• Cerita
  • Cerpen Percintaan Tina Kosasih dan Joi Rumengan dalam Seni Pertunjukan Pernikahan Fiktif

Cerpen Percintaan Tina Kosasih dan Joi Rumengan dalam Seni Pertunjukan Pernikahan Fiktif

Para tamu diajak berinteraksi langsung dalam pesta pernikahan Tina Kosasih dan Joi Rumengan Goethe Institut Bandung, walaupun kedua mempelai tak nyata.

Pernikahan Tina Kosasih dan Joi Rumengan diwakili dua pasang sepatu, di Goethe Institut Bandung, Minggu (24/09/2022). Pernikahan ini diadaptasi dari cerpen Tina Kosasih dan Joi Rumengan yang ditulis Suina Latersia dan Tegar Pratama. (Foto: Mawaddah Daniah/BandungBergerak.id)

Penulis Mawaddah Daniah26 September 2022


BandungBergerak.id - Cerita pendek percintaan Tina Kosasih dan Joi Rumengan diangkat menjadi seni pertunjukan pernikahan fiktif dan pameran audio visual di Goethe Institut Bandung, Minggu (24/09/2022). Tujuh seniman dilibatkan. Pasangan pengantin diperankan dua pasang sepatu.

Cerpen Tina Kosasih dan Joi Rumengan menceritakan Tina Kosasih dan Joi Rumengan yang sudah menjalin asmara selama lebih dari sepuluh tahun tanpa konflik. Hubungan mereka too good to be true. Sampai pada suatu hari mereka memutuskan pergi ke suatu tempat untuk mengikuti acara festival layangan. Di sinilah konflik justru terjadi.

“Setelah kami menulisnya, kami menyadari bahwasanya hal yang picisan hal yang diinginkan semua orang. Ternyata yang bahagia dari awal sampe akhir itu teh sebuah utopia yang diinginkan semua orang, dan itu picisan yang kami hadirkan,” tutur Tegar Pratama, kepada BandungBergerak.id.

Pertunjukan Pernikahan Fiktif

Dalam pertunjukkan, setiap seniman mencoba merespons dan menginterpretasikan ulang cerpen Tina Kosasih dan Joi Rumengan. Hasil dari interpretasi ketujuh seniman terbagi menjadi beberapa medium yang diwujudkan menjadi sebuah karya pertunjukkan partisipatif untuk publik dalam bentuk pernikahan. Dan wujud berikutnya berupa karya audio-visual yang akan ditampilkan di dalam pameran.

Cerpen Tina Kosasih dan Joi Rumengan merupakan fiksi eksperimen dari kedua penulisnya. Suina dan Tegar melakukan penulisan dengan metode estafet, jalan cerita menjadi bersahutan dan tidak diketahui ujungnya, bahkan oleh kedua penulisnya sendiri.

Kedua tokoh fiksi di dalam cerpen juga tidak akan pernah diwujudkan secara nyata maupun di deskripsikan. Penulis ingin para penikmat karyanya menginterpretasikan sosok di balik Tina Kosasih dan Joi Rumengan itu sendiri.

Salah seorang peserta yang berkunjung ke Goethe Institut Bandung, Weni Lestari, mengaku awalnya ia tidak benar-benar tahu isi dari pertunjukan cerpen tersebut. Ia semakin heran karena tidak mendapati wujud atau objek nyata dari tokoh Tina Kosasih dan Joi Rumengan.

“Tapi pas sudah di dalam malah makin heran, yang nikahnya mana, wujudnya Joi sama Tina itu bikin penasaran sih. Terus sempat kepikiran mungkin ini berawal dari pandemi, kan banyak nikahan virtual,” ungkap Weni.

Namun Weni menilai pertunjukan pernikahan ini terbilang kreatif dan berbeda dengan seni pertunjukan lainnya. Jalan cerita pertunjukan sama sekali tidak bisa ditebak. Pernikahan dengan tokoh fiktif mendorong pengunjung bekerja keras untuk menginterpretasikannya dengan memahami bagaimana cerita ini dideskripsikan oleh penulis hanya dari sebuah pertunjukan.

Konsep interaksi antara pengunjung dan pemain terasa kental. Para peserta justru menjadi bagian dari pertunjukkan. Mereka menjadi tamu undangan, sebagai kerabat pengantin, kolega, orang tua, teman sepermainan, bahkan ada yang menjadi saksi pernikahan.

Peserta diikutsertakan dalam setiap adegan pertunjukan, dimulai dengan penyambutan Tina Kosasih dan Joi Rumengan menuju pelaminan. Suina dan Tegar ikut sibuk membawa atribut yang merepresentasikan kedua tokoh fiktif tersebut, bahwa Tina berprofesi penyiar radio dan Joi Rumengan seorang sound engineer.

Benda yang mewakili kehadiran Tinda dan Joe adalah sepatu docmart. Menurut Tegar, sepatu ini dipilih bisa mewakili profesi Tina maupun Joe.

“Pernikahan yang diinterpretasikan hanya dengan sepatu dan itu bukan sepatu yang orang pakai dinikahan (pada umumnya), tapi biasa dipakai orang nikah ditahun-tahun ini ketika yang nikahnya penyiar radio atau seniman. Rata-rata mereka ga mau pakai selop kan. Pakainya sepatu docmart,” ungkap Tegar.

Kegiatan dilanjutkan dengan seniman yang membawa sebuah layang-layang, menggambarkan kisah Tina Kosasih dan Joi Rumengan saat mengikuti acara festival layangan di Desa Cikancung Kulon sesuai dengan alur cerpen. Pertunjukan memperlihatkan dua orang yang sedih dan marah. Di sinilah kedua kekasih ini mengalami konflik pertamanya.

Pada adegan berikutnya, para tamu undangan melakukan foto bersama dengan pengantin, setiap tamu diandaikan sebagai sahabat dan juga kerabat dari Tina Kosasih dan juga Joi Rumengan. Acara dilanjutkan dengan pertunjukan seni dari Nusa Tenggara Timur (NTT) karena ada kaitan dengan keluarga Joi Rumengan, walaupun dalam cerpen disebutkan bahwa Joe orang Menado.

Menurut Suina, adegan pernikahan bukanlah akhir dari cerpennya. Akhir cerita justru ada pada pertunjukan pernikahan fiktif dan pameran.

Baca Juga: Selain Bansos, Seniman Berharap ada Relaksasi Pertunjukan dengan Prokes
Menatap Pertunjukan Wayang Golek Virtual
Jurnal Bunyi #10: Pesona Kendang dalam Pertunjukan Tepak Ngawandaan Réngkak

Para tamu undangan berfoto bersama pengantin Tina Kosasih dan Joi Rumengan, di Goethe Institut Bandung, Minggu (24/09/2022). Kedua mempelai diwakili dua pasang sepatu. (Foto: Mawaddah Daniah/BandungBergerak.id)
Para tamu undangan berfoto bersama pengantin Tina Kosasih dan Joi Rumengan, di Goethe Institut Bandung, Minggu (24/09/2022). Kedua mempelai diwakili dua pasang sepatu. (Foto: Mawaddah Daniah/BandungBergerak.id)

Ruang Publik dan Privat

Pertunjukan ini juga merespons gambaran tumpang tindih ruang publik dan ruang pribadi pada sebuah pesta pernikahan. Di mana kehadiran tamu, semata-mata hanya menjadi sebuah simbolis pernikahan itu terwujud. Dan dalam praktiknya, acara pernikahan tidak jarang membuat hal-hal yang diperuntukkan untuk publik dijadikan sarana privat, seperti menutup jalan umum untuk kepentingan pesta. Sehingga pemilihan lahan parkir di Goethe Institut Bandung ini merupakan bentuk sindiran mengenai pernikahan masa kini.

“Indonesia sendiri kalau menikah itukan kadang-kadang pakai jalan ya, ditutup jalannya mungkin di daerah-daerah, atau di Bandung sendiri juga di beberapa tempat yang jauh dari kota. Sebenarnya menikah itu privasi kan ya tapi dibikinnya di publiK,” ucap Suina.

Suina yang merupakan producer pada pertunjukkan ini meminta salah satu seniman, Dea Widya, untuk membuat sebuah pelaminan yang tidak template dan harus berbeda dengan konsep pernikahan pada umumnya. Pelaminan dibentuk sekat-sekat seperti ruang pelaminan pada umumnya. Dengan bagian di mana terdapat tempat duduk pengantin, awal mula pengantin masuk ke pelaminan, hingga tempat makan dan juga sekat tempat duduk peserta yang hadir.

Tina Kosasih dan Joi Rumengan memiliki latar kebudayaan yang berbeda, yaitu Sunda dan Menado. Sehingga penulis dalam menggarap pertunjukan ini memperlihatkan ruang akulturasi di dalam pernikahan. Beberapa di antaranya yaitu, makanan yang dihidangkan untuk tamu disediakan dengan makanan khas manado, Master Ceremony (MC) dibuat dengan gaya bicara Sunda, dan pesta dibentuk meriah seperti pernikahan di Menado.

Adapun beberapa seniman yang akan menampilkan karyanya pada 26 September-1 Oktober 2022 dalam pameran ini yaitu Dea Widya (artist installation), Ari Nugraha (illustrator), Cisya Paramita (craft artsist), dan Dhimas (musician). Akan hadir 4 karya yang merupakan gabungan antara karya audio-visual dan ikon yang ada pada cerita.

Penulis mengungkapkan cerpen ini akan dikembangkan lagi menjadi sequel tulisan dan akan tetap konsisten pada penulisan cerpen. Cerita Tina Kosasih dan Joi Rumengan-pun akan segera dikonsepkan lebih lanjut untuk dibawa ke Jakarta, dengan tema yang sama namun dengan konsep yang berbeda.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//