• Cerita
  • Sesak di UGD Rumah Sakit

Sesak di UGD Rumah Sakit

Di tengah lonjakan pasien Covid-19, datang langsung ke rumah sakit belum tentu langsung mendapat penanganan. Isolasi mandiri jadi pilihan, walau tetap berisiko.

Petugas melakukan skrining pada pengunjung UGD RSUD Al Ikhsan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 25 Juni 2021. Lalu lalang para nakes di UGD intens selama lonjakan pasien Covid-19 dalam sebulan terakhir. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana27 Juni 2021


BandungBergerak.idAngka kematian karena Covid-19 masih akan terus meningkat manakala kunjungan pasien ke rumah-rumah sakit terus melonjak. Banyak pasien yang datang dalam kondisi berat dan kritis. Mereka harus menunggu ruangan isolasi di lobi-lobi Unit Gawat Darurat (UGD) yang penuh sesak.

Kejadian tersebut dialami Evi Sri Rezeki yang kehilangan dua kakaknya karena terpapar Covid-19. Kakak pertamaya berinisial I (47), masuk UGD RSUD Al Ihsan, Kabupaten Bandung, Jumat (11/6/2021) pagi.

Saat itu, UGD RSUD Al Ihsan penuh pasien yang kondisinya perlu pertolongan segera, sama-sama butuh ruangan isolasi dan penangan tim medis. Kakaknya Evi yang sempat pingsan selama hampir seharian, harus menunggu seharian untuk mendapat ruangan isolasi.

I baru mendapat ruangan Sabtu (12/6/2021) malam, itu pun belum dites PCR. Petugas menyatakan gejala yang dialami I memerlukan penangan di ruang isolasi. “Kata rumah sakit, susah dapat ruangan. Besoknya hasil PCR kakak positif,” kata Evi Sri Rezeki, saat dihubungi BandungBergerak.id, Sabtu (26/6/2021) malam. Hari berikutnya, I dinyatakan positif Covid-19.

Kakak Evi lainnya yang terserang Covid-19 berinisial J (45). J yang tinggal di Kota Bandung, sebelumnya sempat kontak dengan I. Pada waktu kontak itu, J sedang kurang enak badan. J mengalami sesak kemudian diperiksa ke dokter. Kadar oksigen (saturasi) dalam tubuh J dinyatakan di bawah standar dan memerlukan rujuakan ke rumah sakit.

Evi kemudian membawa kakaknya ke Rumah Sakit Immanuel, Kota Bandung, Kamis (17/6/2021). Pihak rumah sakit meminta J agar melakukan hasil tes PCR yang hasilnya baru bisa keluar esok harinya, Jumat (18/6/2021).

Evi berinisiatif melakukan tes antigen pada J di sebuah laboratorium yang hasilnya negatif. Meski demikian, kondisi J tidak membaik, masih sesak. Setelah itu, J dibawa kembali pulang untuk menunggu hasil PCR dari Rumah Sakit Immanuel.

Esoknya, hasil PCR di Rumah Sakit Immanuel justru positif. J akhirnya dibawa kembali ke UGD Rumah Sakit Immanuel dalam kondisi semakin mengkhawatirkan.

Situasi UGD penuh sesak oleh pasien-pasin yang diduga Covid-19 dengan gejala yang mirip dialami J: sesak, demam, letih, dan lain-lain.

“Lagi penuh banget di Immanuel. Harus nunggu besok atau malam untuk dapat ruangan. Kami mau pulang, tapi ga boleh pulang karena sudah parah. Kami menunggu di UGD, kakak saya dipasang oksigen,” cerita Evi.

Selepas isa, Evi mendapat ruangan kosong untuk kakaknya. Esok harinya, saturasi J sempat naik ke angka 100 atau normal. Dokter kemudian meminta izin kepada keluarga untuk memberikan terapi plasma konvalesen kepada J.

J memiliki golongan darah AB Plus, jenis darah yang sama dengan kakak sulung Evi yang saat itu masih dirawat di RSUD Al Ihsan, yaitu I. Sementara darah AB Plus termasuk golongan yang langka. Pada hari normal, PMI Kota Bandung sering kekurangan golongan darah ini. Di musim pandemi, sediaan golongan darah AB selalu nol.

Evi kemudian mendatangi PMI Kota Bandung untuk mendapat plasma AB Plus. Pihak PMI meminta Evi untuk membawa donor sendiri. Evi sudah beberapa kali mendapat teman yang bersedia mendonorkan darah AB, tetapi tidak memenuhi syarat donor plasma konvalesen.

“Syarat donor plasma banyak pisan, prosedurnya sulit banget, sementara kakak saya sudah kritis,” ujarnya.

Salah satu syarat yang menyulitkan adalah plasma harus didapat dari orang yang pernah positif Covid-19 dengan gejala cukup berat. Itu pun masih harus menjalani tes selama 2-3 hari sebelum bisa diambil darahnya. Prosedur ini diperlukan untuk memastikan antibodi yang terkandung dalam plasma, yang menentukan efektif tidaknya terapi bagi pasien Covid-19.

“Kita nyari-nyari sampai dapar donor AB Plus, bingung untuk Aa (J) atau Kaka (I) dulu,” kata Evi.

Saat itu, kakaknya Evi yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Immanuel keburu meninggal. Evi lalu fokus ke kakaknya yang kritis di RSUD Al Ihsan. Tetapi kakak sulungnya itu pun tak bertahan, dan meninggal keesokan harisnya, Rabu (23/6/2021).

I meninggal dalam usia 47 tahun, meninggalkan seorang istri dan dua orang anak. J meninggal dalam usia 45 tahun, meninggalkan seorang istri dan dua orang anak. Kakak beradik ini dimakamkan di pemakaman keluarga.

Petugas kesehatan memasang selang oksigen pada seorang pasien dengan hasil tes positif Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah Al Ihsan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 25 Juni 2021. Bed occupancy rate Covid-19 di rumah sakit ini sudah lebih dari 95 persen. (Foto: Prima Mulia)
Petugas kesehatan memasang selang oksigen pada seorang pasien dengan hasil tes positif Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah Al Ihsan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 25 Juni 2021. Bed occupancy rate Covid-19 di rumah sakit ini sudah lebih dari 95 persen. (Foto: Prima Mulia)

Baca Juga: Lengang di Jantung Kota, Sibuk di Cikadut
Meninggal setelah Empat Hari Tidak Kebagian Tempat Tidur Rumah Sakit
Data Ketersediaan Tempat Tidur Covid-19 di Rumah Sakit Kota Bandung per 26 Juni 2021

Situasi UGD Mengerikan

Selama mengurus dua kakaknya, Evi melihat membanjirnya pasien Covid-19 bikin kewalahan tenaga kesehatan. Sehingga penanganan pasien jadi tidak maksimal. Banyak pasien yang kondisinya memburuk karena lama menuggu ruang penanganan yang penuh.

Para pasien berdesakan dengan keluarga yang mengantar. Mereka berdesakan di antara napas-napas sesak dan berat, rintih kesakitan, isak tangis, bersahutan dengan suara batuk kering. “Karena di rumah sakit ngeri, saya agak trauma,” kata Evi Sri Rezeki.

Situasi UGD di dua rumah sakit tempat kedua kakaknya menjalani isolasi, sama-sama penuh oleh antrean pasien. Saluran-saluran pernapasan mereka dipasang selang-selang oksigen. “Pasiennya tua muda. Tapi saya tidak melihat pasien anak-anak,” katanya.

Evi menyarankan keluarga terpapar Covid-19 lebih baik melakukan isolasi mandiri (Isoman) di rumah, bagi yang memungkinkan. Karena isolasi mandiri di rumah, maka diperlukan perawat atau tenaga kesehatan dari anggota keluarga sendiri. “Dalam kondisi seperti ini (rumah sakit penuh) anggota keluarga harus menjadi nakesnya,” katanya.

Keluarga harus memberikan dukungan penuh dan tulus kepada anggotanya yang sakit. Dukungan berupa kasih sayang akan menjadi obat penting bagi mental pasien. Keluarga juga disarankan memiliki alat pertolongan pertama, misalnya oksigen, dan obat-obatan lainnya.

Evi mewanti-wanti keluarga yang merawat anggotanya yang isoman agar ketat menjalankan protokol kesehatan, antara lain disiplin memakai masker. “Prokes membantu, penting pisan. Kayak siapkan sanitizer memang harus,” katanya.

Evi merasakan betul manfaat protokol kesehatan selama intens kontak dengan kedua kakaknya yang positif. Dari lima bersaudara, hanya ia sendiri yang hasil swab antigen-nya negatif. Dua saudara kandung lainnya positif, dan saat ini sedang menjalani isoman. “Alhamdulillah kondisi mereka terus membaik,” ujarnya.

Evi berharap, pemerintah memberikan pelayanan medis kepada mereka yang menjalani isoman di rumah, juga memasok obat-obatan dan kebutuhan medis lainnya. Sewaktu merawat kakaknya, ia sangat kesulitan mendapatkan oksigen dan obat-obatan. Untuk itu ia berharap ada pasokan oksigen yang mudah terjangkau. “Oksigen penting sebagai alat pertolongan pertama,” ujarnya.

Isoman untuk OTG dan Gejala Ringan

Isoman bukan pilihan yang tidak mengandung risiko. Apalagi bagi pasien Covid-19 yang bergejala yang membutuhkan penanganan medis dari nakes. Tetapi di tengah lonjakan pasien Covid-19 saat ini, datang langsung ke rumah sakit pun belum tentu langsung mendapat penanganan.

Plh Direktur Pelayanan Medik, Perawaan, dan Penunjang Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Yana Akhmad Supriatna, mengatakan rekomendasi isoman diberikan oleh nakes kepada pasien berdasarkan diagnosa medis. Isoman direkomendasikan untuk pasien Covid-19 yang tidak bergejala (OTG), pasien yang tidak memiliki komorbid atau penyakit penyerta, dan pasien bukan lansia.

Tempat isoman sendiri bisa dilakukan di rumah atau fasilitas milik pemerintah. “Jadi orang yang menederita Covid-19 ini tidak selalu harus dirawat terutama yang OTG atau gejala ringan,” jelas Yana yang juga dokter ahli penyakit dalam RSHS.

Dalam isoman, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Di antaranya, pasien yang melakukan isoman di rumah harus sangat meminimalkan kontak dengan anggota rumah lainnya yang tidak positif Covid-19.

Isoman bisa dilakukan di kamar tersendiri yang memiliki ventilasi udara dan pencahayaan cukup. Selama menjalani isoman di rumah, pasien sangat dianjurkan sejumlah kegiatan positif, salah satunya, relaksasi. “Pasien tidak boleh berdiam diri saja karena tidak bagus bagi kesehatannya,” katanya.

Saat relaksasi, pasien harus selalu berpikiran positif, membayangkan hal-hal yang menyenangkan, mengatur pernapasan, menghilangkan beban pikiran. Relaksasi bisa dilakukan sambil mengatur pernapasan dan sebaiknya dilakukan setiap pagi, sambil mensyukuri nikmat yang ada, berusaha ikhlas, sabar, dan berdoa.

Selain relaksasi, pasien perlu rutin berolahraga ringan, disertai istirahat atau tidur yang cukup setiap harinya. “Jangan lupa memantau suhu tubuh dan saturasi oksigen dalam tubuh,” katanya.

Naik turun penyakit Covid-19 dalam tubuh dapat dilihat dari suhu tubuh, pernapasan, dan saturasi. Jika ada perubahan berat dari kondisi tubuh tersebut, pasien harus segera menghubungi keluarga terdekat untuk lapor kepada nakes.

Selama isoman, pasien perlu memilah informasi. Informasi seputar Covid-19 sangat bertebaran di media sosial. Sehingga pasien disarankan untuk tidak memantau media sosial.

“Hindarkan hal-hal itu karena akan menambah beban stres pikiran, tapi tanyakaan kepada ahlinya, kepada dokter atau petugas nakes,” katanya.

Asupan gizi sangat penting selama isoman. Minum harus cukup, mengingat orang yang mengalami demam memerlukan banyak asupan air putih. Selain itu, obat-obatan harus tersedia, seperti suplemen vitamin C dan D yang mudah didapat di pasaran.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//