• Foto
  • Deru Campur Debu

Deru Campur Debu

Balapan kuda di Tanjungsari, Sumedang, berlangsung di bawah terik matahari kemarau panjang. Menggambarkan kondisi rawan bencana krisis air bersih yang berbahaya.

Fotografer Prima Mulia4 November 2023

BandungBergerak.idDebu pekat menutup hamparan tanah kering dengan ketebalan antara 3 sampai 5 centimeter. Debu halus itu berhamburan ke udara saat ladam-ladam besi menghujam jalur tanah kering, berusaha mendapat cengkeraman yang kuat saat bayangan melesat dalam kabut berwarna kecoklatan. Jalan napas seperti tercekik saat debu beraroma tanah menembus masker medis 4 lapis yang dipakai.

Terik matahari musim kemarau jadi pengiring lima ekor kuda yang berpacu dalam balutan debu di Desa Raharja, Kecamatan Tanjungsari, Sumedang, 24 September 2023. Balapan kuda bertitel Cibogo May One Weekend Race ini menyedot animo masyarakat, mereka datang berbondong-bondong dari berbagai kampung.

Dari kejauhan, ratusan payung warna warni menghiasi pinggiran arena balap. Payung jadi satu-satunya penangkal terik yang ampuh, kendati suhu udara waktu itu di atas 33 derajat Celsius, padahal Tanjungsari adalah dataran tinggi.

Panitia melalui pengeras suara berkali-kali meminta agar para penonton yang berdekatan dengan arena balap untuk menutup payungnya saat start akan dimulai. Ternyata ratusan payung yang terbuka membuat kuda takut, bisa menghambat hentakan kuda di garis start.

Begitu bendera hijau dikibarkan, kuda-kuda itu melesat cepat berbalut kabut debu. Penonton bersorak girang memberi semangat untuk jagoannya. Joki paling depan lebih beruntung memiliki jarak pandang luas, meninggalkan rivalnya sekitar 1-2 meter di belakang yang hilang ditelan debu pekat.

Selesai satu race para pemenang akan diberi waktu beberapa menit untuk melakukan selebrasi. Pemilik kuda akan menunggangi kuda juara sambil diiringi pertunjukan langsung orkes dangdut dan tentu saja saweran-saweran.

Lima puluh joki dari berbagai kelas dengan jumlah kuda lebih dari 100 ekor berpartisipasi dalam balap kuda yang diikuti para pembalap dari beberapa kota di Jawa Barat termasuk dari luar Jawa Barat.

"Kalau jaraknya berdekatan jarak pandang masih bagus, tapi kalau berjarak sampai dua panjang kuda (sekitar 4-5 meter) sulit dengan cuaca seperti sekarang, debu tebal menghalangi jarak pandang. Harus di posisi depanlah jangan sampai ada di belakang. Saya hanya pakai google, tapi hidung kan nggak terlindungi jadi sesek juga buat napas, risiko balapan saat kemarau," kata Prayoga (22 tahun) dari stable Aragon asal Lembang. Ia berhasil meraih podium ke dua di kelas 800 meter.

Bulan sebelumnya, di Desa Kayuambon, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, juga digelar balap kuda kampung, tepatnya pada tanggal 31 Agustus 2023. Arena pacuan kuda di Lembang lebih kecil, satu putarannya sekitar 600 meter, terhimpit rumah-rumah warga. Di tengah arena pacuan malah sudah jadi kebun palawija.

Uniknya, pacuan kuda kampung di Lembang diikuti oleh 67 ekor kuda milik para pemilik kuda tunggang atau ojek kuda di kawasan wisata. Balap kuda kampung ini juga disesaki para penonton dari mana-mana. Apalagi bagi warga sekitar Lembang yang sangat antusias nonton di sisi arena, di loteng-loteng rumah, emperan gang, sampai di kebun-kebun sayuran, pokoknya pandangan bisa langsung ke arah arena balap. Panas terik dan debu tebal tak jadi soal. Yang penting ramai-ramai nonton. Balap kuda di Lembang ini terakhir digelar tahun 2017.

Suasana balap kuda di Lembang sama seperti di Sumedang, kuda-kuda berpacu dalam balutan debu, di tengah terik matahari musim kemarau. Fenomena El Nino semakin membuat suhu udara panas dan lembap. Desa di dataran tinggi Bandung utara ini suhu udaranya di atas 30 derajat celsius.

Nomor-nomor yang dipertandingkan juga sama, 600 meter, 800 meter, dan 1.200 meter. Tingkah laku para penonton, joki, dan kuda-kuda pacu itu kerap mengundang tawa. Seperti kuda yang kaget saat bendera start dikibar, kudanya diam tak mau lari, sampai harus dihalau dengan keras oleh petugas (steward).

Ada juga yang kelelahan baik jokinya maupun kudanya. Beberapa kali joki yang kelelahan malah jatuh ke tanah. Kuda yang kelelahan biasanya tak mau lagi dipacu, malah kudanya berjalan santai menghampiri penonton. Yang lebih ekstrem lagi di garis finis, penonton malah merangsek sampai pinggir lintasan demi menyambut jagoannya tiba di garis akhir, jarak mereka paling sekitar 1,5 meter saja dari kuda yang berlari kencang.

"Dapat juara 1 di kelas 800 meter sama si Gatot, hanya sempat latihan sama si Gatot selama seminggu," kara Ryan (23 tahun) seorang pemuda Desa Kayuambon. Setiap akhir pekan Ryan bersama si Gatot menawarkan wisata kuda tunggang di sebuah hotel di Bandung.

Jika di arena balap kuda level kompetisi nasional jalur balapnya berupa rumput atau tanah lembap tak berdebu, maka di Tanjungsari dan Lembang kebalikannya. Rumput saja enggan tumbuh, apalagi tahun ini masuk fase kemarau panjang. Sumedang dan Kabupaten Bandung Barat masuk dalam daerah yang rawan terdampak kekeringan.

Bicara dampak kemarau panjang, 18 kecamatan di Sumedang mengalami krisis air bersih. Kabupaten ini dilaporkan mengalami penyusutan sumber air sampai 70 persen selama kemarau. Di Kabupaten Bandung Barat, sedikitnya 1.334 hektare lahan sawah dan pertanian mengalami kekeringan, krisis air bersih juga melanda desa-desa di beberapa kecamatan.

Kondisi inilah yang membuat balapan kuda level kampung di Tanjungsari dan Lembang begitu gamblang menggambarkan iklim saat ini. Mereka berpacu dalam debu, siapa paling depan dia dapat pandangan jelas, dan dapat udara lebih segar. Sesegar air berwarna merah, kuning, biru, dengan bongkahan kubus es dalam gelas plastik tertutup rapat yang dijajakan pedagang di tengah terik surya berbalut debu kecoklatan ; 5.000 rupiah per gelasnya.

*Foto dan Teks: Prima Mulia. Kawan-kawan yang baik juga bisa menengok Cerita Foto BandungBergerak.id lainnya 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//