Melukis Nasib Jelekong
Menengok Kampung Jelekong, Kabupaten Bandung. Beberapa warga setia dengan lukisan-lukisannya. Yang lainnya gulung tikar disapu zaman.
Menengok Kampung Jelekong, Kabupaten Bandung. Beberapa warga setia dengan lukisan-lukisannya. Yang lainnya gulung tikar disapu zaman.
BandungBergerak.id - Jalan kampung di lereng perbukitan sekitar 17 kilometer dari pusat Kota Bandung ke arah selatan itu terasa lengang. Kokok ayam jantan bersahutan terdengar jelas ke seantero kampung, 16 juli 2024. Hari masih cukup pagi saat seorang remaja tampak mengangkat bingkai-bingkai lukisan cukup besar, ukurannya sekitar 150 cm kali 100 cm.
"Mau jemur lukisan mumpung cerah, itu di dalam ada teman-teman lagi ngelukis," kata Dase (35 tahun) sambil menunjuk satu ruangan berdinding tripleks seluas 16 meter persegi. Di sana ada tiga orang pria asyik menggores-gores kuas lukis di atas kanvas berbagai ukuran. Ruangan itu berada di antara rumah dengan halaman yang rimbun oleh pepohonan besar.
Karim (38 tahun) adalah salah satunya. Ia sedang menyelesaikan lukisan bertema perkampungan. Geliat aktivitas pagi para pelukis kampung di studio rumahan tersebut hanya ada Desa Jelekong, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, sebuah kampung pelukis yang juga dikenal sebagai kampung wayang golek Giriharja yang masyhur .
Nama Odin Rohbidin tak bisa dihilangkan dari sejarah terbentuknya kampung lukis Jelekong. Odin membuka studio lukis pertama di Jelekong sekitar tahun 1977. Sejak itu ilmunya diturunkan pada para pemuda kampung. Sampai sekarang pola ini terus bergulir dari generasi ke generasi.
Menjelang akhir tahun 2021 BandungBergerak pernah melipir dan membuat liputan tentang kampung ini. Waktu itu kondisinya terpuruk setelah dihajar pandemi tapi masih banyak studio lukis yang beraktivitas setelah pasar mulai pulih dan pemerintah mulai membuka lagi arus transportasi perdagangan pascapembatasan sosial skala besar.
Tahun 2024 situasinya mulai berubah. Kampung lukis Jelekong kembali berwarna sebagai penghasil lukisan-lukisan murah. Namun saat ini banyak terlihat studio yang nonaktif dan bandar-bandar lukisan yang stop produksi. Beruntung masih ada bandar lukis yang mampu bertahan dan bisa menampung para seniman kampung di Jelekong untuk terus berkarya walau belum seramai dulu.
Kendati secara bisnis masih belum sepenuhnya pulih, kali ini ada fenomena baru di Jelekong yang sedikit banyak mulai mempengaruhi roda ekonomi para bandar lukisan di sana yaitu judi online dan judi togel. Rontoknya beberapa bandar lukisan akibat modalnya tergerus ke hal lain, disinyalir akibat judi online dan togel.
"Ada bandar lukisan yang bangkrut karena asyik main judi online dan togel, jadi banyak yang tutup juga studio lukisnya karena modal habis kan. Tapi ada juga bandar-bandar baru yang muncul, jadi pelukis-pelukis di studio yang tutup pindah ke studio milik bandar yang lain. Kalau tukang gambar mah tetap dibutuhkan," kata Karim (38 tahun) sembari menyelesaikan lukisan-lukisan ukuran kecil yang ia patok selesai sebanyak dua kodi per hari.
Salah satu bandar yang tetap bertahan dan semakin berkembang pasarnya adalah Acin (50 tahun). Ia cukup lama bergelut di bidang pemasaran lukisan Jelekong, sudah 15 tahun. "Lukisan-lukisan ini untuk memenuhi permintaan galeri dan art shop di Bali, Surabaya, Medan, Jakarta, dan tentu saja Bandung," kata Acin.
Acin menjual lukisan-lukisannya mulai dari 35.000 rupiah sampai yang 1 juta rupiah untuk ukuran satu kali dua meter. Selain itu, kanvas bodasan (kanvas yang sudah dilapis anti jamur dan cat dasar putih) buatan Jelekong juga diekspor ke Jerman.
Di atap rumah Acin, ada puluhan lukisan cat minyak yang sedang dijemur. Nyaris seluruh bagian atapnya tertutup bingkai lukisan. Hamparan sawah, ladang , dan barisan perbukitan jadi latar yang menyejukan mata di tengah terik sinar matahari.
Sebagian warga Kampung Jelekong berprofesi sebagai pelukis yang diwarisi secara turun-temurun sejak tahun 70-an. Seorang pelukis rata-rata bisa menyelesaikan 3 lukisan besar atau 20 lukisan kecil per hari. Rata-rata upah yang mereka dapat dari melukis sekitar 100.000 rupiah per hari.
Saat musim tanam atau musim panen, para pelukis biasanya rehat sebentar untuk turun ke sawah. Mereka tak melupakan akar budaya mereka sebagai keluarga petani. Jika agak bosan, sejumlah pelukis memilih untuk kerja bangunan dulu. "Kalau sedang jenuh ke bangunan dulu sebulan dua bulan, baru ngelukis lagi," kata Giri (40 tahun).
Lukisan-lukisan Jelekong oleh para tengkulak (istilah mereka untuk pedagang lukisan) didistribusikan ke Jakarta, Bali, Medan, dan Surabaya. Untuk wilayah Bandung lukisan-lukisan Jelekong dengan tema pemandangan alam Parahyangan dan Bali, tema-tema alam seperti satwa dan bunga, abstrak, dan lukisan-lukisan dekoratif, bisa dilihat di galeri seni dan galeri jalanan di kawasan Braga.
*Foto dan Teks: Prima Mulia
COMMENTS