menjadi sumber penghasilan.

Katalis kalsium oksida merupakan salah satu katalis yang biasa digunakan dalam reaksi transesterifikasi minyak goreng bekas. Reaksi transesterifikasi adalah reaksi yang terjadi antara minyak (trigliserida) dan alkohol (Darnoko dan Cheryan, 2000). Untuk mensintesis biodiesel dari minyak goreng bekas dilakukan reaksi antara minyak goreng bekas dan metanol untuk menghasilkan senyawa monoalkyl-ester yang memiliki titik didih dan viskositas lebih rendah sehingga bisa digunakan sebagai bahan bakar dalam kendaraan.

Reaksi transesterifikasi juga menghasilkan produk samping berupa gliserol yang biasa ditemui dalam berbagai produk dalam kehidupan sehari-hari seperti misalnya odol, krim cukur, sabun, dan masih banyak lagi, sehingga gliserol dapat dijual kembali.

Cangkang Telur

Katalis kalsium oksida mikorpartikel merupakan katalis yang paling dalam menangani limbah minyak goring. Sebab, karena katalis ini sangat mudah untuk didapatkan. Katalis kalsium oksida mikropartikel dapat diperoleh dengan cara menghancurkan cangkang telur yang sudah tidak digunakan lagi. Tentu hal ini akan membawa dampak positif bagi lingkungan karena dapat mengurangi limbah minyak goreng dan limbah cangkang telur.

Pada tahun 2016 di Amerika Serikat menghasilkan 5,5 juta ton minyak goreng bekas (Azahar et al., 2016). Pada tahun 2012 produksi telur ayam di Indonesia mencapai angka 1.337.030 ton per tahunnya (Direktorat Jenderal Peternakan,2013). Sekitar 10 persen dari telur merupakan cangkangnya sehingga terdapat sekitar 133.703 ton cangkang telur per tahunnya, di mana 98 persen dari cangkang telur merupakan Calcium Carbonate (CaCO3) yang dapat digunakan untuk menjadi katalis dalam proses sintesis biodiesel dari minyak goreng bekas.

Selain katalis kalsium oksida terdapat juga katalis lainnya yang biasa digunakan misalnya katalis KOH atau NaOH yang harus diperoleh melalui sintesis dengan reaksi kimia yang tentunya memerlukan biaya untuk diperoleh, sehingga menjadikan proses produksi biodiesel memerlukan biaya lebih dan dapat menjadikan harganya lebih mahal.

Biodiesel yang dihasilkan dari minyak goreng dapat membawa berbagai dampak positif bagi lingkungan seperti misalnya dengan menggunakan biodiesel kita mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Penggunaan Biodiesel juga menghasilkan 93 persen lebih banyak energi daripada jumlah bahan bakar fosil yang digunakan untuk proses produksi biodiesel. Penggunaan biodiesel juga mengurangi dampak pada kesehatan manusia dan lingkungan karena mengurangi pelepasan nitrogen, fosfor, dan pestisida.

Biodiesel yang memiliki titik didih lebih rendah daripada bahan bakar fosil yang biasa digunakan juga menyebabkan pembakaran terjadi lebih sempurna dan mengurangi emisi gas karbon monoksida (CO) yang dapat menyebabkan kanker pada manusia.

Dikutip dari antaranews, harga biodiesel di Indonesia juga tergolong cukup tinggi yaitu 15.559,00 rupiah per liternya pada April 2022. Jika dilakukan produksi dalam skala besar tentu saja hal tersebut akan sangat menguntungkan bagi para pelaku usaha karena dapat menghasilkan keuntungan dalam jumlah yang tidak sedikit.

Baca Juga: Berburu Minyak Goreng
Kampus Membicarakan Ketidakberesan Minyak Goreng
Pemanfaatan Minyak Jelantah sebagai Bahan Bakar Alternatif di Indonesia

Kesimpulan: Biodisel dari Jelantah

Katalis kalsium oksida mikropartikel dapat menjadi solusi dalam menangani limbah jelantah. Katalis kalsium oksida mikropartikel dapat diperoleh dengan mudah, yaitu hanya dari limbah cangkang telur. Dengan katalis kalsium oksida mikropartikel limbah minyak goreng dapat diubah menjadi biodiesel yang dapat dijual kembali dengan harga yang cukup tinggi.

Dengan penambahan katalis kalsium oksida mikropartikel pada biodiesel akan terjadi reaksi transesterifikasi di mana minyak goreng bekas yang merupakan asam lemak rantai panjang akan disubstitusi rantai panjangnya menjadi monoalkyl-ester yang memiliki titik didih dan viskositas lebih rendah sehingga sangat cocok digunakan sebagai bahan bakar kendaraan.

Dampak lingkungan yang nyata juga dapat dilihat dengan penggunaan biodiesel seperti dengan titik didih biodiesel yang lebih rendah akan mengakibatkan pembakarannya terjadi secara lebih sempurna menghasilkan gas karbondioksida dan lebih sedikit gas karbon monoksida yang berbahaya bagi kesehatan kita.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//