Pendiri Pabrik Kina
Riwayat pendirian pabrik kina di Bandung, Bandoengsche Kininefabriek, tidak lepas dari peran Carel Willem Baron van Heeckeren. Dari Semarang, ia mengendalikan usaha.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
13 Juni 2021
BandungBergerak.id - Dosen emeritus ahli culturele antropologie (antropologi budaya) dan ontw. sociologie (sosiologi pembangunan) dari Faculteit der Sociale Wetenschappen, Universiteit Leiden, Wim van Zanten menyalin salah satu paparikan, sejenis pantun, dalam bukunya: Sundanese Music in the Cianjuran Style (1989: 69). Ini dia yang disalinnya: “Sok hayang nyaba ka Bandung, hayang nyaho pabrik kina, sok hayang nanya nu pundung, hayang nyaho mimitina” (Saya hendak bepergian ke Bandung, mau tahu pabrik kina, saya hendak bertanya kepada yang marah, mau tahu bagaimana mulanya).
Hal menarik dari paparikan di atas adalah penyebutan pabrik kina. Kelahiran sisindiran tersebut, sudah tentu bertautan sekali dengan kehadiran Bandoengsche Kininefabriek pada akhir abad ke-19. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, saya berusaha melacak jejak pendirian pabrik kina di Cicendo dan Nieuwen Kerkhof Weg, Kota Bandung sekaligus jejak orang yang punya gagasannya.
Bahkan saya akan bermula dari dia dulu: Mr. Carel Willem Baron van Heeckeren (1855-1943). Mengapa didahulukan? Karena meskipun ia mendirikan pabrik yang berada di Bandung, Van Heeckeren adalah advokat dan pengusaha yang berdomisi di Semarang, dan agaknya tidak pernah tinggal di Bandung. Riwayatnya saya baca dari Persoonlijkheden in het Koninkrijk der Nederlanden in woord en beeld (1918: 620) susunan N. Japikse dan H.P. van den Aardweg serta situs penyedia kekerabatan di internet.
Dari sumber-sumber itu diketahui Van Heeckeren lahir pada 16 Maret 1855 di Doesburg, Provinsi Gelderland, Belanda. Ia adalah anak kedua pasangan Robert Adriaan Willem Baron van Heeckeren (1822-1872) dan Sophie Emilie von Weiler (1827-1872). Kakak tertuanya Adriana Luthera Agnes Lubbertina (1853-1871) dan adik-adiknya ada enam, dua di antaranya Anna Charlotta Reiniera Henriette (1857-1924) dan Adolf Jacob Hendrik Willem (1859-1933).
Van Heeckeren menempuh pendidikan gymnasium dan belajar hukum di Universitas Utrech hingga lulus pada 1877. Setamat kuliah, dia mencoba peruntungan di Hindia Belanda dengan bekerja di pengadilan kolonial. Secara berturut-turut, ia bekerja menjadi anggota Raad van Justitie antara 1880, 1882, dan 1884 diangkat menjadi advokat di pengadilan Semarang dan advokat negara. Pada 10 Agustus 1881, dia menikahi Jkvr. Johanna Christina Louise de Kock dan beroleh anak Sophie Emilie (1883-1975), Henriette Jacoba (1884-1970), dan Robbertine Adrienne Wilhelmine (1886-1887).
Van Heeckeren tinggal di Hindia Belanda hingga 1921, dengan beberapa kali cuti ke Eropa. Selama di Hindia, dia sempat menempati berbagai posisi penting yaitu menjadi presiden Kamer van Koophandel di Semarang, presiden Spaarbank, presiden suiker-syndicaat (sindikat pengusaha gula), presiden stasiun percobaan budidaya tanaman gunung (proefstation voor bergcultures) di Jawa Tengah dan Vereeniging voor Bergcultures, pendiri dan direktur N.V. Bandoengsche Kininefabriek, komisaris Javaasche Bank, pendiri Semarangsche Administratie Maatschappij, presiden komite pengawas HBS, dan anggota pelbagai organsisasi perkebunan lainnya. Di Amsterdam, Van Heeckeren turut mendirikan Kina Bureau dan menjadi anggota gabungan pengusaha kina, serta menjadi salah seorang pendiri administrasinya.
Riwayat Pabrik Kina di Bandung
Karena sudah disebut-sebut pendiri Bandoengsche Kininefabriek, maka kini saatnya membahas perjalanan sejarah pendirian perusahaan tersebut. Untuk membahasnya, saya mengandalkan kliping-kliping dari koran berbahasa Belanda sejak 1895.
Sebelum resmi berdiri, ternyata wacana pendirian Bandoengsche Kininefabriek sudah beredar sejak 1895, terutama dalam Java-Bode. Dalam edisi 6 dan 16 Juli 1895 disebutkan bahwa pemerintah Hindia Belanda mendukung upaya pendirian pabrik kina di Bandung, tetapi tidak jelas. Penulis artikel tersebut juga bertanya kepada perseorangan, H. I. Prins, tetapi mengecilkan hati bagi orang yang hendak mencobanya. Karena usaha kina tidak menguntungkan.
Ternyata, pada Java-Bode edisi 20 Juni 1895 sudah dibahas pula ihwal tersebut. Menurut perhitungan penulis, bila pabrik kina di Bandung didirikan dengan bantuan pemerintah, maka 3-5 persen kulit kina dapat diproses menjadi kinin, tetapi bila harganya turun maka kulit kina tidak dapat dikirim oleh para pengusaha ke pabrik tersebut. Intinya, penulis artikel tersebut tetap menaruh harapan pada keterlibatan pemerintah kolonial dalam pengusahaan kina.
Selanjutnya dalam Java-Bode edisi 20 Juli 1895, penulis artikel menyebutkan bahwa pendirian pabrik kina di Bandung bergantung kepada keuangan para pengusaha perkebunan. Namun, sayangnya keuangan mereka tidaklah kuat. Selanjutnya ia malah bertanya apakah para pengusaha tersebut akan terbantu dengan berdirinya pabrik kina di Jawa? Apa konsekuensi pertama dengan beroperasinya pabrik kina di sana? Para pengusaha juga harus memperhitungkan keuntungan dan kerugian ongkos pengiriman ke Amsterdam atau ke Bandung.
Penulis artikel kian pesimistis bila kinin dari Jawa masuk ke pasaran. Harga kinin pasti akan turun akibat peningkatan produksi dunia untuk kinin karena kesepakatan di antara para pengusaha kinin di Eropa tidak akan berlanjut, dan karena para pengusaha Eropa tidak akan ragu-ragu menekan para pengusaha dari Jawa, kecuali bila menjualnya sangat murah.
Keesokan harinya (dalam Java-Bode, 21 Juli 1895), H. I. Prins menanggapi tulisan Tuan C yang dimuat pada 20 Juli 1895. Hal pertama yang disampaikannya adalah bahwa Tuan C bukanlah pengusaha kina, jadi tidak akan tahu menahu. Hal lain yang ditulis oleh Prins adalah fakta bahwa dari Jawa dihasilkan sekitar 150.000 kilogram kinin yang diekspor ke Amerika Serikat, Srilanka, dan India Inggris dengan 50.000 kilogram dikirim ke Afrika, sehingga total menghasilkan 200.000 per tahunnya. Mengingat hal tersebut dan hal lainnya, ia menyatakan bahwa bila pabrik kina di Bandung tidak dibangun, maka modal 10 juta gulden akan melayang. Selain itu, bila didirikan di sana akan lebih menguntungkan karena lebih dekat ke pelabuhan Tanjung Priuk dibandingkan dari daerah lainnya.
Memasuki tahun 1896, wacana pendirian pabrik kina di Bandung nampaknya berwujud kenyataan. Hal ini terbaca dari Java-bode (4 Mei 1896), yang mengabarkan mengenai rapat keenam Naamlooze Vennootschap (N.V., perseroan terbatas) Bandoengsche Kininefabriek yang membahas mengenai statuta, eksekusi bagian teknis pendirian bangunan pabrik, bahkan perbincangan mengenai pendirian pabrik kedua dan ketiga di dekat Sukabumi.
Selanjutnya dalam De locomotief edisi 19 Oktober 1896, dilaporkan bahwa pada 29 Juni 1896, N.V. Bandoengsche Kinine-Fabriek telah didaftarkan di depan notaris B. V. Houthuysen. Tempat yang dipilih untuk pendirian pabrik adalah di Desa Cicendo, seluas 13.000 meter persegi. Metode penyiapan kinin diperoleh oleh H. J. van Prehn, termasuk kesepakatan dengan para kontributor yang akan menyediakan kulit kina sebesar 40.000 gulden, dengan jumlah pengeluaran lainnya sebesar 200.000 gulden. Adapun modal perusahaan seluruhnya sebesar 400.000 gulden, yang dibagi menjadi 1.600 lembar saham, yang masing-masing bernilai 250 gulden.
Nah, dalam jajaran direksinya yang pertama muncul Van Heeckeren. Dalam koran tersebut disebutkan bahwa presiden komisaris dan pengawasnya adalah Gustav Carl Friedrich Wilhelm Mundt. Komisarisnya Casper Johannes Koch, Frederik Willem Sijthof, dan Dionys Burger Dionyszoon. Sementara direktur administratifnya adalah Carel Willem Baron van Heeckeren, dengan wakilnya Hendrik Malthes serta direktur teknisnya Henning Joachim van Prehn.
Hal senada terbaca dari Het Vaderland (19 November 1896). Selain yang sudah disebutkan di atas, disebutkan bila percobaan pembuatan kinin berhasil, maka pabrik di Bandung akan didirikan. Di sana akan ada dua pabrik, tetapi tidak akan bersaingan melainkan saling mendukung. Van Prehn sebagai teknisi sudah ada di Bandung, Sijthoff dari Ambarawa akan menjadi adiminstratur, dan Van Meeverdem yang mendirikan pabrik tersebut akan terus bekerja di situ. Dari berita ini juga saya jadi tahu bahwa pusat usaha Bandoengsche Kininefabriek berada di Semarang, yang berarti ada di sekitar tempat usaha Van Heeckeren, yakni Semarangsche Administratie Maatschappij.
Dari Java-bode edisi 14 Desember 1896, ada informasi bahwa Bandoengsche Kininefabriek telah memperoleh penawaran lain karena kealpaan perusahaan di Eropa, yang akan menyediakan mesinnya. Oleh sebab itu, direktur perusahaan melihat kesempatan untuk mendirikan pabrik dan mengoperasikannya tahun 1897. Mesin-mesin dipesan dari Resink & Co. di Yogyakarta, dan pada pertengahan Januari 1897 sudah akan tersedia semuanya. Dengan segala persiapannya, Bandoengsche Kininefabriek baru dapat mulai beroperasi pada Februari 1897.
Baca Juga: Steinmetz Memajukan Bandung
Ahli Kembang Ulrich Teuscher
Jejak Pieter Sijthoff
Naik-Turun Bisnis Kina
Bagaimana perkembangan selanjutnya? Pada 6 September 1921, di Bandung diadakan peringatan HUT ke-25 Bandoengsche Kininefabriek. Konon setelah pagi hari diadakan perayaan oleh orang Eropa, malam harinya 1.200 orang pribumi turut pada acara salametan, lalu akan ada makan malam di Hotel Preanger yang dihadiri direktur perusahaan, administrtatur, dan stafnya. Untuk acara tersebut, pabrik yang telah lama terus-menerus dioperasikan sengaja ditutup untuk sementara (Bataviaasch nieuwsblad, 6 September 1921). Dengan berita ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kelahiran Bandoengsche Kininefabriek adalah 6 September 1896, bukan 1897.
Sebelumnya, berdasarkan rapat tahunan, F. J. H. Soesman, E. T. Campbell dan G. J. L. Holle diangkat menjadi komisaris perusahaan. Modal awalnya pada saat didirikan (6 September 1896) terdiri atas 100.000 gulden yang kemudian menjadi 700.000 gulden. Kemudian atas permintaan dewan komisaris, sehubungan dengan ekspansi perusahaan dan partisipasi lainnya, maka modal usaha ditingkatkan menjadi 4 juta gulden. Konon, harga kinin tetap tinggi hingga pertengahan tahun 1920.
Namun pada perempat akhir tahun 1920, permintaan berhenti mendadak. Stok kina waktu perang dunia pertama jatuh ke tangan orang kedua yang tamak. Setelah itu, hanya sedikit kina dari Bandung yang dapat dijual di Eropa. Sebab lainnya adalah situasi ekonomi yang memburuk di daratan Eropa, sehingga banyak yang tak mampu membeli kina. Namun, untungnya Asia menjadi pembeli tetap dan konsumsi di Hindia Belanda terus meningkat. Obat dari kina, terutama yang berbentuk tablet, kian populer di Hindia. Namun, pada musim gugur 1920, keadaan banyak mendorong orang untuk membeli kinin yang berbentuk serbuk (De Locomotief, 11 Agustus 1921 dan De Preanger-bode, 13 Agustus 1921).
Sembilan tahun kemudian, Carel Willem Baron van Heeckeren, meski sudah tua, masih tetap berada di jalur bisnis kina. Oleh karena itu, dewan perusahaan Bandoengsche Kininefabriek tetap menerima usulan Van Heeckeren untuk mengadakan rekonstruksi modal perusahaan (De Locomotief, 23 Januari 1930). Setahun lebih kemudian, demi memperingati HUT emas perkawinan Van Heeckeren, manajemen perusahaan di Semarang, manajer pabrik dan komisaris di Bandung, yaitu Soesman, mengirimkan telegram berisi ucapan selamat kepada Van Heeckeren yang saat itu sudah tinggal di Bloemendaal, Belanda (De Indische courant, 15 Agustus 1931).
Bagaimana selanjutnya dengan Van Heeckeren? Ia tampaknya terus tinggal di Prancis. Di Avenue du Roi Albert, Kota Cannes, Van Heeckeren sengaja membuat tempat tinggal yang dinamainya Villa Pergola. Namun, saat kematiannya tiba di tempat pendirian pabrik kina yang dirintisnya sejak 1895. Ia meninggal di Bandung dalam usia 88 tahun pada 17 Mei 1943. Namun, barangkali karena ia tetap bertaut dengan Prancis, maka tubuhnya disemayamkan di Cannes, Alpes-Maritimes, Provence-Alpes-Côte d'Azur. Dengan begitu, ia seakan tetap hayang nyaho pabrik kina di Bandung sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir.