Panduan Buys ke Bandung
Marius Buys, seorang pendeta Protestan, menjadi salah satu perintis penulisan buku panduan wisata ke Hindia Belanda, terutama Priangan dan Bandung.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
16 Mei 2021
BandungBergerak.id - Kini tiba giliran saya untuk menulis hasil bacaan dan penelusuran terhadap buku dan penulis yang memandu orang agar berwisata ke Priangan umumnya, dan ke Bandung khususnya. Buku yang akan dibincangkan itu bertajuk Batavia, Buitenzorg en de Preanger: Gids voor Bezoekers en Toeristen (1891) karya Marius Buys (1837-1906).
Jadi mari kita membaca terlebih dulu buku tersebut, sebelum nanti menengok serba sekilas riwayat hidup penulisnya. Dalam pengantarnya, Buys menyatakan bahwa Batavia, Buitenzorg en de Preanger merupakan hasil permintaan penerbit G. Kolff & Co di Batavia untuk menyusun panduan bagi orang asing yang hendak mengunjungi Batavia, Bogor, dan Priangan.
Apa yang digambarkan Buys dalam buku itu merupakan hasil pengamatannya sendiri, yang tentu sekaligus mengandalkan juga ingatannya. Tentang Palabuanratu, Selabintana, dan daerah sekitarnya di Sukabumi, Buys mengandalkan informasi dari buku Java karya Veth, juga Van Rees, dan Perelaer. Kemudian, meski beberapa kali sempat mengunjungi Kebun Raya Bogor, Buys tetap mengandalkan buku yang disusun oleh direktur kebun raya tersebut, Treub.
Khusus mengenai Bandung, Buys menggambarkannya dalam beberapa bab, yaitu “Van Sindanglaja naar Bandong”, “Bandong”, “Kleine Uitstapjes in den Omtrek van Bandong”, “Grootere Tochten in den Omtrek van Bandong”, dan “Van Bandong naar Tjitjalengka en Garoet”. Jadi, ia menggambarkan Bandung dari sebelah barat, kemudian bergerak ke sebelah timur, yakni dari Cianjur hingga mencapai Garut.
Dalam “Van Sindanglaja naar Bandong” antara lain Buys menulis bahwa “Berangkat pada pukul lima pagi, bisa dikatakan mudah untuk mendapatkan kereta yang pergi dari Cianjur ke Bandung selama 6 jam 50 menit atau sekitar waktu tersebut. Kebanyakan para pelancong bagaimana pun lebih suka melanjutkan perjalanan mereka ke Bandung dengan mengendarai kereta api pada pukul setengah satu.” Sepanjang perjalanan ke Bandung, pelancong akan melihat pemandangan sekitar Selajambe, Ciranjang, Cisokan, Cipeuyeum, Cipatat, Gunung Masigit, Cipadalarang, serta dapat mengunjungi pusat artileri di Batujajar.
Dalam “Bandong”, Buys memberi gambaran mengenai penginapan, iklim, Societeit Concordia, Vereeniging Braga, alun-alun, masigit, pendopo, tari bedaya, kantor pos, kaca-kaca, klenteng, Pasar Baru, rumah residen, Cicendo, pemakaman orang Eropa, Cikapundung, rumah asisten residen, sekolah, taman-taman, balap kuda di Tegallega, dan Sakola Menak.
Sebagai contoh, mengenai orang-orang yang ada di Bandung waktu itu digambarkan bahwa ibu kota Priangan itu dihuni 20 ribu pribumi, sejumlah orang Tionghoa, dan lebih dari 400 orang Eropa dan keturunannya. Di sana ada dua hotel bagus, di jalan utama, yakni Homann di samping kantor residen dan Thiem yang berbentuk diagonal di seberangnya. Di Thiem orang harus membayar enam gulden sehari, sementara di Homann bayarannya lima gulden. Bagi yang tidak begitu berduit ada penginapan Phoenix, di dekat Mardika, seharga satu gulden sehari.
Mengenai Concordia dan Braga disebutkan bahwa keduanya ada di sebelah barat kantor residen. Societeit Concordia berada di samping Hotel Homann. Ke sanalah orang asing akan diperkenalkan. Di seberangnya, pada sudut jalan ke sebelah utara ada bangunan Braga, milik seorang Tionghoa yang dibangun atas dorongan bekas residen dan disewakan kepada perhimpunan tonil, yang juga menggunakan nama yang sama. Perhimpunan itu pada gilirannya menyewakan lagi gedung tersebut kepada asosiasi pertanian Bandung sebagai tempat rapat, kepada jemaat Protestan untuk kebaktian, dan pelbagai pertemuan lainnya.
Pada “Kleine Uitstapjes in den Omtrek van Bandong”, yang dibahas Buys adalah resor Cihampelas (“De badplaats Tjampelas”) yang memiliki tempat pemandian, air terjun kecil (“De kleine Waterval”) yang oleh pribumi disebut Curug Dago di Sungai Cikapundung, dan ekskursi ke Sindanglaya dan Arcamanik di sebelah timur kota: dari sini pengunjung dapat melihat perkebunan kopi, persawahan, belantara, dan pegunungan yang pemandangannya indah.
Di bab “Grootere Tochten in den Omtrek van Bandong”, Buys menyajikan gambaran Curug Halimun di Distrik Rajamandala, Curug Panganten di Cimahi, Lembang dan Tangkuban Parahu, monumen peringatan bagi Junghuhn, dan perkebunan kina milik pemerintah.
Menuju ke arah timur Bandung melalui perjalanan kereta api, dalam “Van Bandong naar Tjitjalengka en Garoet”, Buys menunjukkan bahwa dalam perjalanan kereta ke Cicalengka, para pelancong akan disuguhi tanah subur Bandung timur yang dikelilingi pegunungan. Sesuai namanya, Rancaekek merupakan rawa (ranca) yang sangat luas. Bagi para penyuka perburuan, Rancaekek merupakan tempat yang tepat, karena banyak hewan yang dapat ditembak. Sekali dalam setahun di sana biasanya ada kompetisi menembak burung.
Perintis Buku Panduan Wisata
Agaknya, untuk panduan bagi pelancong yang akan ke Bandung cukup sekian. Sekarang mari kita menyertakan keterangan dari buku karya Achmad Sunjayadi, Pariwisata di Hindia Belanda (1891-1942) (2019). Maksudnya agar kita dapat membaca konteks kelahiran buku Buys. Menurut Achmad, penulisan buku panduan wisata mulai berlangsung di Eropa antara 1891 hingga 1907. Pola penulisannya dipengaruhi karya tulis John Murray III (1808-1892) dan Karl Baedeker (1801-1859). Nah, buku Buys yang dibahas di atas termasuk buku panduan wisata pertama di Hindia Belanda. Setelah Buys, antara lain, ada karya Ludwig Fedor Max Schulze, West Java: Traveller’s Guide for Batavia to Tjilatjap (1894).
Sesuai uraian saya di atas, menurut Achmad, di dalam panduan wisata sejak abad ke-19 tersaji objek-objek yang dikunjungi para pelancong, yang berpautan dengan wilayah, masyarakat, kebiasaan, kebudayaan, sarana transportasi, dan akomodasi. Nah, hingga abad ke-19, Pulau Jawa masih dianggap belum aman dan patut dikunjungi karena belum terjelajahi, sehingga belum tersedia gambaran atau informasinya. Bagi pelancong di Pulau Jawa sejak awal abad ke-19, yang menjadi pintu masuknya adalah Batavia. Dari situ, perjalanan biasanya dilanjutkan ke Bogor dan Priangan. Demikianlah pola buku panduan wisata untuk periode 1891-1907.
Alhasil, dapat dibilang Buys adalah perintis penulisan buku panduan wisata ke Hindia Belanda, Priangan khususnya, bahkan untuk ke Bandung. Namun, sebenarnya siapakah Marius Buys? Pertanyaan tersebut dapat dijawab dari buku-buku dan sumber internet. Saya menemukannya pada Biographisch woordenboek der Noord- en Zuidnederlandsche letterkunde, Tweede deel (1888-1891) susunan F. Jos. van den Branden dan J.G. Frederiks, “Levensbericht van Marius Buys (1 September 1837-2 Juni 1906)” karya E.B. Kielstra (dalam Jaarboek van de Maatschappij der Nederlandse Letterkunde, 1906: 180-185), Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek, Deel 4 (1918: 367) susunan P. C. Molhuysen dan P. J. Blok, mijnstambomen.nl dan geni.com (diakses pada 14 Mei 2021), serta koran-koran berbahasa Belanda.
Baca Juga: Presiden Perhimpunan Braga
Leendert Mendirikan Maison Bogerijen
Juru Lelang George Loheyde
Pendeta Protestan
Dari bahan-bahan di atas, saya dapat meringkaskan sebagai berikut. Marius Buys atau Marius Buijs adalah pendeta Protestan. Ia lahir di Leiden pada 1 September 1837. Ayahnya Pieter Buys (1792-1870), seorang guru, dan ibunya Petronella Catharina Bommesijn (1795-1871). Marius adalah bungsu dari 11 orang anak Pieter dan Petronella. Yang menarik, sebenarnya nama Marius Buys sudah digunakan untuk anak ke-10 mereka, tetapi karena meninggal waktu kecil (1835?1837), nama tersebut diberikan lagi bagi anak bungsunya.
Antara 1855-1860, Buys belajar teologi di Leiden. Setelah lulus ujian, dia diangkat oleh dewan gereja Provinsi Noord-Holland menjadi pendeta pada Agustus 1860. Setahun kemudian dia ditempatkan di Callantsoog. Di sana Buys menikahi Bartha Jacoba Anthonia Van Ewijck (1834-1906) pada 31 Agustus 1861. Buah pernikahannya lima orang anak, yakni Henriette Wilhelmina (1861-1932), Pieter (1864-1917), Theodorus Johannes Cornelius (1865-1928), Johannes Henricus Jacobus (hidup setahun, 1868), dan Cornelis Marius (1870?1882).
Pada 1877, Buys diangkat menjadi pendeta di Hindia Belanda. Mula-mula tempatnya berdinas adalah Padangsche Bovenlanden (1878). Pada akhir 1879, Marius dipindahkan ke Riau, setahun kemudian ke Makassar, dan dari sana ke Cirebon pada 1882. Karena sakit keras, pada 1885, ia mengambil cuti ke Belanda. Pada akhir 1886, ia kembali ke Hindia Belanda. Saat itu dia ditempatkan dalam misi untuk daerah-daerah Westerafdeeling van Borneo (Kalimantan bagian barat), Belitung, Palembang dan Bengkulu. Buys baru dinas di Bandung pada Mei 1887 hingga memutuskan pensiun pada 1890 dan kembali ke negerinya. Namun, sekembali ke Belanda, Buys bekerja lagi sebentar sebagai pendeta, yaitu antara 1891-1892 di Kwadjik dan pada 1897 di Vlijmen. Buys meninggal dunia di Den Haag, pada 2 Juni 1906.
Dari titimangsa di atas, kita jadi tahu bahwa Marius Buys tinggal dan bekerja di Bandung antara Mei 1887 hingga 1890, sekitar tiga tahun. Adakah informasi agak rinci ihwal kehadiran dan aktivitasnya di Bandung? Untung ada peluang untuk membuka-buka koran berbahasa Belanda yang tersedia pada situs Delpher.nl (diakses pada 14 Mei 2021). Dari penelusuran tersebut, lumayan saya dapat menambah rincian informasi tentang Buys di Bandung.
Dari De locomotief (16 Mei 1887), diketahui bahwa M. Buijs yang baru saja kembali dari cuti ke Belanda diangkat menjadi pendeta di Bandung. Di ibu kota Priangan ini, antara lain, ia terlibat sebagai anggota komisi sekolah (De locomotief, 11 Juli 1887). Sebulan kemudian, diberitakan bahwa Buys mendonasikan uang sebesar 38 gulden bagi panti yatim piatu Protestan sebagai hasil pekerjaannya di Belitung dan Borneo (De locomotief, 1 Agustus 1887). Dari Soerabaijasch handelsblad dan De locomotief edisi 8 April 1890, disebut-sebut bahwa Buys secara terhormat berhenti sebagai pendeta di Bandung sejak 5 Mei 1890. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa Buys bekerja di Bandung antara 15 Mei 1887 hingga 5 Mei 1890.
Buku Lainnya
Cukup sekian ya mengenai riwayat Buys. Sekarang kita kembali ke buku panduan wisata yang ditulisnya. Setelah diterbitkan pada 1891 oleh G. Kolff & Co. di Batavia, pemasaran bukunya nampak baru dilakukan pada Maret 1892. Ini nampak dari iklan yang dapat dibaca pada Bataviaasch nieuwsblad (8 Maret 1892). Di situ disebutkan bahwa buku Batavia, Buitenzorg en de Preanger baru saja diterbitkan (“Nu verschenen”). Buku ini tersedia di semua toko buku, di Toko Thiem di Bandung, Toko Meijer di Garut, Nederlandsch-Ind. Sigaren-Magazijn milik E. Dunlop & Co. Rijswijk, Batavia, di Maatschappij Onderlinge Hulp, dan di stasiun-stasiun kereta api yang ada jalur barat (“en aan de Stations der Westerlijnen”). Buku tersebut dijual seharga 2,50 gulden.
Jadi, saya kira buku Marius Buys itu baru diterbitkan pada akhir 1891 karena iklannya baru ditampilkan pada awal 1892. Namun, apakah Batavia, Buitenzorg en de Preanger buku satu-satunya karya Buys yang berkaitan dengan Bandung? Oh, tentu tidak. Sebab, ia juga menulis kumpulan esai tentang kehidupan di Priangan dengan tajuk In het hart der Preanger (1900). Di dalamnya antara lain dimuat tulisan mengenai balap kuda di Bandung (“De wedrennen te Bandong”), kenduri di pendopo Kabupaten Bandung (“Een feest bij den Regent”), “Sitoe Bagendit”, “Lebaran te Garoet”, “Tjipanas”, “Telaga Bodas” dan tentang Hotel Bellevue.
Dengan buku terakhir ini, tampak pula kontribusi Buys untuk perkembangan pariwisata di Priangan umumnya dan Bandung khususnya. Padahal ia hanya sekitar tiga tahun tinggal di Bandung!