Aplikasi Re Carbon Buatan Telkom University untuk Deteksi Gas Rumah Kaca
Re Carbon mengukur emisi yang dihasilkan seseorang. Di Bandung, masalah emisi menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan pemanasan global.
Penulis Bani Hakiki28 September 2021
BandungBergerak.id - Isu perubahan iklim akibat gas rumah kaca (pemanasan global) akhir-akhir ini terus menyedot perhatian terutama di kalangan generasi muda. Di kampus Telkom University, perubahan iklim melatarbelakangi pengembangan aplikasi Re Carbon, sebuah perangkat lunak sebagai langkah mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dan peningakatan kepedulian lingkungan.
Emisi karbon dioksida sendiri merupakan isu global yang harus dikurangi setiap negara di dunia, termasuk Indonesia. Emisi karbon akibat pembakaran bahan bakar minyak (BBM) dan aktivitas manusia lainnya telah mencemari lapisan ozon bumi dan memicu pemanasan global. Akibatnya, suhu bumi semakin panas, lapisan es di kutub utara dan selatan terus mencair, dan bumi kini dihadapkan pada perubahan iklim yang memicu berbagai bencana.
Di Kota Bandung, perkembangan emisi dan polusi udara dan emisi sudah masuk level mengkhawatirkan. Diperlukan langkah serius untuk mengurangi emisi beracun tersebut.
M.Yusuf Basqara, bagian dari Tim Mahasiswa Telkom University, menceritakan, di dalam aplikasi Re Carbon terdapat kalkulator karbon yang berfungsi menghitung emisi karbon individu. Terdapat fitur pembelajaran dan fitur gamifikasi untuk merealisasikan pengurangan emisi karbon melalui task-task yang diberikan.
“Aplikasi juga akan diberikan rekomendasi kegiatan apa saja yang perlu dilakukan untuk mengurangi emisi karbon tersebut,” jelas M.Yusuf Basqara, mengutip laman resmi Telkom University, Selasa (28/9/2021).
Yusuf menuturkan, pengembangan aplikasi cukup melewati proses panjang yang berawal dari ketertarikan dirinya mengatasi isu-isu lingkungan/perubahan iklim. Isu ini ia kenalis ketika menjadi relawan sekaligus mengikuti kompetisi terkait SDG’s (Sustainable Development Goals).
“Aplikasi yang kami buat ini awalnya untuk memenuhi tugas mata kuliah tingkat 2, namun berdasarkan hasil diskusi bersama tim dan dosen pembimbing akhirnya kami kembangkan lebih lanjut, pengembangan aplikasi ini juga berdasarkan keresahan kami terhadap isu lingkungan yang saat ini sedang merebak,” jelasnya.
Yusuf berharap aplikasi bisa terus dikembangkan, bahkan bisa dinikmati oleh masyarakat luas, sehingga dapat membantu mengatasi isu lingkungan saat ini.
“Aplikasi ini akan terus kami kembangkan, dan akan terus dilakukan evaluasi lebih lanjut sehingga kami dapat menciptakan startup yang bergerak di bidang lingkungan/perubahan iklim sehingga aplikasi ini nantinya akan sustainable sebagai ekosistem yang besar dalam menggerakan banyak elemen masyarakat,” ucapnya.
Re Carbon dikembangkan Yusuf bersama kawan-kawannya di Telkom University, yaitu Akhdan Pangestuaji, Pramudia Putra Pamungkas, dengan dosen pembimbing Alfian Akbar Gozali. Aplikasi ini meraih juara ketiga untuk kategori Inovasi Teknologi Digital Pendidikan dalam ajang Lomba Inovasi Digital Mahasiswa (LIDM) tingkat nasional tahun 2021, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), 19 September 2021 lalu.
Baca Juga: Kantong Singkong, Langkah Nyata Mengurangi Sampah Plastik
Melindungi Gedong Cai Cibadak dan Sabuk Hijau di Sekitarnya dari Kerakusan Pengembang
Spesies Liar: Kampanye Lingkungan di Tengah Maraknya Eksploitasi Hewan Dilindungi di Media Sosial
Akar Masalah DAS Citepus Bukanlah Sampah melainkan Tata Ruang
Polusi Udara Bandung
Bandung menjadi salah satu kota dengan tingkat pencemaran udara yang tinggi. Polusi udara Kota Kembang diprediksi meningkat selama satu bulan terakhir pascapenurunan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang memicu meningkatnya aktivitas masyarakat, transportasi, dan industri.
“Di Jakarta itu selama PPKM polusinya turun jauh walaupun meningkat lagi belakangan, berbeda dengan di Bandung. Karena sudah termasuk kota industri, jadi ketika PPKM, limbah (asap) perindustrian ini malah menyebar karena banyak yang justru jadi pindah ke rumah-rumah pribadi,” tutur Deputi Walhi Jabar, Dwi Rena, kepada Bandungbergerak.id, Jumat (24/9/2021).
Bidang transportasi dan industri menjadi penyumbang emisi karbon dioksida yang memicu perubahan iklim. Lemahnya pengawasan dan kebijakan disinyalir menjadi polusi udara Kota Bandung tidak terpantau. Hasil riset Walhi Jabar menunjukkan polusi udara terdapat di sepanjang wilayah Kiaracondong yang menjadi daerah penyumbang polutan tertinggi di Kota Bandung.
Ia mengatakan, campuran polutan kendaraan bermotor dan perindustrian menjadi kombinasi berbahaya untuk udara Kota Bandung. Sementara topografi wilayah Bandung bersifat cekungan, yakni lembah besar yang dikelilingi dataran tinggi. Kondisi alamiah ini membuat udara terperangkap lebih lama dan membahayakan penduduk yang menghirupnya.
“Pencemaran udara bisa berbahaya untuk warga (Kota Bandung). Angin kencang di bawah (atas permukaan), polutan berkumpul di atas (udara),” ujar Dwi Rena.
Selain memicu pemanasan global, udara berpolutan memiliki efek buruk bagi kesehatan dalam jangka panjang. Manusia yang menghirup polusi udara terus-menerus akan terancam berbagai penyakit serius.
Dwi Rena berharap ada perubahan regulasi yang mengantisipasi dan mengurangi polusi udara di Kota Bandung. Selain itu, warga Kota Bandung juga harus berani mengubah pola dan gaya hidup ramah lingkungan.