Sarekat Islam Bandung Mendirikan Madrassatoel Ibtidayah
Pada 12 April 1915, Madrassatoel Ibtidayah yang didirikan oleh Sarekat Islam Bandung resmi dibuka. Yang jadi siswanya, anak-anak miskin dan anak anggota SI.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
19 Juni 2021
BandungBergerak.id - Pengurus Sarekat Islam Bandung mengumumkan pertama kalinya dalam Kaoem Moeda edisi 20 Maret 1915 bahwa A. H. Wignyadisastra dan kawan-kawan akan mendirikan sekolah partikelir. Bernama Madrassatoel Ibtidayah, sekolah tersebut diperuntukkan bagi anak-anak miskin dan anak-anak anggota Sarekat Islam. Madrassatoel Ibtidayah sendiri diambil dari bahasa Arab yang berarti sekolah permulaan, setara dengan sekolah dasar yang berasaskan agama Islam.
Rencananya, Madrassatoel Ibtidayah akan dibuka pada 1 April 1915, dengan bertempat di sebuah rumah di Jalan Andir yang masih didiami oleh seorang polisi bernama Braun. A. H. Wignyadisastra menyebut, untuk sementara sekolah dimulai pada pukul 15.00 sampai 17.30. Sedangkan guru-guru yang mengajar di sekolah itu antara lain: A. H. Wignyadisastra sebagai kepala sekolah sekaligus sebagai tenaga pengajar, Abdoel Moeis sebagai guru membaca, menulis, dan berhitung,Achmad sebagai guru agama Islam, dan P. M. Lambach sebagai pengajar bahasa Belanda.
Polemik Bahasa Belanda
Meski mendapat sambutan hangat, sebagian orang mempertanyakan pemberlakuan pelajaran bahasa Belanda dalam Madrassatoel Ibtidayah. Terjadi perdebatan antara kaum muda yang mempunyai inisiatif memasukkan bahasa Belanda dengan kaum tua yang menolak pelajaran itu. Bagi kaum tua, memasukan materi bahasa Belanda hanyalah sia-sia. Sedangkan kaum muda bersikeras untuk mengajarkan bahasa Belanda di sekolah itu.
“Soedah ramai sekali orang membitjarakan Madrassatoel Ibtidayah. Ramai poela kedengaran, bahwa pehak toean-toean, tidak setoedjoe kalau dalam sekolah itoe, diadjarkan pengadjaran basa Belanda: diadakan goeroe Belanda. Soedah lebih doeloe, tidak setodjoenja kaoem toea itoe kami ramaikan. Kemaoean mereka itoe djangan tjampoer-mentjampoer dengan drigama. Drigama jang sederhana, tidak mengapa. Tetapi, ach basa Belanda, toch anak-anak itoe tidak satoe jang nanti djadi Resident atau Gouverneur General, katanja Pak Toea!” (Kaoem Moeda, 22 Maret 1915)
Saling lontar pendapat yang kian alot menyebabkan pengurus Saserkat Islam Bandung ambil tindakan. Maka, diambillah jalan tengah. Untuk bahasa Belanda dan pengajarnya ditiadakan. Hal ini mengacu pada pertimbangan biaya. Selain gaji untuk pengajar, buku penunjang bahasa Belanda pun harus dikeluarkan dengan jumlah uang yang tidak sedikit.
“Akan kami ambil djalan pertengahannja. Ja-itoe, apabila M.I. tidak madjoe tentoe karena dajanja kaoem-kaoem toea. Kalau kedjadian begitoe saudara-saudara pehak kaom perobahan! Setoedjoelah kiranja dengan kami, basa Belanda itoe boeang. Melentoer lid ta’ boleh dengan keras, melainkan perlahan-lahan hendaknja. Poen ongkos pengadjaran basa Belanda itoe, tidak sedikit, mendjadi lebih baik boeat kasnja M.I. apabila tidak mengadjar basa Belanda.” (Kaoem Moeda, 22 Maret 1915)
Pendirian Madrassatoel Ibridayah oleh pengurus Sarekat Islam Bandung memang ditujukan untuk kalangan miskin yang beragama Muslim. Namun, inisiatif ini tidak datang dengan sendirinya. Gagasan mengenai sekolah agama Islam telah muncul lebih dulu di berbagai daerah. Seperti di Cianjur, Betawi, Jogja, Solo, Pekalongan, dan Surabaya.
Diperlukan bekerja keras dalam membentuk pengurus khusus sekolah agama Islam di bawah naungan SI Bandung ini agar bisa mengejar ketertinggalan dari sekolah-sekolah agama Islam lain yang telah didirikan. Wignyadisastra menunjukkan ambisi kuat itu. Sebagai ketua Sarekat Islam Bandung ketika itu, ia ingin agar terbentuknya Madrassatoel Ibtidayah di Bandung bisa dipersatukan dengan sekolah agama Islam yang terdapat di daerah lain sehingga setiap sekolah berada dalam satu kepengurusan pusat dengan aturan dan dorongan yang jelas.
“Di Tjiandjoer, Betawi, Jocja, Solo, Pekalongan dan Soerabaja, soedah berdiri sekolah-sekolah jang beralasan agama Islam. Dimana kamu perloe bekerdja bersama-sama. Apakah tida baik, djikalau sekolah-sekolah itoe, semoea bersarikat mendjadi satoe? Kalau hal ini kedjadian, maka sekola-sekolah itoe akan berdiri dibawah soeatoe pengoeroesan dan satoe atoeran, demikian poela jang besar bisa menoendjang jang ketjil, sebaliknja jang ketjil akan menerima toendjangan dari jang besar.” (Kaoem Moeda, 22 Maret 1915)
Sementara itu, pada tanggal 28 Maret 1915, bestuur SI Bandung menggelar rapat di rumah yang digunakan untuk Madrassatoel Ibtidayah (MI). Pertemuan itu tidak hanya dihadiri oleh internal Sarekat Islam Bandung, namun juga dari kalangan guru dan pejabat. Dari kalangan pejabat hadir antara lain: Haji Hasan Mustapa selaku HoofdPenghulu Bandung bersama Wakil Penghulu R. Moh Djaelani dan R. M. Moeh. Suaeb sebagai pejabat negeri. Dari kalangan guru, muncul nama M. Kandoeroean Partadiredja dari Osvia Bandung, M. Joedadibrata sebagai guru Cibadak, dan R. Sastraatmadja selaku pengawas sekolah umum.
Salah satu pembicaraan penting dalam rapat tersebut yakni mengenai daftar pelajaran, calon siswa, dan biaya sekolah. Meski belum dapat diputuskan, hasil rapat tersebut mengantongi nama baru, Nyai Raden Soemarni, sebagai pengajar istri di Madrassatoel Ibtidayah. Lalu, rapat juga menyepakati bahwa semua anak yang ingin masuk ke sekolah agama Islam itu, dapat diterima dengan baik. Adapun untuk biaya masuk Madrassatoel Ibtidayah, masing-masing dikenakan uang sebesar f 0,75 untuk siswa pertama kelas satu, f 0,50 untuk siswa kedua, dan f 0,25 untuk siswa ketiga. Sedangkan bagi kelas dua siswa pertama dikenakan biaya, f 0,50, siswa kedua f 0,25, dan siswa ketiga f 0,10. (Kaoem Moeda, 29 Maret 1915).
Baca Juga: Abdoel Moeis Menjadi Pemimpin Redaksi Kaoem Moeda
Masalah Anggota Menjadi Bahasan Utama Rapat Pengurus Sarekat Islam Bandung
Harapan Sarekat Islam Bandung terhadap Sosok Mas Kandoeroean Partadiredja
Pembukaan Sekolah
Kendati direncanakan dibuka tanggal 1 April 1915, pengurus Madrassatoel Ibtidayah baru membuka pendaftaran tanggal 6 April 1915 setelah mendapat izin yang sah dari pemerintah. Siswa yang sudah mendaftar ketika itu berjumlah 108 orang. Para pengurus lalu membagi 108 siswa tersebut ke dalam dua bagian. Sebanyak 80 siswa untuk sekolah pagi, dan 28 anak untuk sekolah sore (Kaoem Moeda, 6 April 1915). Meski begitu, pendaftaran untuk sekolah sore masih terus dibuka sampai peresmian Madrassatoel Ibtidayah digelar.
Pada tanggal 12 April 1915, sekolah permulaan dibuka secara resmi. Selain dihadiri para pengurus dan tenaga pengajar, pembukaan sekolah tersebut disaksikan juga oleh para pembesar pemerintah. Hadir di antaranya, Patih Bandung, Asisten Wedana Bojongloa, wakil penghulu, anggota pengadilan agama, dan para pejabat lainnya. Sekolah pun dihiasi dedaunan, dengan barisan bangku dan meja belajar.
Meski tidak dapat menyaksikkan secara langsung, Asisten Residen mempunyai harapan besar dengan dibukanya Madrassatoel Ibtidayah. Harapan tersebut ia kemukakan dalam sepucuk surat, yang di dalamnya berisi alasan tak bisa datang dan juga ingin sekolah itu memiliki umur yang panjang. Maka, sebagai guru istri yang mengajar di sekolah itu, Raden Soemarni lantas membacakan ucapan terima kasihnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung dan membantu perwujudan sekolah agama Islam itu.
“Atas namanja semoea bestuur ini sekolah, saja mengoendjoek beriboe-riboe terima kasih, oleh karena toean-toean bersama sekalian lain-lainnja sama menghadiri ini pemboekaan sekolah. Maka saja mengatoerkan atau memberi tahoe jang pendirian ini sekolah ialah oleh ichtiarnja Bestuur S.I. oleh mengingat bahwa di Bandoeng masih kekoerangan sekolah. Buktinja dalam saban-saban tahoen banjak kanak-kanak jang tida bisa diterima masoek ke sekolah.” (Kaoem Moeda 12 April 1915)
Di samping ucapan terima kasih, Raden Soemarni menjelaskan makna dari Madrassatoel Ibtidayah. Menurutnya, di wilayah Priangan ketika itu, belum ada sekolah yang mencampurkan pelajaran agama Islam dan pelajaran umum. Ia juga menyebutkan bahwa jumlah siswa yang sudah masuk sebanyak 181 orang untuk kelas pagi dan sore. Sebanyak 83 anak yang masuk pada pukul 8-9 pagi, sementara 48 siswa untuk pukul 14.30-17.30. Akhirnya, sambutan itu dijawab oleh Patih Bandung dengan bahasa yang lemah lembut (Kaoem Moeda 12 April 1915), sampai acara pembukaan sekolah itu ditutup.