• Foto
  • Binaraga Buruh Jebor

Binaraga Buruh Jebor

Kontes binaraga para buruh Jebor Jatiwangi sudah menginjak tahun ke-10. Mereka merawat budaya tanah sebagai Identitas Jatiwangi, Majalengka.

Fotografer Prima Mulia31 Agustus 2024

BandungBergerak.idTak biasanya suhu udara sore di Majalengka lebih sejuk dari biasanya. Angin cukup kencang semakin menurunkan suhu udara berdebu di pabrik genting Super Bambang, Baturuyuk, Majalengka, 11 Agustus 2024. Baturuyuk adalah salah satu dusun sentra pabrik genting, kenteng, atau genteng Jatiwangi. Walau secara administratif berada di wilayah Kasokandel, sedangkan di Google Maps masuk ke wilayah Dawuan. Sementara warga sekitar tetap menyebutnya masuk wilayah Jatiwangi karena latar sejarahnya.

Angin kencang dan suhu udara dingin semakin menjadi saat hari menggelap. Beberapa warga dan pegiat dari komunitas Jatiwangi Art Factory mulai menyiapkan kursi-kursi dan mengatur tata lampu panggung warna warni menyorot ke setiap sudut.

Selepas magrib warga mulai berdatangan, termasuk para pengisi acara dan peserta kompetisi binaraga antar jebor atau pabrik genting tradisional. Rupanya panggung dengan tata lampu mirip diskotek itu akan dipakai untuk ajang pamer otot pekerja jebor Binaraga Jebor Jatiwangi Cup 2024.

Kompetisi ini hanya boleh diikuti oleh para pekerja jebor di Majalengka. Tahun ini adalah kali ke-10 kontes adu otot ini digelar sejak pertama kali digagas tahun 2015 lalu. Bukan sekadar pamer otot belaka, namun dibarengi dengan menggali sekaligus mengangkat potensi-potensi lain yang berakar pada kebudayaan tanah di Jatiwangi khususnya.

Saat pembukaan, kaum perempuan Kampung Wates pekerja jebor yang menamakan kelompoknya Mother Bank membuka acara dengan aksi senam Jor Bae. Para pekerja jebor pria tak mau kalah, mereka memiliki kelompok ensambel musik terakota atau musik tanah bernama The Talawengkar. Musiknya keren dan unik. Disebut musik tanah karena mereka memainkan alat musik perkusi terbuat dari tanah liat berupa genteng dan pot-pot gerabah, termasuk sejenis alat musik tiup juga dari gerabah. Inilah potensi-potensi baru yang mengusung latar budaya tanah dari Jatiwangi.

Ketika penonton semakin menyemut di lapang penjemuran pabrik genteng Super Bambang, kilatan-kilatan lampu panggung dan strobe semakin liar. Acara puncak pun dimulai, para peserta kompetisi binaraga jebor dipanggil satu persatu untuk menunjukan kemampuan mereka masing-masing. 

Tema kompetisi kali ini adalah Ngojong Antar Dunungan, yaitu setiap binaragawan dari satu jebor harus tampil bersama pemilik atau bos jebor tempat dia bekerja. Uniknya, kali ini si bos yang harus bolak balik mengangkut genteng sebanyak tiga kali, sementara si pekerja atau buruh berperan sebagai bos jebor untuk semalam. Sebagai hadiah atas kerja keras si bos dan anak buahnya, panitia menyediakan dua truk kayu bakar, satu truk tanah liat, dan satu truk pasir sebagai hadiah untuk jebor tempat bekerja si pemenang.

Ini yang kerap memancing gelak tawa penonton, saat si bos jebor harus merasakan apa yang dikerjakan oleh para pekerjanya. Setelah "ngerjain" si bos, para pekerja jebor peserta kompetisi mulai berpose menunjukan otot-ototnya sambil mengangkat tumpukan genteng. Sayangnya waktu unjuk otot mereka tak bisa lama-lama, hanya sekitar dua menitan. 

Di kompetisi tahun-tahun sebelumnya mereka bisa bergaya sampai empat lima menitan. Acara kompetisi binaraga antarjebor ini diakhiri dengan penampilan memukau The Talawengkar yang membawakan beberapa repertoire gubahan mereka.

Usai berkompetisi para pekerja jebor bergegas mengenakan pakaian untuk menahan hawa dingin yang semakin menusuk. Mereka berkumpul di ruang pembakaran genting sambil menikmati soto panas, minuman hangat, dan cemilan lainnya.

"Saya sudah tiga kali ikutan binaraga jebor, kalau menang ya sukur. Tapi kita cari sisi budayanya sajalah. Ini kan produk budaya leluhur kami, kenteng (genting) dan bata yang harus kita lestarikan, makin susah kan sekarang banyak disaingi kenteng-kenteng baja ringan (genting logam)," kata Kono Sutisna, pekerja jebor berusia 44 tahun asal Burujul Kulon.

Dua orang pegiat seni asal Vietnam Bao dan Hami sangat terkesan saat didapuk jadi juri binaraga jebor. "Saya baru pertama kali melihat ada event seperti ini, sangat berkesan," kata Bao. "Luar biasa dan sangat unik, jika ditanya bagaimana penampilan mereka, well semuanya bertubuh sehat dan fit, everybody equally hot," kata Bao, sembari tertawa lepas.

Genting tradisional merupakan produk industri lokal yang sudah menjadi bagian dari identitas Jatiwang. Industri rumahan ini kini mulai terpinggirkan oleh kebijakan nasional tentang Segitiga Rebana. Padahal budaya tanah Jatiwangi dan Majalengka umumnya telah lama menjadi sumber kehidupan warga di sana. Warga Jatiwangi sudah keren dengan budaya tanahnya, tetapi kenapa orang-orang dari pusat menawarkan "kekerenan"yang lain?

Direktur Museum Genteng Jatiwangi Ila Syurkila Syarif mengatakan, jebor-jebor kecil di penjuru Jatiwangi yang tetap bertahan sampai saat ini tidak bisa dipandang sebelah mata. “Jangan-jangan ini yang jadi identitas ekonomi kita. Itu yang kecil yang malah bertahan, mungkin karena tak ada sekat antara bos (pemilik jebor) dan pekerja, hubungannya sangat dekat. Jadi terbentuk ekonomi kekeluargaan," kata Ila Syurkila Syarif.

Sejarah industri pembuatan genting Jatiwangi dimulai di Desa Burujul Wetan sejak tahun 1905. Dua tokoh yang mengawali pembuatan genteng adalah H Umar bin Marup dan Barmawi. Waktu itu Belanda membangun sejumlah infrastruktur termasuk dua pabrik gula besar di sana. Belanda meminta warga untuk belajar membuat genting dan bata untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Sampai akhirnya budaya tanah atau terakota ini jadi poros ekonomi utama rakyat selain pertanian. Dari Jatiwangi menyebar ke Dawuan, Kasokandel, Sukahaji, Ligung, Jatitujuh, Sumberjaya, dan daerah lain sekitar Majalengka.

Jebor memang terkena imbas modernisasi dan rakusnya investor yang menginvasi ruang-ruang hidup masyarakat terutama di wilayah Jatiwangi dan Kertajati. Kompetisi Binaraga Jebor Jatiwangi Cup ini jadi salah satu bentuk perlawanan lewat kebudayaan tanah sebagai salah satu upaya merawat identitas Jatiwangi. 

Foto dan Teks: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//