Pedagang Kecil Minggir
Demam Piala Dunia U-17 di Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung, tak dirasakan warga kampung atau pedagang kecil.
Demam Piala Dunia U-17 di Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung, tak dirasakan warga kampung atau pedagang kecil.
BandungBergerak.id - Ujang termangu di pinggir jalan seberang ujung Stadion Si Jalak Harupat, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung, 14 November 2023. Aksesori sepak bola yang ia jual, tampak utuh. Lalu lalang suporter sepak bola hanya lewat saja. Satu dua orang ada yang berhenti tapi tidak berbuah transaksi.
Ujang seperti hilang harapan bakal menuai untung di perhelatan Piala Dunia U-17 yang digelar di empat stadion besar di Indonesia, salah satunya di Si Jalak Harupat ini.
Ia sudah mulai berjualan aksesori seperti syal sejak pembukaan tanggal 10 November lalu. Tadinya ia berharap syal yang dibanderol antara 65.000-135.000 rupiah per helai ini bakal disambut para suporter. «Tapi sampai hari ke-5 sekarang belum ada yang terjual," kata pria 48 tahun ini.
Ujang memang tidak menjual produk-produk resmi FIFA atau sponsor. Ia hanya pedagang musiman yang rutin berdagang aksesori sepak bola jika ada pertandingan di Si Jalak Harupat. Namun ia jadi potret keterwakilan warga kampung sekitar stadion yang tidak bisa memanfaatkan event internasional ini untuk sekadar menambah sedikit pendapatan ekonomi mereka.
Satu kilometer sebelum stadion masih belum terasa gaung kejuaraan dunia sepak bola di level yunior ini. Baru setelah masuk jalanan persis di depan stadion dan akses keluar tol, spanduk-spanduk dan baliho besar kejuaraan dunia sejagat ini mulai terasa.
Pengamanan cukup ketat. Tak boleh ada kendaraan parkir di bahu jalan, yang tidak memiliki stiker parkir khusus dari panitia hanya boleh parkir di gedung Pemerintah Kabupaten di Soreang. Panitia menyediakan shuttle bus dari sana ke stadion.
Larangan PKL berjualan terpasang di sepanjang trotoar depan stadion. Spanduk larangan masuk untuk masyarakat yang tak memiliki tiket atau kartu identitas dari FIFA terpasang di gerbang stadion paling luar. Tidak diperkenankan membawa makanan dan minuman dari luar, petugas akan memeriksa isi tas bawaan penonton yang masuk.
Warung-warung di depan stadion ikut merasakan minimnya pemasukan dari jualan makanan ringan dan minuman karena larangan tersebut. Penonton hanya boleh membeli makanan, minuman, atau souvenir di gerai-gerai resmi yang sudah terdaftar. Bayarnya cashless atau pembayaran secara digital. Bahkan sampai pedagang-pedagang asongan resmi juga sistem pembayarannya dilakukan secara digital memakai kartu debit atau kredit yang harus ada logo salah satu sponsor resmi piala dunia.
"Masa sampe tukang kopi keliling aja gak boleh masuk sini. Padahal kopi itu jualan paling banyak dicari penonton,” kata Deni Denaswara, salah seorang jurnalis yang tengah istirahat saat jeda babak pertama antara Jerman versus Meksiko.
Deni juga mengeluhkan mahalnya harga-harga makanan di sekitar Si Jalak Harupat. Sepotong ayam goreng dengan nasi harganya mencapai 50.000 rupiah. Padahal harga rata-rata menu ayam dan nasi di Bandung hanya 15.000 rupiah saja, malah banyak rumah makan padang yang menawarkan paket ayam 13.000 rupiah.
Pemerintah optimis event sepak bola level dunia ini bakal mendongkrak kunjungan warga asing di sektor pariwisata. Juga diharapkan event ini bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat salah satunya berupa peluang usaha bagi pelaku-pelaku usaha kecil.
Faktanya, warga kampung di sekitar stadion kesulitan untuk menggali potensi ekonomi dari perhelatan ini. Perputaran uang hanya bisa dilakukan di jalur resmi atau oleh pihak sponsor secara eksklusif.
Ada 52 pertandingan yang digelar di seluruh stadion dengan harga tiket antara 100.000 sampai 250.000 rupiah. Hitung-hitungan pemerintah dari tiket saja diperkirakan akan terjual 20.000 tiket per pertandingan dengan asumsi harga tiket termurah yaitu 100.000 rupiah. Jadi dalam satu pertandingan ditargetkan mengatongi 2 miliar rupiah. Di Stadion Si Jalak Harupat, jumlah penonton rata-rata tak lebih dari 10.000 penonton per pertandingan.
Jalannya pertandingan di setiap laga berlangsung sangat seru. Walau penonton relatif sepi, tapi aksi-aksi para pemain sepak bola berbakat di usia muda ini sangat memukau. Rata-rata setiap tim bermain sangat cepat, akurat, dan hebat. Khususnya Argentina, Senegal, dan Jerman, skill individu dan strategi kolektifnya memukau.
Cuaca di musim peralihan dari kemarau panjang ke hujan juga mewarnai jalannya laga. Sesekali pertandingan digelar di bawah cuaca mendung dengan awan hitam menggantung. Beberapa kali pertandingan ditunda karena cuaca ekstrim, hujan sangat lebat mengguyur stadion. Besoknya cuaca bisa sangat cerah dengan suhu udara cukup menyengat.
Meminggirkan Pedagang Kecil
Sampai tanggal 15 November 2023, suasana di luar area stadion masih sama. Petugas memantau dengan ketat untuk memastikan tak ada pedagang yang berjualan di sana. Halaman-halaman rumah yang biasa dipakai untuk parkir kendaraan penonton pun ikut ditertibkan. Jasa parkir dadakan yang biasanya bisa diandalkan untuk menambah pendapatan kali ini tak lagi menjanjikan.
Hari itu, tak terlihat lapak akesori sepak bola milik Ujang di seberang stadion. Mungkin ia merasa pesta sepak bola kelas dunia ini tak berpihak pada pedagang kecil seperti dirinya. Bahkan tak ada keriuhan anak-anak kampung sekitar yang biasanya ketularan demam sepak bola dunia ini, padahal ada nama besar Argentina, Jerman, Jepang, Meksiko, Senegal, Polandia, Selandia Baru, dan Venezuela yang berlaga.
*Foto dan Teks: Prima Mulia
COMMENTS