• Foto
  • Reak Bocah Sunat

Reak Bocah Sunat

Seni erak mengandung makna konservasi lingkungan. Prosesi yang mewarnai hajatan sunatan mengingatkan manusia untuk menjaga alam.

Fotografer Prima Mulia18 Mei 2024

BandungBergerak.idBeberapa anak mengelilingi topeng bangbarongan atau topeng berokan yang tersimpan di atas alat tabuh dogdog di pelataran rumah Enjang Dimyati yang akrab disapa Abah Enjum. Rumah sekaligus sanggar seniman reak ini terletak di Kampung Jati, Kelurahan Pasir Biru, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, 16 Mei 2024.

Jari-jari mereka menyentuh bagian rambut dan kepala bangbarongan yang berkabut asap kemenyan. Anak-anak itu berlarian setelah sejumlah orang dewasa mulai duduk di pojokan rumah. Dinding rumah sudah berhias bendera merah putih, lambang garuda Pancasila, jajanan pasar yang digantung, dan buah pisang.

Abah Enjum, pegiat kesenian padepokan Reak Tibelat, mulai menebar kemenyan di atas bara pedupaan. Di hadapan pria berusia 49 tahun ini terhampar sesaji atau sajen seperti buah kelapa, daun hanjuang, pisang, air dari mata air Gunung Manglayang dalam kendi tanah liat, telur ayam kampung, kembang setaman, dan beberapa jenis sesaji lainnya.

Abah Enjum mulai memanjatkan doa untuk memulai prosesi mapag panganten sunat hari itu. Kebetulan akan ada arak-arakan reak pengantin sunat yang akan digotong di atas jampana lalu diarak keliling kampung menuju pelaminan pengantin sunat.

Arak-arakan reak mengiringi bocah laki-laki yang baru disunat merupakan tradisi turun temurun di kawasan Bandung timur.

Di gang depan rumah, para seniman reak dengan pakaian berwarna cerah merah kuning biru juga mulai melakukan persiapan. Mereka membawa jampana, alat tetabuhan dogdog, dan bangbarongan. Anak-anak perempuan mulai bersiap jadi pengiring dengan besek bunga yang akan ditabur sepanjang jalan menuju pelaminan. Bocah sunat pun akhirnya diarak naik jampana dengan iringan reak.

Sesampainya di tenda pelaminan, bocah sunat disambut tamu undangan yang ikut menari dengan iringan dogdog. Semakin lama para undangan semakin dekat ke pelaminan, rupanya mereka menunggu waktu saweran. Orang tua anak yang dikhitan mulai melempar saweran berupa uang kertas dan logam ke udara, termasuk permen. Riuhlah tenda pelaminan itu dengan sorak sorai orang dewasa dan anak-anak yang berebut menangkap saweran.

Saat ini tak banyak lagi prosesi pengantin sunat yang diarak keliling kampung dengan iring-iringan reak. Sungguh kebetulan bisa dua kali menyaksikan atraksi reak mengiringi sunatan. Pertama, pada tahun 2023 di kawasan Cikaso yang waktu itu ada reak rajawali, dan kedua tahun 2024 ini di Kampung Jati.

Seni tradisi reak ditanggap seperti fungsinya di masa lalu. Saat ini kebanyakan seni reak kerap digelar di acara festival budaya atau sebagai atraksi wisata saja.

Abah Enjum memastikan tradisi reak yang mengiringi sunatan adalah warisan masa lalu. Hajatan ini seperti mengembalikan seni reak ke fungsinya yang awal. Dalam tradisi ini juga terdapat nilai-nilai konservasi lingkungan.

Abah Enjum memberi contoh, penganten sunat di masa lalu subuh-subuh dibawa ke seke dan mandi di sana. Tentu air di seke harus berlimpah dan selalu terjaga kesuciannya atau bebas dari pencemaran dan kerusakan lingkungan atau hutan. Tradisi ini mengingatkan bahwa air yang berlimpah berperan penting bagi sawah, kebun, dan perkampungan.

Nilai menjaga lingkungan selalu diterapkan setiap helaran reak. Para seniman atau kru tidak buang sampah sembarangan, yang nonton juga harus begitu.

“Kan kalau ada sampah akibatnya buruk untuk lingkungan, dan para pemainnya saling mengingatkan. Jika ada yang menyampah kawannya yang lain akan mengumpulkannya," kata Nadia, siswi Madrasah Aliyah Negeri 2 berusia 16 tahun, yang saat itu ikut mengiringi bocah sunat.

"Ini semua berkenaan dengan lingkungan. Dalam sajen itu berkenaan dengan lingkungan, ada kelapa hanjuang itu lekat dengan ekologi. Ini kitab yang harus dibaca, dalam sajen itu sastra, jendra, hayuningrat. Sastra di sini bukan hanya yang ditulis tapi harus yang dibaca, erat sekali kaitannya dengan ekologi,” terangnya.

Kesenian tradisi itu selalu merespons alam, bagaimana caranya merawat hutan, merawat seke (mata air), salah satunya dengan mengedukasi anak-anak di sekolah-sekolah dengan kegiatan reak masuk sekolah. Yang dikenalkan bukan tentang kesurupan, sajen, kemenyan, dan sebagainya, tapi bagaimana mengedukasi dan membentuk karakter anak-anak itu melalui kesenian tradisi yang berkaitan dengan ekologi.

“Seperti air yang tadi dipakai untuk prosesi pembukaan, itu diambil dari mata air di Gunung Manglayang yang masih sangat terjaga, namanya seke panggulaan, nah kita-kita ini yang harus menjaga mata air tersebut dengan cara merawat hutan ayang ada di Manglayang," kata Abah Enjum.

Jadi, kesenian reak itu bukan hanya soal kesurupan, tapi sebagai seni tradisi buhun khas daerah agraris yang tentu saja berkaitan dengan keberlanjutan dan konservasi  lingkungan, seperti yang disebut Abah Enjum bahwa kesenian tradisi selalu merespons alam. Maka, pemuda pemudi Kampung Jati kerap melakukan prosesi adat ruwatan di Gunung Manglayang, ada edukasi tentang konservasi di sana. 

*Foto dan Teks: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//