Kolaborasi Seniman dan Dosen Unpar dalam Mendigitalisasi Seni Reak
Padepokan Bumi Ageung Saketi berkolaborasi dengan kalangan akademik dari kampus Unpar, Bandung. Seni reak mendapat sentuhan digital.
Penulis Virliya Putricantika2 Oktober 2023
BandungBergerak.id - Menjaga kebudayaan tidak hanya dibebankan pada satu kelompok pegiat saja. Namun perlu kerja bersama antara masyarakat dan kalangan akademik. Hal ini berlaku juga pada eksistensi kesenian reak yang memerlukan sentuhan zaman.
“Hasil karya kersa cipta kolot baheula nu kedah di mekarkeun ku urang ayeuna jeung kudu bisa ngigelkeun zaman (Karya hasil ciptaan orang tua zaman dulu itu seharusnya dikembangkan sama kita zaman sakarang dan harus bisa mengikuti zaman),” ucap Enjang Dimyati (48 tahun) yang lebih dikenal Abah Enjum, seniman reak, dalam diskusi “Nyipuh Pangaweruh: Nyorèang Reak ka Tukang, Nyawang Reak nu Bakal Kasorang (melihat reak yang dulu, melihat reak di masa yang akan datang), Sabtu, 30 Sabtu 2023.
Diskusi ini berlangsung di Padepokan Bumi Ageung Saketi, sanggar seni reak pimpinan Abah Enjum yang hari itu mengenakan totopong (iket kepala khas sunda) berwarna putih. Acara berlangsung di atas tikar anyaman bambu. Pangsi hitam dan kain batik menjadi pakaian yang palik banyak digunakan peserta anggota sanggar maupun kalangan akademik.
Menurut Abah Enjum, reak sempat dicap sebagai seni arogan. Di tengah stigma negatif, reak terus bertahan dan beradaptasi dari tahun ke tahun. Reak berhasil memiliki ruangnya sebagai kesenian, khususnya seni reak dari Bumi Ageung Saketi.
Abah Enjoem mengatakan, era digitalisasi yang terus berkembang tidak serta merta menghentikan perkembangan seni reak. Dalam perjalanannya, para pelaku seni reak terus menjaga tradisi dan berpikir kritis pada aturan yang sudah ada.
Tantangan lain yang dihadapi eksistensi kesenian reak adalah kebutuhan akan penerus dari kawula muda. Keterbatasan regenerasi ini memang menjadi fenomena umum bagi kesenian Sunda atau tradisional.
Belum lagi kesenian tradisional ini juga menghadapi selera pasar. Bahkan seni reak masih dipandang sebagai kesenian yang hanya sebatas untuk meramaikan suasana atau kegiatan, tanpa melihat kedalaman maknanya.
“Sepertinya ini menjadi PR (pekerjaan rumah) kita bersama, untuk mengerahkan para generasi muda ini dan memberikan suatu pendidikan (seni) sejak dini,” tutur Bunga Dessry, akdemikus seni yang turut merancang Peraturan Daerah Kota Badung No.5 Tahun 2012.
Mamanfaatkan Teknologi
Perkembangan teknologi bukan pantangan bagi keberlangsungan seni reak. Tahun 2023 ini, Padepokan Bumi Ageung Saketi berkolaborasi dengan Tim Peneliti Hibah Dikti Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, untuk memanfaatkan teknologi dalam pembangunan infrastuktur pendidikan kesenian reak.
Kolaborasi tersebut diharapkan menjadi awalan dalam menjembatani kesenian tradisional dengan generasi muda. Kolaborasi menghasilkan beberapa produk dengan pendekatan digital, mulai dari situs resmi bumiageungsaketi.com, kamus reak dengan tiga bahasa (bahasa Sunda, Indonesia, Inggris), dan tarian Ibing Jalukraharja.
“Kami penginnya ada program reak masuk sekolah,” cerita Kristining Seva, pemimpin Program Hibah Pengabdian Dikti. “Kami akan lakukan bulan November nanti.”
Seva bercerita, padepokan berlokasi di kawasan Cibiru, Bandung timur, itu telah mengalami banyak situasi dan kondisi selama mengembangkan seni reak. Mereka tentunya membutuhkan bantuan termasuk pengembangan infrastruktur yang menopang kegiatannya.
Upaya melindungi dan mendukung kelestarian budaya sendiri sudah tercantum dalam undang-undang pemajuan kebudayaan. Karena itu, kesenian reak perlu dilestarikan dan disebarluaskan.
Baca Juga: Mahasiswa Asing Belajar Seni Reak Demi Bisa Kesurupan
Menjaga dan Melestarikan Budaya Reak Melalui Media Digital
Sawah di Bandung Hilang, Seni Reak Kian Langka
Nyipuh Pangaweruh
Nyipuh Pangaweruh merupakan agenda rutin di Padepokan Bumi Ageung Saketi. Tahun ini, kegiatan berlangsung dua hari, 29-30 September 2023. Hari pertama dimulai dengan pantun Sunda dan ruwat rumawat pusaka (membersihkan benda pusaka). Pergeseran makna akan benda yang sudah berusia tua ini perlu dikembalikan ke semula, yakni kembali ke makna yang ada dalam benda itu sendiri. Hari kedua diisi kegiatan diskusi dan pertunjukan seni tari Ibing Jalukraharja.
Beberapa kegiatan lain yang kerap diselenggarakan Padepokan Bumi Ageung Saketi di antaranya, sekolah nonformal untuk anak, kajian dan diskusi naskah Sunda kuna, pelestarian lingkungan, dan lain-lain. Melalui beragam agenda tersebut diharapkan kesenian Sunda dapat terus berkembang seiring perkembangan teknologi.
“Memang punya cita-cita, mudah-mudahan tidak muluk. Pertama pengin seni tradisi ini tetap lestari dan kedua ingin berkembang,” tutur Topik Mulyana, Pupuhu Padepokan Bumi Ageung Saketi.
* Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Virliya Putricantika, atau artikel-artikel lain tentang seni reak