• Kampus
  • Pukat UGM: Pemecatan 57 Pegawai KPK, Publik Pertanyakan Peran Presiden

Pukat UGM: Pemecatan 57 Pegawai KPK, Publik Pertanyakan Peran Presiden

Akar pemecatan 57 pegawai KPK ada dua: pimpinan KPK yang bermasalah dan Revisi UU KPK.

Grafiti sindiran Jadikan Koruptor Pahlawan terkait ringannya hukuman bagi para koruptor di dinding Viaduct, Bandung, sehari sebelum dihapus, Selasa (31/8//2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana30 September 2021


BandungBergerak.idPemecatan terhadap 57 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) saat ujian alih status pegawai menjadi ASN, terus menjadi sorotan publik. Ke depan, KPK akan semakin lemah dan tidak lagi garang pada koruptor.  

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Yuris Rezha Kurniawan, mengatakan ada dua faktor yang melatarbelakangi pemecatan 57 pegawai KPK. Pertama, proses pemilihan pimpinan KPK yang secara rekam jejak cenderung bermasalah. Kedua, revisi UU KPK yang mendegradasi independensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Dipecatnya 57 pegawai KPK yang sudah diketahui rekam jejaknya tersebut akan berimplikasi pada kinerja KPK di masa mendatang.

“Kita tidak akan bisa melihat kiprah KPK sehebat dulu. Karena kondisi yang menimpa KPK hari ini adalah dampak dan implikasi dari dua hal yang sejak awal sudah banyak dikritisi oleh publik,” kata Yuris Rezha Kurniawan, mengutip laman resmi UGM, Kamis (30/9/2021).

“Kedepan, dengan atau tanpa 57 pegawai yang akan dipecat, masih sulit membayangkan KPK bisa segarang dulu dalam memberantas korupsi,” tegasnya.

Meski Ombudsman dan Komnas HAM sudah menyebut bahwa proses TWK diduga penuh maladministrasi dan pelanggaran HAM. Menurutnya, Presiden bisa mengambil keputusan dan sangat wajar jika publik berharap Presiden untuk memperbaiki kondisi ini karena ia sebagai pimpinan tertinggi eksekutif yang melaksanakan perintah undang-undang sekaligus pimpinan tertinggi ASN.

“Justru saat Presiden tidak bersikap, publik dapat mempertanyakan peran Presiden dalam dua kewenangannya tersebut,” paparnya.

Yuris meyakini bahwa yang bermasalah sebetulnya bukan 57 pegawai KPK tersebut. Namun, memang ada upaya pihak tertentu untuk menyingkirkan 57 pegawai dari lembaga KPK. “Seolah poin utama dari proses alih status pegawai KPK ini adalah mencari segala cara agar 57 pegawai tersebut tidak lagi bekerja di KPK,” terangnya.

Soal persoalan internal KPK di mana pejabat KPK terlibat dalam kasus korupsi dan melakukan pelanggaran etik berat menurutnya KPK sekarang ini harus introspeksi diri, khususnya bagi pimpinan dan Dewan Pengawas.

Baca Juga: Guru Besar Fakultas Hukum Unpad: TWK jadi Alibi Pimpinan untuk Singkirkan Pegawai KPK
Menyaksikan Film KPK EndGame di Tamansari, Bandung
LBH Bandung Ajak Warga Kirim Surat Menolak Pemecatan 57 Pegawai KPK ke Presiden Jokowi
Lapor Covid-19 dan 57 Pegawai KPK Mendapat Tasrif Award 2021 AJI

“Dua pimpinan telah terbukti melanggar etik bahkan salah satunya adalah pelanggaran etik berat yang kuat mengarah pada tindakan pidana. Mana mungkin KPK bisa menjadi lembaga pemberantasan korupsi yang efektif kalau di tingkat pimpinan saja tidak zero tolerance terhadap praktik koruptif,” jelasnya .

Ia juga menyoroti kinerja Dewan Pengawas (Dewas) yang seharusnya bisa diharapkan dapat menjadi pengawas internal yang efektif sebagaimana desain Revisi UU KPK justru seperti ‘macan ompong’.

“Dewas tidak berani mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran di internal KPK. Dibandingkan Dewas hari ini, justru sistem pengawasan internal KPK sebelum adanya Revisi UU KPK jauh lebih baik karena lebih tegas menghukum pihak internal KPK yang melakukan pelanggaran,” katanya.

Melihat kondisi KPK saat ini, Yudi menilai sudah sangat wajar jika kepercayaan publik terhadap KPK menurun berdasarkan hasil survei Lembaga Indikator Politik Indonesia belum lama ini. Namun begitu, menurutnya tugas publik sebagaimana sejak dulu tetap kritis dan melakukan pengawasan dari luar.

“Mengkritik kondisi KPK hari ini bukan berarti membiarkan praktik korupsi berjalan di pemerintahan. Bagi publik, yang terpenting adalah negara bertindak nyata dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,”pungkasnya.

Seperti ramai diberitakan, berbagai upaya telah dilakukan 57 pegawai KPK untuk kembali bekerja di komisi yang dibentuk dari tuntutan reformasi 1998 itu. Namun perjuangan 57 pegawai KPK belum menampakkan hasil. Beberapa tawaran untuk bekerja di BUMN dan di Polri masih belum dipertimbangkan mengingat mereka masih ingin berjuang agar bisa bekerja untuk memberantas korupsi di lembaga antirasuah.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//