Bandung Antara Parijs van Java dan Istanbul-nya Indonesia
Buku "Jejak Jejak Bandung" membahas peristiwa sejarah Kota Kembang. Termasuk asal-usul julukan Parijz van Java.
Penulis Iman Herdiana26 Maret 2021
BandungBergerak.id - Bandung barangkali termasuk kota di Indonesia yang banyak ditulis dalam bentuk fiksi maupun non-fiksi. Teks-teks ini kemudian melahirkan banyak julukan pada Ibu Kota Jawa Barat ini. Misalnya Parijs van Java.
Salah satu buku soal Bandung ditulis Atep Kurnia, yaitu “Jejak Jejak Bandung” yang terbit 2020. Dalam satu bagian bukunya, Atep berusaha menganalisa mengapa para penulis banyak menulis soal Bandung. Analisanya memakai pendekatan Orhan Pamuk yang menulis buku “Istanbul: Memories and the City” (2003).
Ada tiga buku tentang Bandung yang dibahas Atep dengan meminjam kacamata peraih Nobel Sastra kelahiran Turki itu, yakni buku “Bandung Baheula” karya R.A. Moh Affandie (1913-1972), Keur Kuring di Bandung yang ditulis Sjarif Amin (1983), dan Basa Bandung Halimunan karya Us Tiarsa (1943). Ketiga penulis sama-sama memiliki latar belakang jurnalis dan seniman.
Menurut Atep, Orhan Pamuk memandang Istanbul sebagai kota penuh kenangan. Istanbul dikenang melalui teks puisi, cerpen, novel, buku sejarah, dan lain-lain. Bandung pun, kata Atep, seperti Istanbul yang telah menjadi teks.
Baik Pamuk yang mengenang Istanbul, maupun Moh Affandie, Sjarif Amin, dan Us Tiarsa sama-sama membagikan pengalaman kotanya di masa lalu yang penuh kesan namun tak mungkin terjadi lagi di masa kini.
Atep memperkirakan para penulis soal Bandung mengalami kemurungan dalam hatinya. Sehingga menimbulkan rasa “huzun”, istilah yang dipakai Orhan Pamuk yang artinya sebuah keadaan menerima sekaligus menampik. Huzun menjadi emosi komunal, bukan melankoli individu.
“Rasa ini pula yang menjadi alasan buku kenangan tentang Bandung ditulis, yaitu dalam suara dari ujung realitas, di tengah antara yang diketahui telah terjadi dan yang diyakini secara imajiner benar-benar,” kata Atep.
Rasa “huzun” ini tampak pula di bagian akhir buku “Jejak-jejak Bandung” (epilog) di mana Atep mengolah refleksi Bandung dalam syair lagu danding. Atep membahas buku tembang Sunda berjudul “Lagu Liwung Urang Bandung” karya Apung Supena Wiraatmadja dan menghubungkan dengan kondisi kekinian yang relevan.
Lagu Liwung Urang Bandung menggambarkan berbagai rasa yang bercampur baur di dalam dada Apung. Ia sangat murung sekaligus terpikat oleh kota Bandung. Terpikat oleh Bandoeng tempo doeloe, tentunya.
Namun Apung juga murung dan menyesali nasib yang dialami Kota Bandung kini. Baik sisi buruknya, maupun sisi baiknya. “Sebab kini Bandung membikin hatinya sedih. Membuat pikirannya merana. Itu sebabnya Apung nguyung. Berbagai rasa itu kian hari kian berbaur. Berkelit berkelindan di dalam dada Apung. Ada ngenes. Ada rindu. Ada ngeri. Ada kekhawatiran. Ah, pokoknya segala rasa berbaur menjadi satu,” tulis Atep.
Sebagai penulis Bandung kontemporer, Atep tampaknya mengalami peristiwa “huzun” juga. Karena itu ia menulis “Jejak-jejak Bandung”.
Asal-usul Istilah Parijs van Java
Buku “Jejak Jejak Bandung” hasil penjelajahan kepustakaan Atep selama berinteraksi dengan Kota Bandung. Ia membuka bukunya dengan prolog genesis Parijs van Java. Mula-mula ia menelusuri istilah tersebut dari referensi yang terbit tahun 2000-an seperti yang ditulis Remy Sylado, Soni Farid Maulana, Her Suganda, dan Ganu van Dort.
Julukan Parijs van Java kemudian ditemukan pada tulisan E.M Dachlan dari koran Sipatahoenan edisi 1 Februari 1936, Gedenkboek Vereeniging Himpoenan Soedara 1906-1936. Malah ada referensi yang menyebut julukan Parijs van Java dipopulerkan Medan Prijaji, sebuah surat kabar yang didirikan tokoh pers nasional Tirto Adi Soerjo.
Perlu diketahui, Tirto Adi Soerjo juga menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Medan Prijaji disebut-sebut surat kabar pertama yang didirikan orang-orang bumiputra, sebutan untuk warga Indonesia di era kolonial Belanda.
Tak ketinggalan, Atep mengulas hasil analisa sejarah Haryoto Kunto dalam buku Bandoeng Tempoe Doeloe yang menyebut periode Parijs van Java terjadi antara 1920-1940. Namun genesis Parijs van Java tak berhenti sampai di analisa Haryoto, Atep membuka-buka arsip Belanda yang jauh lebih tua lagi.
Asal usul Parijs van Java terkait erat dengan Bandung yang dibangun sebagai kota wisata di akhir abad 19 dan awal abad 20. Keinginan memoles Bandung sebagai Parijs van Java muncul dari orang-orang Eropa yang terus berdatangan ke kota ini di tengah semangat mereka menemukan dunia baru dan mencari kekayaan.
Membangun Bandung sebagai kota pelesiran dicetuskan Pieter Sijthoff, salah satu pendiri lembaga Perhimpunan untuk Keuntungan Bandung dan sekitarnya pada 1898. Anggota konsorsium terdiri dari bupati Bandung, pengusaha, guru, tokoh masyarakat, dan orang-orang berpengaruh lainnya.

Kumpulan Artikel Soal Bandung
Buku “Jejak Jejak Bandung” bukan buku sejarah utuh, melainkan kumpulan artikel yang masing-masing berdiri sendiri namun bisa saling berkaitan. Ia mengulas banyak peristiwa sejarah yang terjadi di Bandung, mulai sejarah Lapangan Tegallega, pekan raya Jarbeurs, film bisu, sampai tradisi ngabuburit bulan puasa.
Saat membahas Tegallega, Atep memaparkan bahwa dulu lapangan ini adalah tempat pacuan kuda. Belanda menyebutnya Tegallega Raceterrein atau Lintasan Balap Tegallega.
Pada artikel lain, Atep mengulas peristiwa sejarah tentang kongres Bahasa Sunda pertama tahun 1924. Kegiatan ilmiah di masa lalu ini berlangsung di Pendopo Kabupaten Bandung yang digagas Java Institut dan dihadiri empu-empu Bahasa Sunda seperti Rd. Poeradiredja, M Soeriadiredja, Mangoendikaria, Rd Hassan Soemadipradja, Rd Djadjadiredja
Atep juga membahas jejak Konperensi Asia Afrika dalam karya sastra seniman Sunda. Menurutnya, seniman Sunda peka terhadap peristiwa besar dan penting yang terjadi di lingkungannya. Salah satu jejak kepekaan itu dapat dilihat dari adanya lirik lagu berjudul “Konperensi A.A” yang dilantunkan sinden masyhur Upit Sarimanah.
Rumpaka “Konperensi A.A” yang diabadikan dalam sekeping piringan hitam anonom atau tidak ada penciptanya. Namun Atep menelusuri siapa pencipta rumpaka, yakni Mang Koko, seniman pencipta lagu-lagu Sunda.
Ia lalu mengulas silsilah Konperensi A.A yang penulisannya dengan huruf “p”, bukan “f”. Karena memang dari sananya sudah begitu. Bahwa dulu sejak awal konferensi yang mengguncang dunia dan berlangsung tahun 1955 itu, Konferensi Asia Afrika resmi ditulis Konperensi AA, sesuai judul rumpaka lagu Sunda Konperensi A.A.
Di lain bab, ia menyajikan 6 artikel tentang para tokoh yang terlibat dalam sejarah Bandung, mulai dari Hasan Mustapa yang namanya kini diabadikan sebagai nama jalan di bilangan Suci, sampai Soekarno, Presiden pertama RI. Soekarno dikenal banyak terlibat di Bandung, mulai dari kuliahnya di ITB, aktivitas politiknya bersama PNI, sampai kisah cintanya dengan Inggit Garnasih.
Profil Atep Kurnia
Atep Kurnia adalah penulis dan peneliti mandiri. Sebelumnya ia sempat bekerja di pabrik tekstil sebelum banting setir menjadi penulis. Aktivitasnya di pabrik maupun sebagai penulis, menuntutnya pulnag pergi antara kampungnya di Cikancung, Kabupaten Bandung, dan Kota Bandung. Namun Atep lahir di Bandung 10 Mei 1979.
Literasi menjadi satu dari sekian daya tarik yang dimiliki Kota Bandung, bagi Atep. Sejak dulu hingga kini Bandung menjadi “gudang” buku, baik yang baru maupun bekas. Banyak tempat-tempat di Bandung yang terkenal karena lapak bukunya.
Pria yang produktif menulis dalam bahasa Sunda itu juga sering mengikuti kegiatan-kegiatan berkaitan dengan budaya Sunda. Hasil aktivitas kepustakaan yang dilakukan Atep berbuah tulisan-tulisan yang tersebar di sejumlah media massa, antara lain di rubrik Khazanah Pikiran Rakyat dan rubrik Anjungan pada Kompas yang waktu itu menyediakan halaman khusus untuk edisi Jawa Barat.
Akhirnya, aktivitas literasi tersebut memanggil Atep menulis buku Jejak Jejak Bandung. “Dengan demikian, saya kemudian menjadi punya kesempatan untuk menjelajahi sisi menarik mengenai Bandung yang barangkali belum disentuh penulis sebelumnya atau sekadar menambah hal baru pada hal yang sudah ada sebelumnya,” ungkap Atep Kurnia, dari kata pengantarnya.
Kata “jejak” akan membawa pada pengertian “bekas yang menunjukkan adanya perbuatan dan sebagainya yang telah dilakukan”. Bila dikaitkan dengan kata “Bandung”, akan sampai pada pengertian tentang adanya bekas-bekas yang memperlihatkan peristiwa, pengalaman, pemikiran, dan perasaan yang berpautan dengan Bandung di masa lalu.
Buku ini bisa diperoleh di sejumlah toko buku, antara lain, Lawang Buku, atau menghubungi penulisnya langsung melalui Instagram atau email [email protected].
Informasi Buku
Judul: Jejak Jejak Bandung
Penulis: Atep Kurnia
Penerbit: ProPublic
Cetakan: 25 September 2020