• Opini
  • Kawih menurut Musikolog Sunda Raden Machjar Angga Kusumadinata

Kawih menurut Musikolog Sunda Raden Machjar Angga Kusumadinata

Salah satu esai Raden Machjar Angga Koesoemadinata berjudul Elmoening Kawih Soenda diterbitkan oleh majalah Poesaka Sunda, Java-Institut, Juli 1927.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Cover majalah Poesaka Soenda Juli 1927 nomor 7. (Sumber: Perpustakaan Sundanologi)

18 Mei 2021


BandungBergerak.id - Raden Machjar Angga Koesoemadinata (RMAK) merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan kesenian di Jawa Barat, khususnya karawitan (musik) Sunda. Sebagai musikolog Sunda, banyak tulisannya yang memberikan sumbangan pengetahuan penting bagi teori karawitan Sunda. Jaap Kunst, seorang etnomusikolog dari Belanda, kala melakukan penelitian musik dan menyusun buku Music in Java (1937), banyak berdiskusi serta bertukar pikiran dengan RMAK mengenai kesenian (musik) yang ada di Jawa Barat.

Kali ini saya akan membahas salah satu esainya yang berjudul Elmoening Kawih Soenda yang diterbitkan oleh majalah Poesaka Sunda yang dikeluarkan Java-Institut pada terbitan Juli 1927 nomor 7. Raden Machjar menuturkan dalam tulisannya untuk memetakan jenis kawih di tatar Sunda. Dijelaskan bahwa menurutnya kawih Sunda dibedakan menjadi delapan jenis yaitu: (1) Lalagoean gamelan; (2) Lalagoean pantoen; (3) Lalagoean tembang; (4) Lalagoean beloek; (5) Kakawihan paranti nimang sareng ngejong boedak; (6) Poepoedjian; (7) Kakawihan baroedak; (8) Lalagoean nyawer. Berikut merupakan penjelasan mengenai masing-masing jenis kawih Sunda tersebut.

1) Lalagoean Gamelan

Maksud RMAK mengenai lalagoean gamelan adalah lagu yang diiringi oleh gamelan pelog salendro Jawa yang digarap oleh orang Sunda. Hal ini terlihat dari pernyataannya yaitu “Di ka-Djawakeun rempegna nabeuh gamelan tèh panajagana kedah aya 24. Doepi di oerang mah tjekap koe 12 baè, nja èta: (1) Toekang rebab; (2) Toekang kendang; (3) Toekang gambang; (4) Toekang bonang; (5) Toekang rintjik; (6) Toekang paneroes; (7) Toekang djenglong; (8) Toekang saron 1; (9) Toekang saron 2; (10) Toekang goong; (11) Toekang ketoek; (12) Toekang kenong”.

Saya menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh RMAK mengenai lalagoean gamelan itu adalah kesenian kliningan dan lagu yang biasa digunakan untuk mengiringi tari, pergelaran wayang golek, ataupun teater rakyat. Selanjutnya ia menjelaskan peran masing-masing instrumen musik dalam suatu gending.

Raden Machjar Angga Kusumadinata menyebutkan bahwa tukang rebab sebagai pengantar gending dan penyusun mamanis lagu (lilitan melodi), tukang kendang sebagai pengatur wirahma (tempo) dan wiletan, ketuk berperan untuk menstabilkan tempo dan ketukan, jenglong dan panerus melanjutkan suara bonang dan rincik pada saat pancer (proses berpindah kenongan), bonang dan rincik saling bersahutan; mengukur wiletan, dua saron saling bersambut (carukan), kecrek memberikan wiletan, kempul pertanda posisi pancer, dan goong berperan sebagai akhir (penghabisan) dari sebuah siklus wilet.

Lalagoean gamelan terbagi menjadi dua yaitu rèrènggongan (sekar macapat) dan lagu gede (sekar ageng). Contoh lagu rèrènggongan (sekar macapat) yaitu: rènggong bandung (salendro/pelog), banjaran (salendro/pelog), dan sulanjana (salendro/pelog). Sedangkan contoh lagu ageng di antaranya: kawitan (pelog/salendro), suba kastawa (pelog/salendro), dan gunung sari (salendro, pelog, sorog pelog).

2) Lalagoean Pantoen

Disebutkan dalam artikel Raden Machjar Angga Kusumadinata yang dimaksud dengan lalagoean pantoen adalah kawih yang bersurupan degung dengan iringan instrumen musik berupa gamelan degung, kacapi, dan suling. Lalagoean pantoen dibagi menjadi dua yaitu (a) disajikan dengan kawih (suara manusia), contoh: jemplang, jemplang cidadap, jemplang pangantèn, pamirig, rajamantri, pangapungan, mangu-mangu, pangapungan raden, randegan, kalèon, mupu kembang, dan masih banyak lagi. (b) disajikan tanpa vokal, contoh: papalayon, paron, manintin, manintin sèrang, sang bango, dan sebagainya.

Pernyataan RMAK di atas, memiliki pengertian pantun sebagai bagian dari variasi dalam mamaos (tembang Cianjuran) yakni wanda papantunan. Pada bagian selanjutnya Pak Machjar menjelaskan asal-usul pantun sebelumnya, yaitu pantun biasa dibawakan oleh juru pantun dengan membawakan cerita-cerita zaman dahulu, karangan bujangga-bujangga Sunda seperi Lalakon Lutung Kasarung, Lalakon Panji Wulung, Lalakon Ciung Wanara, Lalakon Sumur Bandung, dan masih banyak lagi.

3) Lalagoean Tembang

Raden Machjar Angga Kusumadinata membagi tembang menjadi dua, yaitu tembang buhun dan tembang masa kini. Tembang buhun menggunakan rumpaka berbentuk wawacan, seperti: wawacan rengganis, wawacan, putri cina, wawacan malebari, dan wawacan garib. Pelafalan dalam mamaos harus jelas cerita yang ingin dibawakannya, biasanya tidak diiringi instrumen musik sangat menonjolkan vokal, namun tidak terlalu banyak ornamentasi yang digunakan. Biasanya tembang buhun dipentaskan pada acara-acara tertentu seperti melahirkan, sunatan, dan pernikahan.

Tembang masa kini; tembang jenis ini diiringi instrumen kacapi, suling atau rebab. Kacapi di sini memiliki peran utama sebagai pengiring lagu, mewakili instrumen yang ada pada gamelan seperti bonang, gambang, saron, penerus, jenglong, dan ketuk. Konsep musikal dari setiap waditra tersebut dapat diwakilkan oleh kacapi. Terdapat dua lagam pada tembang masa kini yaitu lagam kakulonkeun (seperti di Cianjur dan Sukabumi) dan lagam kawètankeun (Ciawian).

Baca Juga: Pagebluk Covid-19 dan Tugas Jurnalistik (1)
Panduan Buys ke Bandung
Bandung: Makin Padat, Makin Cerdas?
Haji Hasan Mustapa Menjadi Penasihat Sarekat Islam Bandung
Tentang Paradigma: Dari Proyek Merkuri NASA ke Budaya Lokal Indonesia

4) Lalagoean Beloek

Beluk adalah tembang yang dinyanyikan dengan keras, lambat, dan kecil surupannya. Disajikan dalam vokal berkelompok empat sampai lima orang saling bersahutan dan bergantian. Biasanya beluk memiliki surupan salendro dan sorog salendro, ada pula surupan pelog, sorog pelog, atau liwung tapi tidak banyak. Instrumen musik yang biasa disajikan bersamaan dengan beluk di antaranya, angklung, dogdog, dan tarompet.

5) Kakawihan Paranti Nimang Sareng Ngèyong Budak

Lagu ini dinyanyikan dengan dinamika pelan dan tempo yang lambat. Surupan yang biasa digunakan adalah degung, renteng, dan salendro. Kawih jenis ini tidak menggunakan instrumen pengiring apa pun. Berikut RMAK menyajikan dua contoh guguritan untuk menimang dan ngeyong. (a) Untuk nimang: “Empang seu padeuleung deungseu. Mending nimang budak donto”. (b) Untuk ngèyong: “Èyong èyong, èyong, èyong, èyong, Anu kasèp atuh geura kulem. Nèlèngnèng kung nèlèng nèlèng nèng kung. Geura gedè asèp ta geura jangkung. Gura makayakeun indung. Geura sakola ka Bandung”.

6) Poepoejian

Kawih pupujian sering dinyanyikan pada lingkungan pesantren dan juga acara-acara keagamaan lainnya. Syair yang dilantunkan berkaitan dengan rukun iman, rukun islam, pujian untuk Allah, dan masih yang lainnya, khususnya yang berkaitan dengan agama. Sikap menyanyikannya harus dengan serius (khusyu) dengan kedalaman hati (wirasa). Lagu pupujian biasanya diiringi oleh instrumen terebang dan genjring (dominan menggunakan alat perkusif).

7) Kakawihan Barudak

Raden Machjar Angga Kusumadinata dalam tulisan mengenai kakawihan barudak hanya menuliskan contoh-contoh dan tata cara menyajikan kakawihan barudak. Secara holistik pengertian dari kakawihan barudak adalah kawih (nyanyian) yang dinyanyikan oleh kalangan anak-anak dengan tujuan sebagai bagian dari permainan yang sedang dimainkan oleh mereka. Pada esai disajikan delapan permainan serta kawih yang dilantunkan saat permainan berlangsung. Kedelapan jenis permainan tersebut adalah oray-orayan, prang-pring (surupan lokananta), eundeuk-eundeukan (surupan lokananta), ayang-ayang gung, eundeuk-eundeukan (surupan degung), tutunjukan (surupan lokananta), dan sur-ser (surupan lokananta).

8) Lalagoean Paranti Njawer

Pengertian nyawèr tidak dijelaskan secara eksplisit oleh Raden Machjar Angga Kusumadinata. Pada tulisannya hanya menyajikan rumpaka (syair) dari dua judul lagu sawèr, yaitu sawèr pohaci dan sawèr èmbè (nyawèr monyèt).

Membaca pemaparan RMAK mengenai klasifikasi kawih Sunda tersebut, didapat informasi sejauh mana perkembangan kesenian Sunda, khususnya kawih Sunda pada tahun 1927 bertepatan dengan esai ini ditulis dan diterbitkan. Data etnografis yang didapat Raden Machyar merupakan salah satu data tertulis yang sampai saat ini masih menjadi acuan penelitian karawitan Sunda.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//