• Berita
  • Bencana Kekeringan Melanda 23 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat, Mengancam Sawah di Kabupaten Bandung

Bencana Kekeringan Melanda 23 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat, Mengancam Sawah di Kabupaten Bandung

Musim kemarau yang memicu kekeringan diperparah pemanasan global dan perubahan iklim. Pertanian paling terdampak.

Sungai Ciminyak di Cililin, Kabupaten Bandung Barat, 29 Agustus 2023, mengering. Sungai ini bagian dari genangan Waduk Saguling yang debit airnya terus susut. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana12 Oktober 2023


BandungBergerak.idBencana kekeringan melanda sejumlah daerah di Jawa Barat. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar sejak Januari sampai 10 Oktober 2023, ada 23 kabupaten dan kota terdampak kekeringan dan kekurangan air bersih yang mencakup 287.288 kepala keluarga.

Dampak kekeringan ini juga mengancam sawah di Kabupaten Bandung. Pemanasan global yang memicu perubahan iklim membuat pertanian dalam posisi rentan.

Di Kota Bandung, Senin, 9 Oktober 2023 lalu, warga termasuk ASN Pemkot Bandung melaksanakan salat minta hujan (istisqa) atau salat minta hujan di halaman Balai Kota Bandung. Warga berdoa agar kemarau panjang segera berakhir dan turun hujan.

Adapun 23 daerah kekurangan air bersih yakni Kota/Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kota/ Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Cimahi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Kuningan, Kota Depok, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Indramayu, Kota/Kabupaten Cirebon, Kabupaten Subang, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Pangandaran, dan Kabupaten Bandung.

Sementara daerah terdampak kekeringan dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terjadi di 22 kabupaten dan kota. Sedangkan, lahan pertanian yang terbakar mencapai 861,3 hektare.

“Kebakaran hutan dan lahan di 22 kabupaten dan kota sebagian besar bisa tertangani dengan kerja sama semua pihak terkait,” kata Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jabar Ika Mardiah, dikutip dari siaran pers.

Kekeringan Menerjang Sawah di Kabupaten Bandung

Bencana kekeringan juga melanda sawah di Kabupaten Bandung. Kepala Distan Kabupaten Bandung Ningning Hendasah memaparkan kekeringan ini diperparah fenomena El Nino yang terjadi akibat adanya pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normal. Hal ini berakibat pada kurangnya curah hujan di wilayah Indonesia secara keseluruhan sehingga terjadi peningkatan risiko kekeringan, terganggunya stok air bersih, dan layanan irigasi pertanian, hingga ancaman gagal panen akibat kekeringan.

Ningning menyebutkan, lahan pertanian rawan kekeringan adalah sawah yang ditanami padi satu kali atau dua kali dalam setahun. Berdasarkan SP Lahan BPS tahun 2022, jumlah lahan rawan tersebut seluas 23.712 hektare atau 76 persen dari total luas penggunaan lahan sawah yang ada di Kabupaten Bandung.

Data tersebut menjadi kabar buruk karena selama lima tahun terakhir, luas panen padi dan produksi padi di Kabupaten Bandung terus mengalami penurunan, yakni berkisar antara 0,5 persen hingga 5,8 persen. Meskipun begitu, produktivitas padi mengalami peningkatan sebesar 0,01 persen hingga 0,60 persen.

Ia mengklaim Pemkab Bandung telah gerak cepat untuk mengurangi dampak kekeringan.

“Setelah dihitung, potensi dampak El Nino pada lahan pertanian di Kabupaten Bandung sendiri diperkirakan mencapai 2.162 hektare. Kami juga telah mengambil berbagai langkah strategis, seperti optimalisasi alat dan mesin pertanian, percepatan tanam padi, pengembangan budidaya padi organik, gerakan tanam padi dan jagung, serta pengajuan bantuan alat pertanian ke Kementerian Pertanian,” jelas Ningning, dikutip dari laman resmi yang diakses Kamis, 12 Oktober 2023.

Pihaknya juga terus melakukan pemantauan di area rawan kekeringan serta menggencarkan sosialisasi tentang penanganan dampak El Nino melalui media sosial ataupun melalui program musyawarah bupati bersama masyarakat tani (MUPAKAT).

Warga menjaring ikan di Sungai Citarum yang kotor. Debit air Citarum terus menyusut, Minggu (23/7/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Warga menjaring ikan di Sungai Citarum yang kotor. Debit air Citarum terus menyusut, Minggu (23/7/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Pengaruh Nyata dari Pemanasan Global

Fenomena el nino yang memperparah musim kemarau tahun ini tidak lepas dari pemanasan global yang dipicu aktivitas manusia. Fitri Kurniawati dari Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung menjelaskan, pemanasan global akibat kegiatan antropogenik (manusia) berdampak pada perubahan iklim global.

Badan dunia yang bertugas memonitor isu ini yaitu Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa antara tahun 1750 dan 2005 konsentrasi karbon dioksida di atmosfer telah meningkat dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun. Sejak itu terus meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun.

Akibatnya, pada tahun 2100 nanti suhu global dapat naik antara 1,8 hingga 2,9 derajat (UNDP Indonesia, 2007). Indonesia mengalami banyak peristiwa yang sudah terjadi sebagai dampak dari perubahan iklim, seperti: perubahan pola dan distribusi curah hujan; meningkatnya kejadian kekeringan, banjir dan tanah longsor; menurunnya produksi pertanian/gagal panen, meningkatnya kejadian kebakaran hutan, meningkatnya suhu di daerah perkotaan, serta naiknya permukaan air laut.

Menurut Balitbang Pertanian (BBSDLP, 2011) sektor pertanian adalah yang paling terancam, menderita, dan rentan terhadap perubahan iklim.

“Perubahan iklim  berdampak sangat nyata terhadap produksi pertanian bahkan gagal panen, terutama tanaman pangan dan hortikultura,” Fitri Kurniawati, dikutip dari tesis “Pengetahuan dan Adaptasi Petani Sayuran terhadap Perubahan Iklim” (2012).

Baca Juga: Perempuan Bandung Barat dalam Cengkeraman Krisis Air Bersih
Bencana Kekeringan belum Beres Terkelola, Banjir di Musim Hujan sudah Mengancam Bandung
Sektor Pertanian Jawa Barat Dianaktirikan Pembangunan, semakin Terpuruk karena Kekeringan

Tanaman pangan dan hortikultura umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap kelebihan dan kekurangan air. Tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global yang berdampak terhadap sektor pertanian adalah: perubahan pola hujan dan iklim ekstrim (banjir dan kekeringan); peningkatan suhu udara; dan peningkatan muka laut.

Pemanasan global memicu kejadian iklim ekstrem, antara lain menyebabkan: kegagalan pertumbuhan dan panen yang berujung pada penurunan produktivitas dan produksi; kerusakan sumber daya lahan pertanian; peningkatan frekuensi, luas, dan bobot/intensitas kekeringan; peningkatan kelembaban; dan peningkatan intensitas gangguan organisme pengganggu tanaman.

Di beberapa wilayah di Indonesia gejala perubahan iklim mulai dirasakan, di antaranya: musim kemarau yang berlangsung dari tahun ke tahun semakin panjang, dan musim penghujan dengan intensitas yang lebih tinggi, tetapi waktunya lebih singkat serta bergeser dari waktu yang biasanya.

“Akibatnya, para petani tidak lagi bisa memprediksi musim tanam secara akurat. Para petani pun tidak bisa lagi menggunakan pengetahuan lokal mereka dalam memprediksi musim,” terang Fitri.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Iman Herdiana, juga artikel-artikel lain tentang Kekeringan dan Krisis Air Bersih

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//